Minggu, 15 Juni 2014

Pendekatan  ARSITEKTUR PERILAKU dalam  PEMBAHASAN MATERI TESIS S2 PERANCANGAN ARSITEKTUR, S2 TEORI, SEJARAH DAN KRITIK ARSITEKTUR dan DESERTASI S3 PEMUKIMAN, PASCA SARJANA ARSITEKTUR FTSP-ITS

Kepada mahasiswa tersebut di atas diminta mengunggah materi Tugas 3 MK Arsitektur Perilaku (Program Studi Perancangan Arsitektur) dan MK Arsitektur Perilaku 2 (Program Studi Teori, Sejarah dan Kritik Arsitektur) ke blog ini, paling lambat tanggal 20 Juni 2014.

Selamat bekerja
Dosen MK,
Sri Amiranti

44 komentar:

  1. Nama; Yoga Restyanto
    NRP: 3213.207.004
    Judul Thesis: Perancangan Perumahan Pasif Di Kota Palangka Raya dengan Konsep Rumah Berpori
    ( bagian 1 )

    LATAR BELAKANG
    Menurut Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Nur Pamudji mengungkapkan, konsumsi listrik di tanah air selama empat bulan pertama 2012 tumbuh 10,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan konsumsi listrik masih didominasi oleh golongan rumah tangga.

    Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ir Jarman Msc menyampaikan bahwa Konsumsi Listrik di Indonesia mencapai 138 TWh dimana Rumah Tangga menyedot 41% konsumsi listrik, Industri menghabiskan 35%, keperluan Bisnis 18%, dan sektor Publik 6%. Rasio Elektrifikasi di Indonesia hingga September 2013 mencapai 80,16%. Energi mix pembangkitan tenaga listrik dipaparkan bahwa Batubara menyumbang 50%, Gas23%, BBM 13%, Air 9%, dan Panas Bumi 5%. Total investasi Sektor Ketenagalistrikan tahun 2012 kurang lebih sebsar USD 7.16 Miliar.

    Penjualan rumah di negeri ini terus tumbuh belasan persen dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan Ketua Umum Real Estate Indonesia Setyo Maharso menargetkan penjualan perumahan bisa tumbuh 20% di tahun 2013 ini.

    Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono melihat pasar kredit kepemilikan rumah (KPR) ini memang masih sangat lebar. "Suplai pemenuhan kebutuhan perumahan belum ideal," jelasnya. Rata-rata permintaan rumah baru 800.000 unit setiap tahun, sedangkan jumlah pasokan hanya 400.000. Hingga tahun 2011 lalu, backlog rumah mencapai 13,5 juta unit.

    Pertumbuhan perumahan KPR di Kota Palangka Raya berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan kota yang semakin pesat dengan tipe beragam seperti tipe 45, tipe 54, tipe 70 dan tipe 120.
    Isu global warming dan krisis energi bukan hanya wacana semata. Berbagai riset dari para ahli membuktikan bahwa keberadaan berbagai energi, termasuk air, minyak bumi, dan energi fosil jumlah cadangannya semakin menipis.

    Pembangunan rumah tinggal merupakan salah satu faktor yang terkait dengan isu global warming dan krisis energi yang telah di di ungkapkan diatas dimana rancangan rumah tinggal yang hanya mengutamakan gaya desain rumah tanpa memperhatikan lingkungan akan menjadi pemicu global warming dan menjadi tokoh utama di dalam pemborosan energy terlebih energi listrik.

    Menghubungkan kata Rumah (house) dengan istilah pasif (passive) mungkin terasa janggal. Istilah ini sebenarnya digunakan pada strategi desain secara pasif yang menciptakan kenyamanan bagi penghuni bangunan dengan secara signifikan mengurangi penggunaan energi.

    Angin merupakan salah satu unsur yang penting dalam menciptaan kenyamanan termal ruangan selain penggunaan material yang dapat mengisolasi panas pada dinding dan atap agar dapat menjaga suhu interior bangunan menjadi konsisten dan nyaman.

    Rumah seharusnya mempunyai sirkulasi udara yang baik, sehingga didapat kesejukan yang lebih baik dan tidak pengap. Untuk mendapatkan sirkulasi udara yang baik rumah dapat di buat berpori. Rumah berpori harus didesain secara tepat supaya mendapatkan kecepatan angin, tingkat kelembaban dan suhu di dalam rumah menjadi ideal. Selain itu juga rumah berpori juga dapat menekan biaya listrik karena secara maksimal menggunakan sirkulasi udara alami alias mengurangi pemakaian penghawaan buatan sehingga dapat menekan penggunaan listrik.

    KONSEP TEORI POSITIF
    Dalam teori Arsitektur Perilaku ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam suatu perancangan, yaitu :
    1.Fisik ( estetika formal )
    2.Stimuli ( estetika termal / sensorik )
    3.Simbolik( estetika simbolik / makna )

    Facts ( Kopec 2010 )
    Environmental Attributes :
    1.Physical Structure ( dimension, form, etc )
    2.Physical Stimuli ( noise, light, etc )
    3.Symbolic Artefacts ( the meaning of image of setting socio-phychologically )

    BalasHapus
  2. Nama; Yoga Restyanto
    NRP: 3213.207.004
    Judul Thesis: Perancangan Perumahan Pasif Di Kota Palangka Raya dengan Konsep Rumah Berpori
    ( bagian 2 )

    BEHAVIOUR SUB-SYSTEM
    Dalam behaviour Sub-System ada 5 macam di dalam Arsitektur Perilaku antara lain :
    ( Parson, 1966, exemplifiel from function theory in sociology )
    1. Cultura Sub-System ( value, norm, traditions, beliefs )
    2. Social Sub-System ( The processes of holding together in group )
    3. Personality Sub-System ( Preperences, opinions, attitudes )
    4. Organismic ( Physiological ) Sub-System ( Age, sex, somatic, imperfeftious, etc )
    5. Environmental Sub-System ( External stimulus and scene of actions )
    Dalam judul tesis perumahan pasif ini sub system yang dipergunakan dalam menetukan profil gaya hidup & preferensi ujud fisik dipergunakan 3 macam sub system yaitu :
    1. Cultura Sub-System ( value, norm, traditions, beliefs )
    2. Social Sub-System ( The processes of holding together in group )
    3. Personality Sub-System ( Preperences, opinions, attitudes )

    Dari 3 sub system perilaku tersebut digunakan untuk membuat profil gaya hidup dan preferensi ujud fisik, sehingga bisa di dapat perilaku overt dan perilaku covert dari calon pengguna rumah pasif di kota Palangka Raya.

    Dimana perilaku Overt ( nyata / tangible ) : pergerakan dalam beraktiftas ( cara melakukan aktiftas )sesuai dengan perannya dalam aktifitas tersebut. Sedangkan untuk perilaku Covert ( tersembunyi / intangible ) : keinginan, kebutuhan, motivasi, preperensi terhadap ujud fisik arsitektur.

    HUMAN BASIC NEED & HOUSING DESIGN CONCERN
    Dalam memenuhi persyaratan sebuah rumah menurut MASLOW, 1954 & Newmark, cs, 1997 ada kebutuhan yang sangat mendasar yang harus dipenuhi sebuah rumah, antara lain :
    1. Physiological Needs ( kebutuhan fisik )
    ( place / space for resting, eating, etc )
    2. Safety & Security Needs ( kebutuhan keamanan & keselamatan )
    ( protection from outside world, safety physiologically and psychologically )
    3. Affiliation / Social Needs ( kebutuhan berkelompok )
    ( Culture – social organization, housing – nature of activity )
    4. Self - Esteem Needs ( penghargaan diri )
    ( housing as status fuction/symbol of self )
    5. Self - Actualization Needs ( kebutuhan aktualisasi diri )
    ( hobby, study, leisure time – self expression )
    6. Cognitive & Aesthetic Needs ( kebetuhan estetika )
    ( need for order, beauty and meaning )

    POST OCCUPANCY EVALUATION ( POE )
    Dalam merancang untuk melengkapi sebuah kriteria suatu desain diperlukan analisa purna huni yang disebut dengan Post Occupancy Evaluation ( POE ) :
    1. Hubungan Pengguna dgn setting fisik rumah pasif
    2. Properti bangunan yang perlu di evaluasi
    - Amenity properties ( kelengkapan rumah / perabot )
    - Ambient properties ( suasana rumah, kepuasan peforma bgn )
    - Communication properties ( secara fisik telepon, hp, kalau secara psikologis ruang perantara, ruang interaksi sosial )
    - Symbolic properties ( contoh warna, asosiasi kelempok pengguna, kepercayaan / tahyul )
    - Sensory properties ( lebih ke indra, seperti pencahayaan dan penghawaan )
    Analisa purna huni berguna untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari hasil desain yang sama dengan yang akan mau di rancang dalam desain tesis ini. Sehingga dalam rancangan rumah pasif ini bisa mengakomodir kekurangan daripada desain sejenis yang sudah dibangun.

    BalasHapus
  3. Nama; Yoga Restyanto
    NRP: 3213.207.004
    Judul Thesis: Perancangan Perumahan Pasif Di Kota Palangka Raya dengan Konsep Rumah Berpori
    ( bagian 3 )

    RUMAH
    Konsepsi Rumah Sederhana
    Kendala keterjangkauan masyarakat terhadap Rumah Sederhana, telah diupayakan menyiasati kondisi tersebut melalui satu rancangan rumah antara yaitu RIT sebagai rumah cikal bakal Rumah Sederhana.
    Rancangan RIT memenuhi tuntutan kebutuhan paling mendasar dari penghuni untuk mengembangkan rumahnya, dengan ruang-ruang yang perlu disediakan sekurang-kurangnya terdiri dari:
    - 1 ruang tidur
    - 1 ruang serbaguna
    - 1 kamar mandi/kakus/cuci

    Pola Pertumbuhan Rumah Inti Tumbuh Menjadi Rumah Sederhana
    Ukuran pembagian ruang dalam rumah tersebut berdasarkan pada satuan ukuran modular dan standar internasional untuk ruang gerak/kegiatan manusia. Sehingga diperoleh ukuran ruang-ruang dalam RIT-1 adalah sebagai berikut :
    - Ruang Tidur : 3,00 m x 3,00 m
    - Serbaguna : 3,00 m x 3,00 m
    - Kamar mandi/kakus/cuci : 1,20 m x 1,50 m
    Pembagian studi modul untuk RIT serta pertumbuhannya menjadi Rs Sehat-2, yang didasarkan modul-modul 3 M dengan kombinasi luasan lahan dan bangunan, secara skematis dapat dilihat pada gambaran dibawah ini, antar lain :
    - Pola 1, Luas lahan Efektif 72 m2 dan luas lahan ideal 200 m2
    - Pola 2, Luas lahan efektif 90 m2 dan luas lahan ideal 200 m2
    Rancangan Proses Pengembangan Rumah
    Bangunan dan bagian-bagiannya berdasarkan tipe rumah tinggal, antara lain sebagai berikut :
    1. Bangunan Rumah Inti Tumbuh (RIT-1) berukuran 21 m2 dengan ruangan-ruangan :
    - Ruang inti berukuran 3,00 x 3,00 m
    - Ruang serba guna (tanpa dinding) berukuran 3,00 x 3,00 m
    - Kamar mandi + WC (tanpa atap) berukuran 1,50 x 1,20 m
    2. menjadi Rumah Sederhana (RsS-1) berukuran 28.8 m2 dengan ruangan:
    - Dua Ruang tidur berukuran 3,00 x 3,00 m
    - Ruang Servis/pertumbuhan berukuran 2,50 x 3,00 m
    - Kamar mandi + WC berukuran 1,50 x 1,20 m
    3. Pertumbuhan menjadi Rumah Sederhana Sehat (RsS-2) berukuran 36 m2 dengan ruangan :
    - Dua Ruang tidur berukuran 3,00 x 3,00 m
    - Ruang tidur anak berukuran 3,00 x 3,00 m
    - Ruang tamu berukuran 2.50 x 3.00 m
    - Ruang berukuran 3.00 x 3.00 m
    - Kamar mandi + WC berukuran 1,50 x 1,20 m

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Nama; Yoga Restyanto
    NRP: 3213.207.004
    Judul Thesis: Perancangan Perumahan Pasif Di Kota Palangka Raya dengan Konsep Rumah Berpori
    ( bagian 4 )

    KONSEPSI ARSITEKTUR PERILAKU
    Dalam Observing, contemplating and Experiencing Aesthetics : Lang, 1992, in Muhammad, 2007 dalam aristektur perilaku ada 4 konsep perancangan, antara lain :
    1. Formal Aesthetics
    Estetika formal dalam desain ini mengambil standar-standar dari peraturan dan UU RI no. 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tentang ukuran dan bentuk denah rumah
    2.Sensory Aesthetics
    Dalam sesonry aesthetic yang lebih di tekankan pada kenyamanan termal seperti suhu, cahaya dan kelembapan, sehingga diharapkan rumah pasif ini nanti bisa menjadi hunian yang sehat serta memenuhi kebutuhan sensori dari penggunanya nanti.
    3. Symbolic Aesthetics
    Untuk estetika simboliknya rumah pasif mengambil konsep dasar dari bentukan tradisonal Kalimantan Tengah, dimana menggunakan bentu dasar bangunan Betang. Sehingga simbol-simbol kelokalitasan terlihat menyesuaikan dengan keberadaan bangunan ini.

    KONSEPSI RUMAH BERPORI
    Penggunaan pori untuk kulit bangunan hampir sma seperti ventilasi pada umumnya akan tetapi konsep kali ini dibuat berbeda baik dari segi bentukan dan ukuran yang ada, sehingga kebutuhan udara segar dapat terpenuhi dan juga dapat menjaga termal di dalam bangunan pada siang dan malam hari.

    BalasHapus
  6. Vijar GPJP (3213207008) bagian 1
    PERANCANGAN APARTEMEN DI KEDIRI: SIMBIOSIS RUANG TRADISIONAL DAN MODERN

    Tahap kegiatan tinjauan arsitektur perilaku dalam calon tesis ini berada pada sebelum memasuki tahap perancangan bentuk. Tinjauan teori arsitektur perilaku dilakukan melalui teori berikut:

    1. Teori Hirarki Kebutuhan Manusia
    Sebuah tempat tinggal harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, yaitu:
    a. Kebutuhan Dasar/Fisiologis: penyediaan ruang-ruang yang bisa mewadahi kegiatan-kegiatan makan, tidur, bernafas, dsb
    b. Kebutuhan Keselamatan: perlindungan dari cuaca yang membahayakan manusia, kecelakaan, infeksi, alergi, pencurian, dsb
    c. Kebutuhan Sosial: susunan ruang-ruang dalam tempat tinggal harus memberikan banyak kesempatan penghuninya untuk saling berinteraksi secara optimal, baik antar penghuni maupun dengan lingkungannya
    d. Kebutuhan Penghargaan Diri dan Kebutuhan Aktualisasi Diri: akan dilakukan penelitian bagaimana bentuk dan susunan ruang dalam rumah modern pada konteks lokasi yang mampu memenuhi kedua kebutuhan ini. Jika ditarik sebuah konsep dari kedua teori saja tentang kebutuhan tesebut, maka alangkah baiknya suatu tempat tinggal menyediakan ruang pada posisi yang mudah ditangkap oleh lingkungannya, untuk digunakan sebagai tempat penghuni mengembangkannya sebagai identitas diri.

    2. Teori Teritorialitas
    Teori fungsi teritorialitas ini sangat penting untuk diterapkan dalam perancangan tempat tinggal:
    a. Mekanisme untuk bertahan hidup: sesuai dengan pemenuhan kebutuhan dasar/fisiologis
    b. Menciptakan keamanan, stimulasi dan identitas: menciptakan ruang yang nyaman untuk beraktifitas dan sebuah “muka” yang menyediakan ruang untuk mengembangkannya sebagai identitas penghuninya.
    c. Menciptakan bingkai terhadap hubungannya dengan lingkungan: membuat ruang-ruang yang tertutup untuk kegiatan privat dan ruang lebih terbuka untuk interaksi dengan lingkungannya.

    3. Teori Estetika Simbolik
    Merupakan nilai estetika yang dihasilkan dengan cara memberikan kesenangan pada seseorang secara sosio-kultural. Oleh karena estetika ini berhubungan langsung dengan pengalaman manusianya, asosiasi dengan lingkungannya, dan kebutuhan afiliasi, identitas, serta penghargaan, maka harus diteliti terlebih dahulu terhadap masyarakat yang akan menjadi penghuni tempat tinggal yang dirancang untuk diperoleh bagaimana estetika simbolik masyarakat tersebut untuk diterapkan dalam perancangan.

    BalasHapus
  7. Vijar GPJP (3213207008) bagian 2
    PERANCANGAN APARTEMEN DI KEDIRI: SIMBIOSIS RUANG TRADISIONAL DAN MODERN

    Penelitian Sub-Sistem Perilaku
    a. Sub-sistem Budaya: penelitian tentang nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang ada pada masyarakat
    b. Sub-sistem Sosial: penelitian tentang bagaimana proses terbentuknya kebersamaan dalam suatu kelompok masyarakat dan bagaimana peran yang dimainkan untuk berada dalam kelompok tersebut

    Teknik Pengumpulan Data
    1. Literative Search and Reviewing: pustaka tentang arsitektur perilaku, apartemen, rumah tradisional dan modern, simbolisme, serta permasalahan arsitektur perilaku di dalamnya
    2. Diagnostic Interviewing: dilakukan kepada penghuni apartemen tempat tinggal, tentang budaya dan elemen estetika ruang
    3. Diagnostic Observation: bagaimana masyarakat lokal berinteraksi dalam berkehidupan bersama, dengan mempertimbangkan tempat, waktu, dan suasana yang sesuai
    4. General Observation: hubungan antara arsitektur dengan penghuninya
    5. Walkthrough Observation: merasakan langsung ruang dalam rumah tradisional, modern, dan apartemen yang ada, serta wawancara kepada penghuni untuk mengetahui keluhan dan ketertarikan mereka
    6. Space Inventory: ukuran ruang, perabot, perlengkapan ruang, suasana, dan masalah serta pemecahannya
    7. Trace Observation: evaluasi purna huni
    8. Systematic Observation: mengamati hubungan antara ruang dan aktifitas penghuninya, pelingkup ruang secara fisik dan psikis, elemen serta makna dalam ruang

    Evaluasi Purna Huni
    1. Amenity Properties, mengamati kelengkapan ruang dalam tempat tinggal yang mampu menciptakan wadah yang nyaman dan bermakna bagi penghuni
    2. Communication Properties, hubungan antara perancangan ruang terhadap unsur komunikasi dan kenyamanannya antar penghuni maupun dengan lingkungan
    3. Symbolic Properties, kekuatan simbolis atau makna ruang yang tercipta dan bagaimana unsur pembentukannya

    BalasHapus
  8. Nama : Panji Anom Ramawangsa
    NRP : 3213.207.003
    Judul Thesis : PERANCANGAN TATA RUANG SENTRA PEDAGANG KAKI LIMA PADA KAWASAN WATERFRONT TELUK PALU
    ( bagian 1 )

    LATAR BELAKANG
    Kawasan pantai Talise merupakan kawasan publik yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang bersifat publik. Kawasan ini terletak di pinggiran Teluk Palu yang memiliki Karakteristik kawasan yang terdiri atas laut, teluk, sungai, dan pegunungan memiliki kesan visual yang cukup kuat dalam skala kota, sehingga kawasan pantai Talise merupakan kawasan yang potensial untuk mendukung kepariwisataan serta mampu menjadi salah satu elemen pendukung aktifitas publik (activity support) untuk warga kota Palu.
    Hal lain yang menjadi isu sentral di kawasan pantai Talise kelurahan Besusu Barat adalah berkembangnya pedagang kaki lima (PKL) dengan berbagai macam jenis jualan, seperti makanan, minuman, buah-buahan dan karaoke mulai mendominasi kegiatan di kawasan tersebut. Kegiatan pedagang kaki lima yang ada merupakan kegiatan ekonomi masyarakat dan juga merupakan suatu aktifitas sosial antara pedagang dengan publik sebagai pengguna kawasan.
    Namun nilai positif yang tumbuh bersama dengan menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) adalah berkembangnya kawasan pantai Talise sebagai penopang ekonomi lokal, khususnya masyarakat ekonomi lemah di sekitar kawasan pantai.

    KAJIAN AESTHETIC BEHAVIOR TERHADAP TESIS
    Ilmu estetika terkait dengan (1) Pengidentifikasian dan pemahaman faktor – faktor yang memberi konstribusi pada persepsi suatu objek atau proses yang dianggap indah atau memebrikan eksperiensi yang dapat menyenangkan dan (2) Pemahaman sifat kemampuan manusia untuk menciptakan dan emnikmati “display” yang tercipta yang menyenangkan secara estetis.
    Pengalaman estetis berkaitan dengan pancaran makna yang timbul dari hasil suatu design yang kemudian dipersepsi oleh pengamat atau pengguna. Amos Rapoport (1977) menyatakan bahwa :
    “ Kelihatannya manusia mereaksi lingkungan sebagai ungkapan memaknai. Seseorang mungkin berkata bahwa evaluasi ligkungan lebih berupa tanggapan afektif kleseluruhan daripada analisa yang mendetail dari aspek-aspek khusus. Hal ini lebih merupakan masalah fungsi laten daripada fungsi manifest dan sebagian besar dipengaruhi oleh imaji-imaji dan hal-hal yang ideal.”
    Menurut pendapat Gibson (1950) terdapat beberapa type dari makna yaitu makna primitif, makna kegunaan, makna instrumen, makna nilai dan emosional dari suatu benda, tingkatan tanda dan tingkatan simbol. Hershberger (1974) mengidentifikasikan lima type dari makna yaitu : makna presentasional yang melibatkan persepsi tentang raut dan bentuk , makna referensial, makna afektif, makna evaluatif dan makna preskriptif.
    Pada teori Mediasional tentang makna suatu lingkungan oleh Hershberger terlihat bahwa untuk mendapatkan suatu respons dari individu harus ada stimulus yang berupa obyek. Obyek disini bisa berupa obyek intangible ( kejadian, tanda ) atau obyek tangible ( bentuk, simbol ). Jadi bentuk dan estetika merupakan suatu stimulus untuk mendapatkan respons guna mendapatkan pemaknaan. Stimulus tersebut kemudian digambarkan dalam pikiran dan direspons dengan perasaan yang baru , kemudian dilakukan tindakan ( atau berupa perasaan yang menyenangkan).
    Selain dari berbagai pendekatan estetika tersebut diatas Ralf Weber mendekati pokok estetika melalui bentuk ( form ) dengan penggabungan pendekatan obyektifdan subyektif dengan dukungan teori estetika presentasional Imanuel Kant. Masalah bentuk indah dan menarik menurut Weber adalah masalah pokok arsitektur tetapi dikuatirkan bahwa arsitektur hanya merupakan ilmu “membungkus” belaka. Fokusnya kemudian adalah proses persepsi, proses pengendapan bentuk lingkungan. Weber juga merujuk pada sikap ‘organizational’ yang dikembangkan J.J.Gibson . Kognisi adalah proses pencantuman nilai kepada hasil persepsi. Melalui proses ini hasil persepsi menjadi citra yang bermakna. Bantuk yang paling estetik adalah bentuk yang memungkinkan pengolahan sebesar-besarnya atas kesederhanaan organisasional ( maximally articulated simplicity of organization )


    BalasHapus
  9. (bagian 2)

    Hal ini terkait dengan kedudukan pengguna karya arsitektur yang bukan saja bertindak sebagai observer dan kontemplator dari estetika arsitektur, tetapi juga berperan sebagai partisipan aktif dari karya arsitektur (Lang, 1987 & Muhamed).
    Lebih jauh Amiranti (2010) menyimpulkan dari Lang (1984, 1994) untuk memahami estetika sebagai: (1). Pengidentifikasian dan pemahaman faktor-faktor yang memberi kontribusi pada persepsi suatu obyek atau proses yang dianggap indah (beautiful) atau memberikan eksperiensi yang dapat menyenangkan; dan (2). Pemahaman sifat kemampuan manusia untuk menciptakan dan menikmati display yang tercipta dengan menyenangkan secara estetis. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap persepsi pada lingkungan yang menyenangkan sebagai kontribusi atau akhir instrumental yang diklaim oleh Santayana (1896) dalam Lang (1987) yaitu sensory, formal and symbolic aesthetic.
    • Estetika Sensorik yaitu, rasa menyenangkan/tidak menyenangkan dari seseorang atau grup tertentu yang timbul akibat pengalaman panca inderanya terhadap sesuatu. Ia berkaitan dengan kenangan.
    • Estetika Simbolik, yaitu rasa menyenangkan / tidak menyenangkan cenderung membawa pengamatnya untuk mengasosiasikannya terhadap sesuatu yang lain, yang muncul akibat kebutuhan manusia akan afiliasi, identitas, dan penghargaan.
    • Estetika Formal yaitu rasa menyenangkan/tidak menyenangkan yang lebih cenderung didasarkan pada pola, tatanan, dan komposisi.
    Menurut Santyana (1896, dalam Hadinugroho, 2002) dan Lang (1987), dalam catatan kuliah Arsitektur Perilaku, bahwa klasifikasi teori estetika dari perspektif perilaku, terbagi menjadi tiga yaitu :
    • Estetika Formal, yang terfokus pada objek, dalam kontribusinya terhadap respon estetis mengenai ukuran, bentuk, warna, ritme, sekuen visual, dsb.
    • Estetika Sensori, yaitu nilai sensori ditimbulkan dari suatu sensasi yang menyenangkan yang diperoleh dari warna, suara, textur, bau, rasa, sentuhan, dsb. yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan yang diciptakan. Dengan kata lain bahwa memperhatikan aspek fisiologis yaitu memunculkan sebuah ‘rasa’.
    • Estetika simbolik, memberikan kesenangan pada seseorang secara sosio-kultural.

    Dari penjelajahan diatas tentang estetika yang terdapat pada olahan perancangan sentra pedagang kaki lima dari segi perencana (pengembang) maupun (calon) pengguna sedikit banyak telah dapat dinyatakan bahwa pendekatan estetika yang terdapat dan dilakukan terhadap perancangan Mengenai makna ini tak kurang
    Hersberger menyatakan :
    …Meaning is not contained in the elements of architecture, but rather something which is intended for attributed to them by human beings…(Robert G. Hersberger,1972)
    Makna symbolic juga tergantung dari konteksnya. Charles Moore (1938) menyatakan sekurangnya terdapat tiga tingkatan makna yaitu : syntactic, semantic dan pragmatic. Makna syntactis dihasilkan dari lokasi bangunan terhadap sekelilingnya. Makna semantic merujuk pada norma , idea atau sikap yang muncul dari penampilan elemen bangunannya. Makna pragmatic berkaitan langsung dengan symbol-symbol yang digunakannya dalam bangunan tersebut. Dengan konteks yang demikian maka makna symbolik yang muncul dari penampilan tampang sentra pedagang kaki lima adalah makna syntactis yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa penampilan khas tampilan sentra pedagang kaki lima langsung menunjukkan lokasi dimana rumah tersebut berada dan ini sekaligus juga menunjukkan betapa lebih prestisius nya kawasan itu disbanding kawasan lainnya. Penampilan estetika tampang langsung menunjukkan lokasi tersebut. Makna semantic yang muncul dari tampilan sentra pedagang kaki lima adalah norma khas misalnya pertetanggaan yang tidak lagi akrab seperti di kampung ataupun munculnya sikap saling adu lebih dalam berpenampilan mendandani estetika tampang kawasan masing-masing (barangkali inilah yang disebut pengaruh dari affordances oleh Gibson,1966)

    BalasHapus
  10. (bagian 3)

    TEKNIK PENCARIAN DATA
    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana dalam prosesnya dilakukan dengan menghasilkan data deskriptif yang berhubungan dengan fenomena yang terjadi di lapangan. Adapun tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pemenuhan fasilitas/sarana pendukung ruang publik yang menunjang aktifitas/ kegiatan pedagang kaki lima di kawasan pantai Talise kelurahan Besusu barat, Kota Palu.
    a. Kategori Data
    Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan melengkapi konsep dasar penataan ruang publik dengan kasus ruang usaha dan lingkungan pedagang kaki lima, maka data yang dikumpulkan dibagi dalam dua kategori yaitu :
    1. Data kuantitatif, meliputi data-data yang berhubungan dengan aspek fisik, diantaranya :
    a. Jumlah pedagang kaki lima di kawasan pantai Talise Kelurahan Besusu Barat
    b. Jumlah pengunjung pedagang kaki lima di kawasan pantai Talise Kelurahan Besusu Barat setiap harinya.
    c. Jumlah kendaraan yang parkir di kawasan pantai Talise Kelurahan Besusu Barat
    2. Data kualitatif, meliputi data-data yang berhubungan dengan aspek fisik, sosial dan ekonomi, diantaranya : kondisi eksisting kawasan, tapak kawasan, keadaan sosial menyangkut tingkat pendidikan pedagang kaki lima dan keadaan ekonomi menyangkut tingkat pendapatan / hari.
    a. Jenis Data terdiri dari :
    • Data Primer : Data yang diperoleh dari subjek penelitian, data ini berupa jawaban lisan melalui wawancara, dan hasil pengamatan.
    • Data Sekunder : Data yang berasal dari literatur yang menunjang penelitian/ penulisan ini, serta data dari instansi/ pihak-pihak yang berkompeten berupa dokumen-dokumen.
    b. Sumber Data, terdiri dari :
    • Person (Orang) : Pedagang kaki lima, pengunjung pada kawasan, dan semua pihak yang berkompeten memberi informasi seputar perkembangan pantai Talise Kel. Besusu Barat.
    • Place (Tempat) : Objek penelitian yaitu Kawasan pantai Talise kel. Besusu Barat.

    • Dokumen : Data tertulis dari instansi, yaitu : Bappeda Kota Palu, BPS Kota Palu, dan Badan Meteorologi (BMG).

    KESIMPULAN
    Kesimpulan yang diambil dari kajian teori yang dikaitkan dengan calon tesis Perancangan tata ruang sentra pedagang kaki lima pada kawasan waterfront teluk palu yaitu :
    • Dengan mengetahui pola perilaku yang mempengaruhi manusia tersebut kita dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan efek perilaku yang kita inginkan pada pengguna atau penghuni karya arsitektur yang akan kita rancang tersebut.
    • Efek dari perilaku tersebut ada yang bersifat nyata dan dapat kita lihat serta prediksi secara langsung (overt) namun ada perilaku yang tidak dapat kita ketahui secara langsung karena merupakan aspek personal dari pengguna desain arsitektur tersebut (covert).
    • Dalam proses kreatif merancang arsitektur dengan pendekatan perilaku, seorang arsitek seyogyanya mempertimbangkan penggunaan estetika sensori dan estetika simbolik untuk melengkapi penggunaan estetika formalnya. Hal ini terkait dengan kedudukan pengguna karya arsitektur yang bukan saja bertindak sebagai observer dan kontemplator dari estetika arsitektur, tetapi juga berperan sebagai partisipan aktif dari karya arsitektur (Lang, 1987 & Muhamed).
    • Persepsi mengenai estetika yaitu bagaimana ‘pengalaman estetis’ mengenai sesuatu dengan adanya sebuah pengamatan inderawi atau perceptual multimodal (Lang, 1984) dimana secara keseluruhan jiwa-raga kita ikut merasakan atau berpartisipasi yang dapat menimbulkan perasaaan ketertarikan. (Hadinugroho, 2002).




    BalasHapus
  11. Nama : Ana Ziyadatul Husna
    NRP : 3213207006
    Judul Thesis : PERANCANGAN RESORT DI BATU DENGAN PENDEKATAN PERILAKU HUJAN SEBAGAI KONSEP DESAIN RUMAH HUJAN
    (Bagian 1)
    LATAR BELAKANG OBJEK RANCANGAN DENGAN ARSITEKTUR PERILAKU
    Kota Batu merupakan salah satu kawasan beriklim tropis lembab yang terletak di antara 7,44deg 55,11″ sampai dengan 8,26deg 35,45″ Lintang Selatan dan 122,17deg 10,90″ sampai dengan 122,57deg 00,00″ Bujur Timur dengan luas kota sekitar 202.800km². Berdasarkan data BMKG tahun 2010-2013 Kota Batu mempunyai suhu minimum 18˚-24˚ C dan suhu maksimum 28˚-32˚C dengan suhu rata-rata 21.5˚C. Kelembaban di Kota Batu sekitar 75-98% dengan rata-rata curah hujan tiap tahun sekitar 875-3000 mm per tahun. Berdasarkan uraian data di atas dapat disimpulkan bahwa Kota Batu mempunyai curah hujan yang relatif tinggi, kelembaban udara yang tinggi, suhu yang panas sampai sedang. Pada masa sekarang Kota Batu berkembang menjadi kota wisata. Salah satu pengembangan sarana wisata di Kota Batu adalah pengembangan resort.
    Resort sebagai salah satu sarana wisata yang marak dibangun di Kota Batu menjadi icon tersendiri. Tema-tema desain yang ditawarkan resort berbeda-beda untuk menarik pengunjung. Resort itu sendiri merupakan suatu bangunan yang difungsikan sebagai tempat peristirahatan ataupun relaksasi dari rutinitas sehari-hari yang biasanya dibangun di daerah pantai, pegunungan, atau daerah yang dekat dengan sarana rekreasi. Hal ini berdasarkan pada pengertian resort menurut Dirjen Pariwisata:1988 dan Gee:1988 yang menyebutkan resort sebagai tempat peristirahatan dan rekreasi.
    Kota Batu sebagai kota yang terletak di kawasan beriklim tropis lembab mempunyai curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi akan berpengaruh pada rancangan bangunan resort nantinya. Oleh karena itu, pemanfataan hujan sebagai elemen dalam rancangan resort ini akan tanggap terhadap perubahan iklim dan memberikan tema yang berbeda dengan yang resort yang sudah ada.
    Hujan dapat memberikan banyak inspirasi dan merubah suasana hati seseorang. Perubahan suasana hati ini terjadi karena adanya efek-efek dramatis yang ditimbulkan oleh hujan seperti suara hujan, suhu yang rendah, tetesan air yang menempel pada kaca, ataupun sensasi menyentuh dan merasakan hujan secara langsung. Perubahan suasana hati yang biasanya terjadi saat hujan antara lain perasaan tenang, nyaman, teduh, bahagia, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, aspek yang terpenting dalam perancangan ini adalah memperkuat sensasi-sensasi hujan di dalam bangunan.

    BalasHapus
  12. Nama : Ana Ziyadatul Husna
    NRP : 3213207006
    Judul Thesis : PERANCANGAN RESORT DI BATU DENGAN PENDEKATAN PERILAKU HUJAN SEBAGAI KONSEP DESAIN RUMAH HUJAN
    (Bagian 2)
    IDENTIFIKASI ESTETIKA DALAM PERANCANGAN RESORT DI BATU DG PENDEKATAN PERILAKU HUJAN SEBAGAI KONSEP DESAIN RUMAH HUJAN
    Ilmu Estetika adalah terkait dengan pengidentifikasian dan pemahaman faktor-faktor yang memeberi kontribusi dengan persepsi suatu objek atau proses yang dianggap indah atau memberikan eksperinsi yang dapat menyenangkan. Ilmu estetika juga didefinisikan sebagai pemahaman sifat kemampuan manusia untuk menciptakan dan menikmati display yang tercipta yang menyenangkan secara ectetis (Lang, 1987 dan1994).
    Dalam perancangan resort dengan pendekatan perilaku hujan sebagai konsep desain rumah hujan ini, manusia adalah sebagai partisipan yang mengalami karya arsitektur. Hal ini dikarenakan tentang pemaknaan dan pengalaman manusia tentang hujan yang dapat merubah kondisi psikologisnya. Selain itu, desain bangunan yang diadaptasi dari perilaku hujan dalam menciptakan suasana ruang dengan menghadirkan hujan. Secara tidak langsung manusia yang berada di dalam ruangan resort tersebut akan merasakan hujan yang akan membentuk persepsi yang lain dari hujan sehingga perancangan resort ini diklasifikasikan pada EXPERIENCING AESTHETICS.
    Experiencing aesthetics menempatkan manusia sebagai partisipan yang mengalami karya arsitektur tersebut. Dalam memahami pengalaman estetika seseorang tentang lingkungan bina yang mana dalam rancangan ini adalah resort, dibutuhkan media untuk merangsang sensasi-sensasi atau imaji dari sensasi-sensasi tersebut sehingga mendapat kesenangan bagi seseorang yang melihatnya (Lang, 1987 dan1994).

    BalasHapus
  13. Nama : Ana Ziyadatul Husna
    NRP : 3213207006
    Judul Thesis : PERANCANGAN RESORT DI BATU DENGAN PENDEKATAN PERILAKU HUJAN SEBAGAI KONSEP DESAIN RUMAH HUJAN
    (Bagian 3)
    Perasaan senang seseorang dengan sensasi-sensasi tersebut akan menghasilkan nilai-nilai positif yang meliputi:
    a. Sensory Values: Nilai yang ditimbulkan oleh sensasi yang dapat menyenangkan, yang diperoleh melalui penginderaan manusia. Sensory values diperoleh dengan adanya estetika sensory yang merangsang alat pengindra manusia untuk menangkap estetika tersebut.
    Sensasi-sensi yang dihadirkan dalam rancangan resort ini meliputi: sense of visual, sense of auditori, sense of touch, sense of pressure, sense of lile, dan sense of self. Sense of visual nantinya secara persepsi visual, hujan dapat terlihat oleh mata manusia dalam bangunan resort. Sense of auditory nantinya secara persepsi auditory, hujan dapat terdengar oleh telinga manusia dalam bangunan resort. Sense of touch nantinya secara persepsi perabaan , hujan dapat dirasakan oleh manusia dalam bangunan resort. Selain itu, dalam persepsi rasa dan perabaan nantinya juga akan terasa perubahan temperatur di dalam ruangan (sense of pressure) sehingga adanya sensasi-sensi tersebut akan membentuk bangunan yang merespon terhadap hujan.
    Sebagai bangunan resort yang tanggap terhadap hujan, bangunan resort ini secara estetis akan indah dengan hadirnya hujan. Oleh karena itu, dalam merancang resort ini hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: curah hujan sebagai potensi utama untuk menghadirkan hujan, air sebagai cadangan hujan buatan ketika musim kemarau, suhu yang berkaitan dengan adanya perubahan suhu ketika hujan, dan kelembaban udara sehingga akan menghasilkan sensasi hujan di dalam bangunan. Sensasi-sensasi hujan sebagai parameter dalam merancang dan alat untuk mengalisis penerapan konsep rumah hujan dalam bangunan resort yang ditanggapi dengan adanya respon etrhadap bentuk, suhu, indra perabaan, penggunaan material yang menggugah hujan, dan suara-suara hujan.
    b. Formal Values: Nilai Estetis yang ditimbulkan dari komposisi pola geometrik lingkungan, pakem atau aturan-aturan yang ada. Dalam formal values terdapat FORMAL AESTHETICS yang merupakan pengalaman estetis yang diperoleh dari komposisi pola geometrik lingkungan (bentuk, ukuran, proporsi, keseimbangan, perulangan, warna, dsb dan berkaitan dengan kebutuhan psikologis dan kognisi. Aspek yang terpenting adalah pengalaman sikuensial lingkungan Dalam perancangan resort ini pengalaman sikuensial lingkungan untuk mendapat bentuk resort didapatkan dari persepsi seseorang tentang resort, hujan dan bangunan tropis.

    BalasHapus
  14. Nama : Ana Ziyadatul Husna
    NRP : 3213207006
    Judul Thesis : PERANCANGAN RESORT DI BATU DENGAN PENDEKATAN PERILAKU HUJAN SEBAGAI KONSEP DESAIN RUMAH HUJAN
    (Bagian 4)
    TEORI YANG TERKAIT DALAM PERANCANGAN RESORT DI BATU DG PENDEKATAN PERILAKU HUJAN SEBAGAI KONSEP DESAIN RUMAH HUJAN
    TEORI BEHAVIORAL SUB SYSTEM
    Behavioral Sub System pada perancangan Resort di Batu dengan pendekatan Hujan sebagai konsep desain “RUMAH HUJAN” dipengaruhi dari Personality sub-system dan Environmental sub-system sehingga membentuk desain resort.
    TEORI BEHAVIOR SETTING
    Behavior Setting adalah suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas dan tempatnya yang meliputi:
    1. Adanya aktivitas yang berulang, pola yang tetap
    2. Adanya suatu layout lingkungan tertentu
    3. Adanya suatu hubungan yang harmonis antara perilaku dan lingkungan
    4. Adanya periode waktu tertentu
    Pola perilaku tetap bisa terdiri dari beberapa perilaku berbeda yang berlangsung secara stimulan:
    1. Perilaku emosional nyata
    2. Perilaku pemecahan masalah
    3. Aktivitas pergerakan
    4. Interaksi antar personal
    5. Manipulasi objek-objek
    Dalam proses pembentukan behavior setting tidak dapat lepas dari peran manusia sebagai unsur pembentuk perilaku yang harus diwadahi dalam suatu lingkungan binaan. Dalam perencanaan behavior setting di resort mengharuskan adanya keselaran antara pola perilaku dan sistem aktivitas yang dilakukan di resort pada rentang waktu tertentu sehingga membentuk behavior setting yang sesuai.
    DATA COLLECTION METHODS and POST OCCUPANCY EVALUATION
    Prinsip-prinsip langkah rancangan arsitektur berbasis psikologi (Lehmann,2010) :
    1. Observe oocupant behavior: Mengamati perilaku seseorang perihal di resort dan pengaruh psikologisnya karena adanya hujan (SAD)
    2. Create creative survey: Melakukan survei secara kreatif untuk memudahkan seseorang memahami pertanyaan
    3. Understanding personal history: Memahami sejarah seseorang yang dijadikan sampel
    4. Have a brainstorming session with them: Brainstorming yang bertujuan untuk penerimaan desain
    Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada rancangan ini antara lain:
    1. LITERATURE SEARCH AND REVIEWING
    Building and Planning standard, Historical Document, Research Literature, Profesional Publication, Government Document, Word Wide Web
    2. DIAGNOSTIC INTERVIEWING
    3. DIAGNOSTIC OBSERVATION
    Melakukan observasi terhadap Proyek yang sejenis resort
    4. GENERAL OBSERVATION
    Untuk mengetahui hubungan yang relevan antara bangunan dan aktivitas pengguna sehingga fungsi terpenuhi
    KESIMPULAN:
    Pada perancangan resort dengan pendekataan perilaku hujan sebagai konsep desain resort untuk membentuk sensasi-sensasi hujan menggunakan rain sensation sehingga tercipta suasana rumah hujan di dalam bangunan resort.

    BalasHapus
  15. Nama : Aulia Purnamasari
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“FOLDED WATER SKIN”: PERANCANGAN KAMPUNG WISATA NELAYAN DI DAERAH SURAMADU
    (bagian 1)

    A. Informasi Penjelasan Thesis
    Desain tesis dengan judul ““Folded Water Skin”: Perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu” adalah sebuah preposisi desain hunian di daerah pesisir yang berupa alternatif desain bangunan dengan memperhatikan iklim sebagai potensi yang dapat digunakan untuk mengatur kenyamanan termal dalam bangunan di daerah pantai yang memiliki kecepatan angin tinggi, namun daerah pantai memiliki suhu udara yang rata-rata relatif lebih tinggi. Dengan permasalahan tersebut solusi desain dalam penelitian ini mencoba menggunakan air sebagai kulit bangunan yang berfungsi untuk mendinginkan bangunan. Dalam desain bangunan ini, air digunakan sebagai insulasi bangunan, yaitu isolator yang bertindak sebagai penghalang panas sehingga air tersebut memperlambat proses transmisi panas ke dalam bangunan. Insulasi berupa air ini berfungsi sebagai pelindung atap, pelindung dinding sekaligus pelindung lantai dengan demikian diharapkan kenyamanan termal di dalam bangunan tetap terjaga.

    B. Teori Behavior Setting pada “Folded Water Skin”: Perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu
    a. Behavior Setting
    1. Setting Fisik
    Ruang dan bentuk arsitektur Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu dirancang untuk tempat berlangsungnya pola perilaku baru sebagai adaptive building. Dalam bangunan ini menggabungkan berbagai fungsi karena bangunan memiliki “multipurpose function”, yaitu sebagai rumah produktif nelayan, pasar lelang ikan, food court, dan bangunan serbaguna.
    2. Synomorphy
    Keselarasan antara perilaku dengan setting fisik. Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadudirancang dengan memikirkan keselarasan antara pola perilaku dalam bangunan atau dalam sitenya sendiri.
    3. Sistem Aktivitas
    Aktivitas yang direncanakan dalam bangunan ini telah sesuai dengan fungsi dan kegunaan bangunan yaitu sebagai sebagai rumah produktif nelayan, pasar lelang ikan, food court, dan bangunan serbaguna.

    b. Behaviour Sub-System
    Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu ini merupakan salah satu contoh bangunan dengan faktor perilaku yang merupakan gabungan antara budaya kampung nelayan “CULTURAL SUB-SYSTEM” dengan “SOCIO SUB-SYSTEM”. Bangunan ini mencoba untuk mengadaptasi nilai, norma, tradisi dan kepercayaan yang ada di kampung nelayan di Surabaya.
    Adaptasi terhadap bentuk-bentuk arsitektural yang ada pada “Folded Water Skin” ini berasal dari potensi iklim yang ada pada daerah pesisir, yaitu memiliki kecepatan angin tinggi dan memiliki suhu udara yang rata-rata relatif lebih tinggi. Tetapi bentuk bentuk yang didapat dari penelitian ini berasal dari perilaku masyarakat kampung nelayan yang memiliki cara hidup yang berbeda dengan masyarakat urban pada umumnya. Sehingga untuk menciptakan karya arsitektur yang baik, tesis ini mencoba untuk mengklasifikasikan beberapa karakteristik alam dan karakteristik perilaku yang terjadi pada kampung nelayan di daerah Suramadu.

    c. Positive Theory And Behavior Setting
    Sistem perilaku dalam bangunan ini merupakan gabungan antara budaya kampung nelayan “CULTURAL SUB-SYSTEM” dengan “SOCIO SUB-SYSTEM”. Bangunan ini mencoba untuk mengadaptasi nilai, norma, tradisi dan kepercayaan yang ada di kampung nelayan di Surabaya.
    1. PERILAKU OVERT
    Integrasi antara bangunan dan perilaku masyarakat nelayan sangat berdampak terhadap pola kampung dan bentuk bangunan sesusai dengan fungsi aktivitas masyarakat nelayan di daerah Suramadu. Sehingga studi ruang dalam perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramaduini sangat inovatif.
    2. PERILAKU COVERT
    Dalam bangunan ini studi terhadap bentuk sangat memperhatikan kenyamanan termal dalam bangunan, sehingga bentuk bangunannya menggunakan prinsip adaptive architectured dengan metode merancang menggunakan folding architecture.

    BalasHapus
  16. Nama : Aulia Purnamasari
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“FOLDED WATER SKIN”: PERANCANGAN KAMPUNG WISATA NELAYAN DI DAERAH SURAMADU
    (bagian 2)

    C. Experiencing Aesthetics
    Dalam perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu ini menggunakan sudut pandang mengenai studi yang terkait dengan estetika yaitu mengekspresi lingkungan sebagai sesuatu yang utuh dan mempertimbangkan manusia sebagai partisipan atau orang yang merasakan hasil dari karya arsitektur dalam kehidupan(sebagaimana juga lingkungan sebagai bagian dari kehidupan). Perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu ini menggunakan potensi iklim di lingkungan sebagai elemen bangunan yang mempengaruhi estetika bangunan baik pada bagian eksterior maupun interior bangunan, dan fungsinya jelan untuk mendapatkan kenyamanan psikologis penggunnanya(khususnya dalam kenyamanan termal bangunan).

    D. Memahami Pengalaman Estetika Lingkungan Bina (Lang, 1987)
    a. Medianistic Approach (Lang, 1987)
    Artifak merangsang manusia dengan sensasi-sensasi atau imajinasi dadi sensasi-sensasi tersebut atau yang berasosiasi dengan lingkungan yang dirancang dengan nyaman dapat memberikan kesenangan pada orang yang melihat dan merasakan, dengan demikian bangunan tersebut memiliki nilai positif yaitu:
    1. Sensory Values dan Sensory Aesthetics
    Nilai yang ditimbulkan oleh sensasi yang dapat menyenangkan psikologi manusia yang diperoleh melalui indera manusia.
    Sensory aesthetics pada perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu ini berhubungan dengan sensasi yang menciptakan kenyamanan psikologi bagi penggunanya. Sensasi tersebut di dapat dari lingkungan(sumber daya alam) berupa; angin, air, suhu udara, kelembaban udara dan radiasi matahari di daerah pesisir. Aesthetic response adalahbagaimana usaha bangunan untuk memanfaatkan potensi lingkungan tersebut yang akan berpengaruh terhadap kenyamanan termal dalam bangunan.
    2. Formal Values dan Formal Aesthetics
    Nilai yang muncul dari aturan/tatanan material-material sensori. Kesenangan yang diperoleh dari struktur atau pola suatu proses.
    Formal aesthetics pada perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu ini berfokus pada bentuk, ukuran dan warna yang dapat beradaptasi dengan lingkungan untuk mendapatkan kenyamanan termal di dalam bangunan.Pengalaman estetik yang diperoleh dari komposisi pola geometrik lingkungan(proposi, irama, keseimbangan, perulangan, dll).
    3. Expression Association Values
    Dalam bagian ini terdapat 3 values yaitu: Aesthetic values, practical values dan negative values.
    4. Symbolic Aesthetics
    Pada thesisi ini symbolic aesthetic memikirkan mengenai psikologi pengguna dan aspek yang mempengaruhi fisik bangunan untuk mencapai lingkungan binaan yang sesuai dengan folded water skin di kampung nelayan.

    BalasHapus
  17. Nama : Aulia Purnamasari
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“FOLDED WATER SKIN”: PERANCANGAN KAMPUNG WISATA NELAYAN DI DAERAH SURAMADU
    (bagian 3)
    b. Being Revealed By Building Poe
    dalam tesis ini Building Poe digunakan sebagai parameter terhadap psikologi pengguna bangunan.
    1. Faktor Kenyamanan Termal
    Beberapa sumber penelitian dan buku mengatakan bahwa kenyamanan termal tergantung pada beberapa faktor, yaitu: kondisi iklim setempat, lingkungan pendukung bangunan dan kondisi manusia yang tinggal dalam bangunan.
    Hubungan bentuk bangunan dan kenyamanan termal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, kususnya faktor alam sebagai pengendali termal yang dapat diatur secara arsitektural dalam bangunan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal di daerah pesisir adalah daerah pesisir yang memiliki kecepatan angin tinggi, selain itu juga memiliki suhu udara yang rata-rata relatif lebih tinggi. Dengan demikian, bangunan harus dapat membuat kondisi internal dalam bangunan dalam keadaan nyaman atau dapat disebut dengan “constant internal condition”.
    Kondisi eksternal yang mempengaruhi kenyamanan dalam bangunan di daerah pesisir adalah suhu udara, air dan pergerakan udara yang dimanfaatkan sebagai kulit bangunan, dengan demikian kondisi internal sesuai dengan termal comfort untuk masyarakat nelayan.
    2. Karakteristik Kampung Nelayan
    Karakteristik kampung di daerah pesisir (permukiman nelayan) adalah sebagai berikut:
    1. Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll).
    2. Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan perairan.
    3. Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan atas:
    a. Bangunan di atas tanah,
    b. bangunan panggung di darat,
    c. bangunan panggung di atas air,
    d. bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah jarang dijumpai),
    Arsitektural bangunan dibuat menurut kaidah tradisional maupun modern sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masing-masing.
    4. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh angin, tsunami, gempa, dll.
    E. Skema Alur Penelitian
    F. Skema Kesimpulan Tesis
    Dalam perancangan Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu ini terdapat 2 faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal, yaitu faktor psikologi manusia dan faktor fisik bangunan. Untuk faktor psikologi manusia di dapat dari parameter karakteristik kampung nelayan dan kenyamanan termal untuk daerah pesisir. Sedangkan desain bangunan didapat dengan metode folding architecture. Hasil akhir dari tesis ini adalah desain tesis dari Kampung Wisata Nelayan di Daerah Suramadu yang tanggap terhadap lingkungan, sehingga kenyamanan termal dalam bangunan dapat tercipta.

    Untuk lebih lengkap mengenai bagan dan gambar pada tugas ini, silahkan klik link berikut:
    http://www.4shared.com/web/preview/doc/v5VI3nnvba?

    BalasHapus
  18. Nama : Rigan Satria A. Putra
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“Perancangan Gedung Bersejarah Melalui Strategi Pelestarian Bangunan Cagar Budaya (kasus : eks Bioskop Indra Surabaya)"
    (BAGIAN 1)
    BAB 1
    Property Boom yang dimulai pada tahun 1990- an telah mengubah wajah kota Surabaya dengan tampilan baru. Pembangunan kawasan perumahan perumahan baru pada lahan yang relatif kosong di Surabaya Barat dan Surabaya Timur, serta pembangunan bangunan-bangunan baru seperti pertokoan, perkantoran, hotel apartemen, ruko pada kawasan yang telah berkembangan di pusat-pusat kota. Beribu-ribu hektar lahan pertanian yang produktif dan hutan kota di Surabaya Barat dan lahan resapan di pantai Timur Surabaya telah musnah menjelma menjadi permukiman elit. Beratus-ratus hektar kawasan perkampungan di pusat-pusat kota yang bernilai sosial-budaya dan bangunan bersejarah telah lenyap terganti dengan bangunan komersial.
    Maraknya pembangunan ini baru terhenti atau terpaksa seketika terhenti dengan terjadinya Property Crash pada tahun 1997. Namun seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik, pada tahun 2001 pembangunan kawasan perumahan dan bangunan komersial kembali marak. Sejarah berulang kembali, pembangunan-pembangunan baru dimulai kembali dan melenyapkan kawasan dan bangunan-bangunan bersejarah di pusat-pusat kota tanpa memperhatikan peraturan cagar budaya yang ada seperti kasus pasar Wonokromo, rumah sakit Mardi Santosa, dan stasiun Semut.
    Salah satu penyebab perusakan bangunan cagar budaya di Surabaya adalah sanksi yang terlalu ringan dari Pemerintah Kota. Karena itu, pelestarian cagar budaya sangat tergantung pada kesadaran dan kepedulian masyarakat Kota Surabaya terhadap benda atau bangunan warisan bersejarah. Berdasarkan UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, sanksi untuk para pelaku perompakan cagar budaya hanya berupa denda sebesar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Sanksi ini tak sebanding dengan nilai sejarah yang disampaikan sebuah cagar budaya. Di Surabaya, tercatat 163 bangunan cagar budaya, yang terdiri dari rumah tinggal, toko, kantor, tempat ibadah, dan alun-alun. Tanpa adanya kepedulian dan rasa memiliki dari masyarakat setempat, maka saksi bisu sejarah Kota Surabaya tersebut terancam lenyap.
    Sebagai warisan budaya, kenapa bangunan cagar budaya dilestarikan adalah karena bisa menjadi masterpiece karya kreatif manusia yang memiliki keunikan universal (outstanding universal value), dan memiliki keaslian (originality). Dari aspek sejarah, antropologi, arkeologi, etnologi, apresiasi keindahan dan artistik serta alasan keilmuan seperti geografi dan geologi, setiap bangunan-bangunan bersejarah beserta kawasannya di Surabaya, diharapkan bisa menjadi masterpiece kota.
    Pada masa mendatang, pembangunan bangunan-bangunan baru dengan berbagai macam fungsi ini pada bangunan cagar budaya tentunya sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan kepadatan yang tinggi pada lahan atau bangunan di kawasan kota yang padat dan diharapkan dapat menghidupkan kawasan tersebut atau disebut juga sebagai infill design. bangunan-bangunan baru atau infill design yang dapat memperkuat atau bahkan merusak karakter pada kawasan pelestarian di kota Surabaya, melalui beberapa studi kasus seperti stasiun Semut dan rumah sakit Mardi Santosa. Pengalaman tentang hasil desain bagunan-bangunan baru ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi pemerintah kota Surabaya dalam mengambil keputusan untuk pemgembangan kota pada kawasan pelestarian.

    BalasHapus
  19. Nama : Rigan Satria A. Putra
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“Perancangan Gedung Bersejarah Melalui Strategi Pelestarian Bangunan Cagar Budaya (kasus : eks Bioskop Indra Surabaya)"
    BAGIAN 2
    BAB II
    OBYEK PENELITIAN :
    GAMBARAN UMUM BIOSKOP INDRA SURABAYA

    Pemerintah Kota Surabaya menyatakan bangunan gedung bekas Bioskop Indra di kawasan Jalan Gubernur Suryo Kota Surabaya yang kini terbengkalai merupakan bangunan cagar budaya. Letak dari Bioskop Indra memiliki potensi yang sangat besar, mengingat lokasinya di tengah kota dan dekat dengan bangunan cagar budaya lainnya seperti Gedung Balai Pemuda. Bioskop Indra merupakan saksi bisu masa kejayaan era bioskop tahun 1980-an bersama dengan 61 bioskop yang pernah ada di Surabaya.
    Bioskop Indra selain berfungsi sebagai bioskop, ternyata memiliki sejarah lain yang cukup unik karena sebelumnya pada era penjajahan Belanda, bangunan ini adalah berupa restoran yaitu Restoran simpang (Simpang Societeit). Dengan memiliki sejarah, lokasi dan potensi lainnya Bioskop Indra perlu dilakukan sebuah revitalisasi. Di dalam penelitian ini dilakukan upaya konservasi dengan salah satu metodenya yaitu infill design. Penambahan gedung baru ini memiliki fungsi yang menyesuaikan dengan konteks dan masa kini pada gedung lama tanpa merobohkan bangunan lama.
    BAB III
    KAJIAN TESIS BERDASARKAN ARSITEKTUR PERILAKU
    3.1 PENGERTIAN ENVIRO ATTRIBUTES
    Hubungan manusia dan lingkungan (di dalam arsitektur) berdasarkan pada proses psikologi di dalam hubungan manusia dengan lingkungannya (Kopec,2010). Psychology enviromental adalah efek dari lingkungan fisik yang dibatasi oleh persepsi, kepercayaan, kecenderungan, pengalaman dan kepribadian.
    Macam-macam dari ENVIRO ATTRIBUTES :
    1. STRUKTUR FISIK/ ESTETIKA FORMAL (dimensi, bentuk)
    2. STIMULI FISIK / ESTETIKA SENSORI (kebisingan, cahaya, temperatur dsb)
    3. ESTETIKA SIMBOLIK
    3.1.1 ESTETIKA FORMAL TESIS
    Berdasarkan the hierarchy of human needs and design concerns hal-hal yang harus diperhatikan dalam aesthetic needs : beauty, formal, pattern, sequence, sensory aesthetics, symbolism, intelectual aesthetics yang berkaitan juga dengan cognitive needs.
    Struktur fisik ini sangat berpengaruh dan terkait terhadap judul tesis ini karena infill design erat kaitanya dengan tampilan fisik bangunan. Tampilan fisik yang dimaksud antara lain seperti dimensi, proporsi, warna, material dan lainnya.
    3.1.2 STIMULI FISIK TESIS
    Berdasarkan the hierarchy of human needs and design concerns hal-hal yang harus diperhatikan dalam estetika sensoris adalah physiological needs yang berkaitan juga dengan a healthy biogenic environment dan safety and security needs.
    Stimuli fisik ini tidak terlalu berpengaruh dan terkait terhadap judul tesis ini karena rancangan terkait sains arsitektur ada seperti penggunaan cahaya alami, passive cooling, dsb namun tidak dibahas mendalam.

    BalasHapus
  20. Nama : Rigan Satria A. Putra
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“Perancangan Gedung Bersejarah Melalui Strategi Pelestarian Bangunan Cagar Budaya (kasus : eks Bioskop Indra Surabaya)"
    BAGIAN 3
    3.1.3 ESTETIKA SIMBOLIK
    Berdasarkan the hierarchy of human needs and design concerns hal-hal yang harus diperhatikan dalam estetika simbolik adalah sense of place yang berkaitan dengan neighborhoods, appropiate behavior settings, the built environment, esteem needs, self actualization needs dan orientation spatial social.
    Estetika simbolik ini juga berpengaruh dan terkait terhadap judul tesis ini karena infill design erat kaitanya dengan konservasi bangunan cagar budaya dimana bangunan itu sebagai sebuah simbol suatu kota.
    3.2 PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERILAKU

    Dalam penelitian ini menurut Porteus, 1970 mengenai pengaruh lingkungan terhadap perilaku dalam arsitektur terdiri dari :
    1. ENVIROMENTAL DETEMINISM (BEHAVIOR MODIFIER)
    2. ENVIROMENTAL POSSIBILISM
    3. ENVIROMENTAL PROBABILISM
    Berdasarkan teori ini, tesis ini termasuk ke dalam enviromental probabilism karena hasil rancangan nantinya akan menimbulkan banyak kemungkinan yang terjadi terhadap penggunanya.
    3.3 TINJAUAN BERDASARKAN MAKNA ARSITEKTUR
    Makna merupakan kode-kode dari signifikasi yang menyampaikan seperangkat sistem relasi dan ideologi, semua artefak termasuk obyek-obyek arsitektur menyatakan secara tidak langsung makna yang dikandungnya (Cook, 2006).
    Menurut Hershberger (1977), makna arsitektur dibagi menjadi dua :
    1. MAKNA REPRESENTASIONAL (tempat)
    2. MAKNA REPRESENTATIF (manusia)
    3.3.1 MAKNA REPRESENTASIONAL
    Makna representasional bersifat sebagai icon bukan sign. Di dalam makna representasional terdapat 3 level dasar pemaknaan yaitu :
    1. RECOGNITION OF FORM
    2. CATEGORIZATION OF FORM
    3. REALIZE FORM STATUS TO PERSON IT SELF
    Dalam tesis ini, pengunjung akan berusaha mengenal bentuk dari obyek arsitektur yang diteliti yaitu Bioskop Indra. Selanjutnya pengunjung akan mengkategorikan bentuk apa yang dilihat paling dominan pada bangunan.Stetlah mengkategorikan akhirnya pengunjung menyadari dan memahami bentuk arsitektur yang ada pada Bioskop Indra.
    3.3.2 MAKNA REFERENSIAL
    Dalam makna referensial, bentuk sebagai sebuah simbol atau simbol dari obyek peristiwa lain. Meninjau dari tesis, makna ini masuk kedalamnya tidak hanya makna representasional. Pengunjung setelah melihat bentuk dari Bioskop Indra, pasti akan membayangkan peristiwa apa yang pernah terjadi pada bangunan ini atau sejarah yang terjadi.

    Selain makna representasional dan referensial, tesis ini juga tercangkup pada MAKNA AFEKTIF , MAKNA EVALUATIF, dan MAKNA PRESKRIPTIF. Makna afektif yaitu perasaan emosi pengunjung ketika masuk di dalamnya apakah senang, sedih, kagum dan lainnya. Makna evaluatif adalah kesimpulan yang didapatkan oleh pengunjung setelah merasakan emosi yang ada. Dan selanjutnya adalah makna preskriptif yaitu pengunjung akan melakukan tindakannya sendiri setelah menyimpulkan serangkaian emosi dan kesimpulan yang didapatkan.
    3.4 BEHAVIOR SETTING
    Suatu behavior setting merupakan kombinasi stabil dari :
    1. Suatu aktifitas berulang pola perilaku tetap
    2. Suatu layout lingkungan tertentu
    3. Hubungan harmonis perilaku dengan lingkungannya (synomorphy)
    4. Suatu periode waktu tertentu

    Pola perilaku tetap bisa terdiri dari sejumlah perilaku berbeda berlangsung secara simultan :
    1. Perilaku emosional nyata : perilaku penghuni di dalam tiap hunian dan di dalam gedung
    2. Perilaku pemecahan masalah : masalah pencahayaan di dalam ruang, penghawaan
    3. Aktifitas pergerakan
    4. Interaksi antar personal : hubungan masyarakat antar hunian di dalam gedung
    5. Manipulasi obyek-obyek

    BalasHapus
  21. Nama : Rigan Satria A. Putra
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“Perancangan Gedung Bersejarah Melalui Strategi Pelestarian Bangunan Cagar Budaya (kasus : eks Bioskop Indra Surabaya)"
    BAGIAN 4
    3.5 BEHAVIORAL SUB SYSTEM
    (PARSON ,1966, EXEMPLIFIED FROM FUNCTIONAL THEORY IN SOCIOLOGY)
    1. CULTURAL SUB SYSTEM
    (nilai, norma, tradisi, keyakinan)
    2. SOCIAL SUB SYSTEM
    (Proses memegang bersama-sama dalam kelompok, peran mengharapkan bermain di kelompok khusus)
    3. PERSONALITY SUB SYSTEM
    (preferensi, pendapat, sikap)
    4. ORGANISMIC (PHYSICOLOGICAL) SUB-SYSTEM
    (usia, jenis kelamin, somatik, imperfectious, dll)
    5. ENVIROMENTAL SUB SYSTEM
    (stimulus eksternal dan tahapan tindakan)
    3.5.1 Aplikasi pada Tesis dengan Teori Behavioral Sub System
    1. CULTURAL SUB SYSTEM
    (nilai dan norma pada masyarakat Kota Surabaya pada khususnya, tradisi masyarakat perkotaan )
    2. SOCIAL SUB SYSTEM
    Rancangan infill design pada Bioskop Indra ini nantinya merupakan bangunan komersial yang berfungsi kembali sebagai bioskop, fasilitas-fasilitas penunjang yang lainya seperti restoran, tempat belanja, kafe yang akan digunakan oleh orang banyak.
    3. PERSONALITY SUB SYSTEM
    Sikap dan tindakan pengunjung berdasarkan hasil rancangan Bioskop Indra baru yang akan digunakan.
    4. ORGANISMIC (PHYSICOLOGICAL) SUB-SYSTEM
    Rancangan ini merupakan bangunan komersial yang akan digunakan oleh berbagai kalangan dan beragam umur dan jenis kelamin.
    5. ENVIROMENTAL SUB SYSTEM
    Stimulus eksternal berupa hasil rancangan Bioskop Indra yang akan digunakan oleh pengunjung dan menentukan tindakan yang akan dilakukan pengunjung.
    3.6 TERRITORIALITY
    Perilaku spasial yang melibatkan kontrol khusus terhadap ruang oleh individu atau kelompok yang bersifat intraspesifik memberikan hak-hak kepada individu atau kelompok terhadap yang bersangkutan

    ORGANISASI TERITORY :
    1. MIKRO SPACE : personal space, ruang minimum untuk manusia, aktif dipertahankan , sifatnya mobile
    2. MESO SPACE : home base, ruang di luar ruang mikro, sifatnya semi permanen, berupa lingkungan
    3. MACRO SPACE : merupakan home range, ruang di luar home space, area umum
    3.6.1 Aplikasi pada Tesis dengan Teori Territoriality
    1. MIKRO SPACE : ruang-ruang bersifat personal dalam bangunan komersial seperti : kafe, salon, restoran, WC
    2. MESO SPACE : ruang di luar ruang mikro pada bangunan rancangan Bioskop Indra yang baru antara lain : pertokoan, tenant, kios, selasar pejalan kaki di dalam bangunan
    3. MACRO SPACE : lingkungan di luar bangunan Rancangan Bioskop Indra yang baru yaitu : tempat parkir, area lansekap dan vegetasi, selasar pejalan kaki di luar bangunan
    3.7 OBSERVING, CONTEMPLATING AND EXPERIENCING AESTHETICS (Lang,1992)
    1. FORMAL AESTHETIC
    Ukuran, bentuk, warna dan keseimbangan, irama dll
    2. SENSORY AESTHETIC
    Sensasi yang diterima dari warna, warna, suara, tekstur
    3. SYMBOLIC AESTHETIC
    Apresiasi arti lingkungan yang memberi orang kesenangan
    4. INTELECTUAL AESTHETIC
    3.7.1 Aplikasi pada Tesis dengan Teori Territoriality
    1. FORMAL AESTHETIC
    Ukuran-ukuran ruang dalam rancangan Area komersial dalam Eks Bioskop Indra yang tidak sempit dan mengintimidasi, ukuran penambahan bangunan baru disesuaikan agar tidak mengalahkan bangunan lama, penggunaan warna-warna yang diharmoniskan dengan warna bangunan lama sebelumnya, bangunan baru menggunakan irama elemen-elemen bangunan lama yang diterapkan pada bangunan baru dengan desain yang lebih modern.
    2. SENSORY AESTHETIC
    Penggunaan warna yang harmonis dengan bangunan lama sehingga pengunjung akan merasa menyatu ketika di dalam bangunan baru. Penggunaan tekstur yang memberikan pengunjung pengalaman di dalam bangunan baru yang dipadukan dengan bangunan lama namun tetap terasa adanya satu kesatuan. Dilakukan juga permainan pencahayaan alami dan buatan di dalam gedung
    3. SYMBOLIC AESTHETIC
    Rancangan Bioskop Indra yang baru ini mampu memberikan kesenangan pada pengunjung

    BalasHapus
  22. Nama : Rigan Satria A. Putra
    NRP : 3213207016
    Judul Thesis :“Perancangan Gedung Bersejarah Melalui Strategi Pelestarian Bangunan Cagar Budaya (kasus : eks Bioskop Indra Surabaya)"
    BAGIAN 5
    3.8 DATA COLLECTION METHODS
    Prinsip-prinsip langkah rancangan arsitektur berbasis psikologi (Lehmann,2010) :
    1. Observe oocupant behavior
    2. Review their schemata
    3. Create creative survey
    4. Understanding personal history
    5. Have a brainstorming session with them
    Prinsip-prinsip langkah rancangan arsitektur berbasis psikologi (Lehmann,2010) :
    1. Mengobservasi perilaku pengunjung pada bangunan berjenis komersial seperti : jalan-jalan, makan, menonton bioskop, berbelanja, berbincang-bincang, bersosialisasi dll
    2. Mengumpulkan “schemata” bangunan komersial pada sampel masyarakat untuk bisa melihat desain area komersial menurut mereka
    3. Membuat survey kreatif dengan tidak hanya lewat kuisioner namun juga lewat media sosial di internet seperti contoh skyscrapercity.com
    4. Memahami sejarah dari tiap orang masyarakat yang dijadikan sampel
    5. Membuat sebuah brainstorming dengan memberikan opsional hasil rancangan yang akan ditunjukkan dan didiskusikan dengan masyarakat yang dijadikan sampel
    3.9 LITERATURE SEARCH AND REVIEWING
    1. Enviromental design research findings : territoriality, privasi, komunitas, keamanan dan kebutuhan sosial dan psikologi pengguna
    2. Daftar sumber literatur :
    • Standar bangunan
    • Dokumen sejarah
    • Publikasi
    • Literatur penelitian
    • Peraturan
    • Dokumen pemerintah
    • Literatur populer
    • Internet

    3.9.1 Aplikasi pada Tesis dengan Teori Territoriality
    1. Enviromental design research findings : territoriality pada bangunan bioskop Indra yang baru, privasi pengunjung di dalam bangunan, komunitas atau masyarakat pemakai, keamanan dalam bangunan dan kebutuhan sosial dan psikologi pengunjung di dalam area komersial
    2. Daftar sumber literatur :
    • Standar bangunan : neufert, time saver standart dll
    • Dokumen sejarah : foto-foto lama Bioskop Indra
    • Publikasi : melalui media cetak seperti koran dan majalah
    • Literatur penelitian : penelitian ilmiah atau jurnal yang membahas mengenai banguan cagar budaya dan infill design
    • Dokumen pemerintah : data-data terkait bangunan cagar budaya di Surabaya
    • Internet : media sosial seperti facebook, website dan blog yang membahas sejarah Bioskop Indra
    3.10 POST OCCUPATION EVALUATION (POE)
    Proses sistematis mengevaluasi sejauh mana bangunan yang ditempati memenuhi kebutuhan pengguna dan tujuan.
    Proses dari POE secara umum terdiri dari 3 tahapan antara lain :
    1. PERSIAPAN (2-3 minggu)
    2. WAWANCARA (1 minggu)
    3. ANALSIS dan LAPORAN (3-6 minggu)
    Properti bangunan yang perlu dievaluasi :
    a) Sifat kemudahan bagi pengguna
    b) Kondisi udara (cahaya, panas dsb)
    c) Komunikasi dalam bangunan
    d) Property symbolic
    e) Sensory properties
    4.3.1 Aplikasi pada Tesis dengan Teori POE
    UNSUR FISIK
    • kenyamanan terhadap iklim
    • Material yang digunakan pada bangunan baru
    • Suasana interior di dalam bangunan baru
    • Suasana interior di dalam bangunan lama yang telah dirubah
    UNSUR NON FISIK
    • privasi pengunjung di dalam bangunan
    • Teritorialitas bagi pengunjung
    • kenyamanan pengunjung di dalam bangunan
    DAFTAR PUSTAKA
    1. Kopec, D. (2010). Environmental psychology for design. New York: Fairchild.
    2. Lang, Jon T. (1974). Designing for human behavior: architecture and the behavioral science.Michigan University: Dowden, Hutchinson & Ross.
    3. Hersberger, R. (1977). A study of meaning and architecture. Doctoral disertation, university of Pensylvania, Philadelphia

    BalasHapus
  23. Nama : Made Wina Satria
    NRP : 3213202001
    Judul Thesis : Kajian Estetika Arsitektur Pura di Bali

    Dikarenakan dalam kolom comment ini tidak dapat melampirkan foto, maka saya mempublis melalui blog pribadi saya. Berikut link nya :
    http://winasatria.blogspot.com/2014/06/kajian-estetika-arsitektur-pura-di-bali.html

    BalasHapus
  24. Nama : Benny Eka Putra
    NRP : 3213207007
    Judul Thesis : “Perancangan Pusat Perbelanjaan Sepanjang Koridor Jl. Tunjungan dengan pendekatan arsitektur Perilaku"
    ( objek Kasus : Jl. Tunjungan, Surabaya )

    (BAGIAN 1)
    BAB 1
    Arti penting keberadaan ruang publik pada kota di Indonesia semakin lama diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah,sehingga ruang yang sangat penting ini semakin berkurang. Ruang-ruang publik yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, seperti lapangan olahraga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, lama-kelamaan menghilang digantikanoleh mal, pusat-pusat perbelanjaan, dan ruko-ruko.Kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik,terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan.
    Surabaya merupakan kota yang memiliki sejuta daya tarik, mulai dari bangunan – bangunan bersejarahnya, makanan khasnya, sampai kepada shopping Window yang hingga kini masih ramai dikunjungi, mulai dari kaum muda hingga kaum yang sudah tua. Terletak pada dataran rendah dan menjadi kota no.2 terluas setelah jakarta. Hal ini membuat Surabaya disukai oleh para kaum investor, wisatawan local dan wisatawan asing, hal ini terlihat dengan penuhnya Pusat perbelanjaan yang ada pada setiap akhir pekan maupun hari libur Nasional oleh pendatang dari kota – kota tetangga seperti malang, dan kota-kota lainnya.
    Salah satu daya tarik yang ada di Surabaya adalah kawasan wisata belanja di Jalan Tunjungan. Selain berada di pusat kota. Tempat ini juga menjadi tempat nongkrong dan jalan – jalan bagi kaum muda di Surabaya. Sejak tahun 1989 dipelopori oleh hadirnya Tunjungan Plaza, koridor ini telah beralih fungsi menjadi salah satu kawasan komersial dan menjadi salah satu tujuan wisata yang memiliki citra tersendiri dan menjadi kebanggaan Kota Surabaya.

    BalasHapus
  25. Lingkup Study koridor Jl. Tunjungan
    Batasan Study : Gedung Siola – Monumen Pers
    Makna dan Simbolisme Koridor Jl. Tunjungan Menurut Sejarah Tahun:
    • 1870 – 1940 : kawasan Elit, penghubung Surabaya Utara dengan Surabaya Selatan
    • 1941 - 1970 : kawasan Elit, Penghubung Surabaya Utara dengan Surabaya Selatan.
    • 1971 – 1977 : sebagai salah satu jalur utama penghubung Surabaya Utara dengan Surabaya Selatan, sebagai koridor perdagangan elit dimasa lalu dan perjuangan penyobekan bendera belanda.
    • 1978 – Sekarang : sebagai salah satu jalur utama penghubung Surabaya Utara dengan Surabaya Selatan, sebagai koridor perdagangan elit yang banyak berubah fungsi menjadi kawasan komersial dan perkantoran. Dengan pedestrian ways yang memanjang di sisi jalan Tunjungan.
    Pengelolaan Behavior Pengguna Ruang Publik Kota.
    Untuk mendukung teori estetika tersebut dalam sisi bagaimana pengguna dari karya desain arsitektur yang kita rancang tersebut akan menerima atau memproses persepsinya terkait efek dari pengalaman estetika yang dialaminya maka kita dapat memadukannya dengan teori yang dikemukakan oleh Robert G. Hershberger mengenai bagaimana seorang arsitek harus mampu memperkirakan bagaimana pengguna dari karya arsitekturnya akan berperilaku sebagai akibat dari pengalaman akan ruang dan estetika yang diterimanya, prinsip dari teori tersebut adalah sebagai berikut :

    Teori Makna Arsitektur oleh Robert G. Hershberger

    Mengungkapkan makna dalam arsitektur dapat dibagi menjadi :
    2 kategori yang merupakan dasar dari pengertian arsitektur dimana arsitek harus sadar akan :

    1. Representational meaning
    Lingkungan sekitar yang mempengaruhi arsitektural harus diketahui, ini mewakili organisme manusia sebagai persepsi, idea.

    2. Responsive meaning
    • Terdiri dari tanggapan individu yang sudah direpresentasikan secara individu, meliputi respon perasaan, evaluasi, atau menentukan sesuatu. Menampilkan keadaan lingkungan sekitar atau ide yang muncul sebagai apa yang seharusnya dilakukan.
    • Terdapat perbedaan diantara pengertian arsitektural diatas yaitu responsive meaning tergantung pada representational meaning
    Representational Meaning dalam objek Jl. Tunjungan :

    1. Adanya Suatu ketetapan untuk mempertahankan bangunan lama sebagai cagar budaya di sepanjang koridor Jl. Tunjungan, Dengan perwujudan Arsitektur Kolonial Belanda.
    2. Bentukan sebagai ikon pada fasade bangunan dengan langgam arsitektur simbolik kolonial belanda. Dengan ciri khas tekstur, warna, bentukan dengan potensi yang tidak berubah dari peremajaan jaman dan penggunanya.
    Responsive meaning dalam objek jl. Tunjungan :
    1. Dengan koridor cagar budaya ini maka ide yang muncul dalam merancang adalah menselaraskan tampang bangunan di sepanjang koridor ini dengan konsep arsitektur kolonial belanda. Dengan penggunaan tekstur, warna dan material yang khas langgam tersebut.
    2. Adanya suatu pedestrian Ways yang lebar di sepanjang kanan- kiri koridor jl tunjungan. Sebagai penghubung antar shopping windows dan sebagai kenyamanan seluruh masyarakat yang berkunjung. Dengan fasilitas kursi, difable ways, dan pepohonan sebagai pendingin.

    KONSEP TEORI POSITIF
    Dalam teori Arsitektur Perilaku ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam suatu perancangan, yaitu :
    1.Fisik ( estetika formal )
    Struktur fisik pada thesis ini sangat berpengaruh pada bentuk bangunan sepanjang koridor jalan tunjungan . Mengenai bentuk, ukuran dan proporsi bangunan

    2.Stimuli ( estetika termal / sensorik )
    angin, suhu, udara, kemacetan, kebisingan, radiasi matahari, air, lalu lintas

    3.Simbolik( estetika simbolik / makna )
    Nilai yang muncul dari aturan/tatanan material-material sensori. Kesenangan yang diperoleh dari struktur atau pola suatu proses.

    BalasHapus
  26. EXPRESSION ASSOCIATION VALUES
    1. AESTHETICS VALUES
    Persepsi bahwa sesuatu itu indah karena mempunyai asosiasi dengan observernya
    2. PRACTICAL VALUES
    Ekspresi utilitas suatu obyek
    3. NEGATIVE VALUES
    Kesenangan yang diperoleh dari hal-hal yang menimbulkan kejutan, hal-hal yang aneh, menakutkan.

    BEHAVIOR SETTING
    Suatu behavior setting merupakan kombinasi stabil dari :
    1. Suatu aktifitas berulang pola perilaku tetap
    2. Suatu layout lingkungan tertentu
    3. Hubungan harmonis perilaku dengan lingkungannya (synomorphy)
    4. Suatu periode waktu tertentu

    POSITIVE THEORY AND BEHAVIOR SETTING

    1. SETTING FISIK
    Ruang dan bentuk arsitektur dirancang untuk tempat berlangsungnya pola perilaku baru.
    2. SYNOMORPHY
    Keselarasan antara perilaku dengan setting fisik.
    3. SISTEM AKTIVITAS
    Aktivitas yang direncanakan dalam bangunan ini telah sesuai dengan fungsi dan kegunaan bangunan.

    THERMAL COMFORT FACTORS
    Parameter utama yang digunakan dalam tesis ini adalah faktor yang mempengaruhi kenyamanan pedestrian sebagai ruang publik bersama

    FORMAL AESTHETICS
    Pengalaman estetik yang diperoleh dari komposisi pola geometrik lingkungan(proposi, irama, keseimbangan, perulangan, dll)
    Pola geometrik lingkungan yang berupa komposisi wujud bangunan dan pedestrian di kiri-kanan nya. Diimbangi dengan irama dan keseimbangan

    BEHAVIOUR SUB-SYSTEM
    Dalam behaviour Sub-System ada 5 macam di dalam Arsitektur Perilaku antara lain :
    ( Parson, 1966, exemplifiel from function theory in sociology )
    1. Cultura Sub-System ( value, norm, traditions, beliefs )
    2. Social Sub-System ( The processes of holding together in group )
    3. Personality Sub-System ( Preperences, opinions, attitudes )
    4. Organismic ( Physiological ) Sub-System ( Age, sex, somatic, imperfeftious, etc )
    5. Environmental Sub-System ( External stimulus and scene of actions )
    Dalam judul tesis perancangan pusat perbelanjaan sepanjang koridor jl.tunjungan ini sub system yang dipergunakan dalam menetukan profil gaya hidup & preferensi wujud fisik dipergunakan 3 macam sub system yaitu :
    1. Cultura Sub-System ( value, norm, traditions, beliefs )
    2. Social Sub-System ( The processes of holding together in group )
    3. Personality Sub-System ( Preperences, opinions, attitudes )

    POST OCCUPANCY EVALUATION ( POE )
    Dalam merancang untuk melengkapi sebuah kriteria suatu desain diperlukan analisa purna huni yang disebut dengan Post Occupancy Evaluation ( POE ) :
    1. Hubungan Pengguna dgn setting fisik pada bangunan sepanjang koridor jl.tunjungan
    2. Properti bangunan yang perlu di evaluasi
    - Amenity building ( kelengkapan bangunan )
    - Ambient building ( wujud bangunan, kegunaan bangunan, fungsionalitas bangunan )
    - Communication building ( secara fisik telepon, hp, kalau secara psikologis ruang perantara,ruang interaksi sosial )
    - Symbolic building ( contoh warna, asosiasi kelempok pengguna, kepercayaan)
    - Sensory building ( lebih ke indra, seperti pencahayaan , penghawaan dan perabaan )

    BalasHapus
  27. Melati Rahmi Aziza18 Juni 2014 pukul 00.32

    Nama : Melati Rahmi Aziza
    NRP : 3213202002
    Judul Tesis : Kajian Estetika Arsitektur Gianyar Bali dengan Sudut Pandang Estetika Arsitektur Barok

    Dikarenakan dalam kolom comment ini tidak dapat melampirkan foto, maka saya mempublis melalui blog pribadi Wina. Berikut link nya :
    http://winasatria.blogspot.com/2014/06/pendekatan-medianostic-pada-kajian.html

    BalasHapus
  28. Nama: Dila Permatasari
    NRP: 3213207017
    Judul tesis: Perancangan Klinik Rehabilitasi Alzheimer dengan Pendekatan Pencahayaan Alami dalam konteks Healing Architecture.
    BAGIAN I
    1.1.1 Arsitektur Rumah Sakit
    Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2004:8). Bangunan Rumah Sakit dirancang untuk memberikan kemudahan pelayanan maupun penunjang pemberian akses bagi pasien, seiring dengan fungsi tersebut Rumah Sakit juga harus menawarkan satu desain unik, memadupadankan bangunan berarsitek budaya, tujuannya tetap mengedepankan dan melestarikan nilai-nilai budaya Indonesia.
    Terdapat bukti yang cukup positif saat CABE (Commission for Architecture and Built Environment) mengumumkan hasil riset melalui telpon terhadap 500 perawat di London yang dilakukan sejak 12-27 Agustus 2003, yang menyatakan bahwa para perawat tersebut sangat menyadari bahwa desain rumah sakit dan lingkungannya berdampak langsung terhadap kecepatan kesembuhan pasien (patients recovery rate) dan terutama pada tingkat stres mereka. Hal lain yang juga diungkap dalam riset tersebut adalah sebagai berikut:
    •91% Perawat dan 100% Dokter yang disurvey percaya, bahwa lingkungan rumah sakit yang sudah didesain dengan baik sangat berhubungan erat dengan tingkat kesembuhan pasien.
    •90% Perawat dan 91% Dokter setuju bahwa bekerja di rumah sakit yang tidak didesain dengan baik, juga memberikan kontribusi yang tinggi terhadap peningkatan tingkat stress pasien.
    •90% dokter menyatakan bahwa sikap pasien lebih baik terhadap staf medik jika berada pada ruangan yang didesain dengan baik.
    •79% Perawat percaya bahwa desain suatu rumah sakit berperanan penting pada perkembangan etos kerja karyawan.
    •87% Perawat menyatakan bahwa rumah sakit yang didesain dengan baik akan sangat membantu mereka dalam menyelesaikan pekerjaan.
    •99% Perawat dan 100% Dokter setuju bahwa mereka harus mengkonsultasikan kepada tenaga ahli yang tepat dalam menyelesaikan pokok permasalahan desain.
    •Tetapi hanya 44% yang menyatakan bahwa mereka tidak merasakan dampak apapun dari desain fisik bangunan rumah sakit.
    Bidang fisik termasuk bangunan dan performansi ruang, tata lansekap, dan infrastruktur pendukung mulai diliputi dengan indikator kenyamanan, keindahan, serta keberhasilan pada lingkungan yang kesemuanya membangun citra layanan kesehatan dikelasnya. Bangunan yang indah, fungsional, efisien dan bersih memberikan kesan yang positif bagi seluruh pengguna rumah sakit dan menunjukkan upaya mewujudkan lingkungan yang mendukung proses penyembuhan pasien. Dengan demikian terjadilah keterpaduan antara fungsi-fungsi elemen rumah sakit/klinik dengan fungsi bangunan, dimana pada akhirnya terbentuk sebuah bangunan kesehatan yang sesuai dengan konteks lingkungannya.

    BalasHapus
  29. Nama: Dila Permatasari
    NRP: 3213207017
    Judul tesis: Perancangan Klinik Rehabilitasi Alzheimer dengan Pendekatan Pencahayaan Alami dalam konteks Healing Architecture.
    BAGIAN I
    1.1.2 Fenomena Alzheimer
    Penyakit Alzheimer merupakan salah satu bentuk demensia yang paling sering ditemukan di klinik. Demensia merupakan suatu kelainan pada otak yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. WHO (2011) mengatakan bahwa sekitar satu juta masyarakat Indonesia diatas umur 60 tahun menderita Alzheimer. Jumlah itu belum termasuk pasien yang belum atau tidak melaporkan kondisi penyakit tersebut karena tidak tahu bahwa demensia berupa alzheimer adalah penyakit. Diprediksi bahwa penderita penyakit tersebut akan bertambah menjadi 3-5 juta penduduk pada tahun 2030. Peningkatan angka kejadian kasus demensia Alzheimer berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi. Kira-kira 5 % usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun (DepKes, 2000).
    Meskipun kurang dikenal, nyatanya Alzheimer adalah penyakit paling mematikan urutan ke 5 di dunia. Hadirnya diam-diam, berkembangnya pelan namun progresif. Pendeirta Alzheimer umumnya akan merasakan gejolak emosi yang berubah-ubah. Mereka bisa sewaktu-waktu menjadi agresif, cepat marah, dan kehilangan minat untuk melakukan interaksi sosial. Terkadang mereka juga akan berhalusinasi melihat bayangan sampai menjerit ketakutan, dan akan mengikuti kemanapun perawat pergi. Pola tidur pasien pun berubah. Mereka akan terjaga pada malam hari dan tidur nyenyak saat siang hari. Jika sudah sampai ke tahap akut mereka akan mengalami disorientasi waktu. Tidak mengenal adanya siang dan malam hari. Lingkungan dan cahaya merupakan faktor penting utama yang mempengaruhi perilaku dan fungsi individu dengan penyakit Alzheimer. Perletakan shading, integrasi dengan ruang publik di dalam bangunan, orientasi serta pemilihan material dapat membantu pemulihan penderita Alzheimer karena kecenderungan utam mereka adalah mencari cahaya matahari ( Campbell et al , 1988; . Calkins , 1988; Cohen & Weisman , 1988). Mereka juga suka keluyuran, erjalan kesana kemari tanpa tujuan. Hal ini yang membuat tekanan mental pada perawat, sedangkan pasien cenderung tidak merasa stress karena mereka hampir 80% tidak mengetahui apa yang sedang mereka lakukan (www.ilmukesehatan.com – 10 April 2014). Biasanya mereka mulai menunjukkan diorientasi perilaku dan daya ingat. Sikap mudah curiga, bingung, dan tidak fokus merupakan salah satu gejala awal yang paling mudah terlihat. Secara perlahan dan pasti mereka akan kehilangan fungsi intelektual otak sampai dititik mereka akan susah berbicara dan melakukan sesuatu benar-benar tanpa berpikir sama sekali. Semua hanya berdasarkan naluri (www.penyakitalzheimer.com – 5 Februari 2013).
    Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa pasien penderita Alzheimer tidak hanya lemah fisik, namun juga mengalami masalah berat pada psikologis nya. Karena sejauh ini obat untuk penyakit Alzheimer belum ditemukan, maka pasien tidak hanya diberi perawatan secara fisik namun sangat dianjurkan melakukan perawatan psikologis berupa terapi dibantu oleh perawat/keluarga yang 24 jam nonstop berada didekat mereka. Dalam kaitannya dengan fisik dimana pasien dirawat, maka dipandang perlu adanya wadah untuk membentuk suasana ruang dan fisik rumah sakit yang bersangkutan dengan suasana tertentu dalam sebuah lingkungan penyembuhan untuk membantu proses pemulihan pasien dan mereduksi tekanan mental yang dialami oleh perawat karena mereka secara non stop memberikan perhatian penuh untuk pasien.

    BalasHapus
  30. Nama: Dila Permatasari
    NRP: 3213207017
    Judul tesis: Perancangan Klinik Rehabilitasi Alzheimer dengan Pendekatan Pencahayaan Alami dalam konteks Healing Architecture.
    BAGIAN I
    1.1.3 Healing Architecture dan Pencahayaan Alami
    Healing adalah sebuah proses penyembuhan untuk membangun kembali keseimbangan didalam organisme. Kesuksesan sebuah penyembuhan tidak hanya dari dalam individu, namun juga tak terlepas dari faktor-faktor eksternal seperti dukungan orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar. Penyembuhan bukanlah sebuah proses merawat atau memperbaiki, melainkan lebih kepada menyeimbangkan kembali semua komponen, baik internal maupun eksternal. Stark (2008) mengemukakan bahwa untuk mewujudkan lingkungan penyembuhan, teknologi, material, struktur tidak menutup kemungkinan untuk membantu menghadirkan penyembuhan secara alami. Dengan menggabungkan keseluruhan aspek tersebut maka tercipta lingkungan penyembuhan yang kondusif dan membawa kontribusi positif bagi pengguna lingkungan tersebut. Healing Architecture adalah sebuah keadaan dimana alam dan arsitektur menyatu untuk menciptakan sebuah lingkungan penyembuhan yang dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik, psikis, spiritual pasien (Rogers, 2002). Menurut Murni (2008), prinsip healing architecture adalah memperhatikan kebutuhan dasar dan hasrat manusia untuk keluar dari lingkungan yang menekan. Dengan kata lain healing architecture adalah arsitektur yang bertujuan mengembalikan keseimbangan antara kondisi fisik (yang dapat dirasakan melalui pasca indera) dan psikologis individu dengan cara menghadirkan atmosfer yang membantu proses penyembuhan pasien.
    Hosking & Haggard (1999) mengemukakan bahwa komponen healing architecture antara lain adalah taman dan ruang terbuka di antara bangunan., tampilan interior, material bangunan, pencahayaan alami, warna, seni dan dekorasi, dan faktor manusia (meliputi lima panca indera). Dari beberapa komponen diatas makan salah satu komponen healing architecture yang akan diangkat menjadi isu perancangan ini adalah aspek pencahayaan alami. Melalui pencahayaan alami, dapat tercipta lingkungan atau suasana ruang yang dapat mendukung proses penyembuhan. Pencahayaan alami merupakan salah unsur krusial dalam desain karena efek yang mampu memberikan image tertentu yang ingin ditampilkan sesuai dengan kondisi sosial pengamat. Disamping itu cahaya alami sangat dipercaya berhubungan dengan masalah kesehatan. Secara psikologis, pencahayaan alami memiliki pengaruh kuat terhadap emosi manusia seperti perasaan leluasa dan bebas. Pengaruh sensasi fisik yang ditimbulkan oleh pencahaan alami dapat mempercepat kesembuhan pasien secara signifikan. (www.healthyliving.msn.com – 18 April 2013).
    Di dalam arsitektur pemanfaatan pencahayaan alami adalah salah satu elemen utama yang menjadi bagian penting yang tidak terlepas dengan perancangan sebuah bangunan. Pencahayaan alami mampu menciptakan ruangan secara visual. Lechner (1930) mengemukakan bahwa ruang dengan cahaya yang sedikit menyebabkan ruang tersebut menjadi gelap dan dingin. Pencahayaan yang terlalu terang akan meyebabkan silau dan kurang baik bagi mata. Kenyamanan berada pada suatu ruangan dapat diciptakan dari kualitas pencahayaan dalam ruangan tersebut. Untuk memperoleh kenyamanan visual dalam ruangan, pencahayaan dapat dirancang untuk menonjolkan obyek, atau menambah daya tarik khusus dari sudut-sudut ruang. Persepsi kenyamanan fisik pengguna pun dapat dipengaruhi oleh jumlah intensitas cahaya alami saat mereka berada dalam sebuah ruangan. Cahaya alami berpotensi mengalami perubahan tingkat terang, warna, dan arah cahaya setiap waktu, sehingga mampu menghasilkan mood berbeda pada ruang. Dengan uraian diatas dapat diketahui bahwa perletakan orientasi bangunan secara tepat dapat membantu penyebaran pencahayaan alami secara tepat dan merata sehingga mampu memberikan stimuli positif terhadap kesehatan pasien.

    BalasHapus
  31. ENVIRO ATTRIBUTES
    Berdasarkan penjelasan diatas desain tesis ini masuk ke dalam 2 kategori enviro attributes, yaitu:
    1. Struktur Fisik/Estetika Formal (skala, bentuk, ukuran)
    Hal-hal yang harus diperhatikan dalam aesthetic needs, berdasarkan the hierarchy of human needs and design concern adalah: beauty, pattern, formal, dan sequence. Untuk cognitive needs: symbolism, intelectual dan sensory aesthetics.
     Aplikasi pada tesis:
    - Estetika formal sedikit banyak berpengaruh terhadap penelitian desain tesis ini karena konsep natural daylight akan berpengaruh pada pemilihan material, skala bangunan , letak bukaan dan orientasi bangunan. Yang secara tidak langsung akan membentuk sebuah facade yang dapat beradaptasi dengan iklim tropis di Surabaya.
    2. Stimuli Fisik/Estetika Sensori (cahaya, temperatur, kebisingan, penghawaan)
    Hal-hal yang diperhatikan dalam estetika sensoris adalah physiological needs yang berkaitan juga dengan a healthy biogenic environment dan safety and security needs.
     Aplikas pada tesis:
    - Estetika sensori sangat berpengaruh terhadap rancangan desain tesis ini. Karena konsep pencahayaan alami ini akan diaplikasikan menjadi salah satu terapi penyembuhan efektif pada pasien Alzheimer. Seperti peletakan bukaan yang tepat akan memberikan efek menenangkan pada perilaku disorientasi waktu mereka. Pemilihan material bukaan akan memberikan efek glare yang membantu perilaku “keluyuran” mereka sebagai penuntun untuk kembali ke ruangan inap pasien. Memperbanyak ruangan terbuka sebagai tempat berkumpul melakukan aktivitas yang bersinggungan dengan ruang luar guna menstimuli karakter mereka yang awalnya tertutup menjadi lebih senang bersosialisasi, dsb.
    OBSERVING, CONTEMPLATING AND EXPERIENCING AESTHETICS (Lang,1992)
    1. Formal Aesthetics
    Pengalaman estetik yang diperoleh dari komposisi pola geometrik lingkungan (proposi, irama, keseimbangan, perulangan, dll)
     Aplikasi pada thesis:
    - Klinik rehabilitasi akan diletakkan di perumahan elite warga.
    - skala proporsi bangunan tidak dibuat mencolok dengan sekitar.
    - Gubahan massa juga cenderung tidak terlalu rumit, karena yang ingin dicapai adalah perasaan tenang dan nyaman saat melakukan proses penyembuhan.
    - Keseimbangan didapatkan dari penggunaan warna yang digunakan juga cenderung representatif dari alam karena warna mencolok akan membuat mereka frustasi dan bingung.
    2. Sensory Aesthetics
    Sensasi yang dapat menyenangkan psikologi manusia yang diperoleh melalui indera manusia.
     Aplikasi pada thesis:
    - Konsep eksterior.
    (a) orientasi dan layout tapak
     The Walled Green. Taman “tertutup” sebagai courtyard yang juga pusat kegiatan utama didalam klinik rehabilitasi Alzheimer. Selain itu dapat sebagai sarana penyebaran cahaya alami secara merata ke seluruh ruangan untuk membantu terapi penyembuhan pasien Alzheimer.
    (b) penempatan bukaan, pemilihan material.
     Material yang digunakan sebagai facade selain harus memenuhi standart sebuah klinik juga harus sesuai dengan karakter pasien Alzheimer. Material yang terkena cahaya matahari dapat memberikan glare yg manis dapat mengingkatkan perasaaan bahagia pada pasien Alzheimer.
     Koneksi kuat antara ruang luar dan ruangan didalam bangunan dapat merubah perilaku introvert pasien Alzheimer.


    BalasHapus
  32. BEHAVIORAL SUB SYSTEM
    Terdapat 5 macam behavioral sub system namun dalam penelitian ini yang tepat diterapkan adalah:
    1. CULTURAL SUB SYSTEM
    (nilai, norma, tradisi, keyakinan)
    2. SOCIAL SUB SYSTEM
    (Proses memegang bersama-sama dalam kelompok, peran mengharapkan bermain di kelompok khusus)
     Aplikasi pada tesis:
    Pasien Alzheimer memiliki kecenderungan untuk bersikap introvert. Hal ini yang menyebabkan angka kematian mereka meninggi karena terlalu banyak menghabiskan waktu di ruangan sehingga terserang penyakit dalam yg lain. Proses merubah kcenderungan karakter introvert mereka inilah yang diharapkan dapa berubah seiring dengan konsep baru pada sebuah klinik Alzheimer.



    3. PERSONALITY SUB SYSTEM
    (preferensi, pendapat, sikap)
     Aplikasi pada tesis:
    Perubahan sikap dan tindakan pasien Alzheimer berdasarkan konsep baru yang telah diaplikasikan pada rancangan klinik rehabilitasi. Karena hal ini tidak dapat ditanyakan langsung pada pasien Alzheimer, maka informasi tersebut didapat dari care giver mereka.
    4. ORGANISMIC (PHYSICOLOGICAL) SUB-SYSTEM
    (usia, jenis kelamin, somatik, imperfectious, dll)
     Aplikasi pada tesis:
    Mayoritas usia yang terserang Alzheimer adalah > 60 tahun. Jadi bangunan klinik akan banyak di gunakan oleh penderita lanjut usia .
    5. ENVIROMENTAL SUB SYSTEM
    (stimulus eksternal dan tahapan tindakan)

    TERRITORIALITY
    Perilaku spasial yang melibatkan kontrol khusus terhadap ruang oleh individu atau kelompok yang bersifat intraspesifik memberikan hak-hak kepada individu atau kelompok terhadap yang bersangkutan

    ORGANISASI TERITORY :
    • MIKRO SPACE : personal space, ruang minimum untuk manusia, aktif dipertahankan , sifatnya mobile.
     Aplikasi pada tesis:
    ruang ruang personal di dalam klinik seperti: ruang pemeriksaan, ruang rawat inap, ruang terapi, WC khusus pasien, ruang kunjung khusus keluarga.
    • MESO SPACE : home base, ruang di luar ruang mikro, sifatnya semi permanen, berupa lingkungan.
     Aplikasi pada tesis:
    ruang ruang semi publik, seperti hall untuk kegiatan bersama, selasar yang menghubungkan antar ruang, ruang tunggu/lobbby, ruang luar didalam bangunan.
    • MACRO SPACE : merupakan home range, ruang di luar home space, area umum.
     Aplikasi pada tesis:
    akses pejalan kaki berupa selasar menuju klinik, akses emergency car, lansekap dan vegetasi di sekitar bangunan

    DATA COLLECTION METHODS
    1. LITERATURE SEARCH AND REVIEWING
    a. Enviromental design research findings : privasi, keamanan, perilaku dan karakter pasien, teriotorialitas.
    b. Daftar sumber literatur :
     Standar dan persyaratan bangunan klinik (NEUFERT)
     Jurnal yang membahas tentang penelitian serupa
     Buku literatur terkait
    2. WALK-THROUGH OBSERVATION
     Survey ke minimal 2 klinik khusus Alzheimer
     Melakukan wawancara untuk mendapatkan kunci issue dan masalah dari klinik Alzheimer tersebut
     Menyebarkan kuisioner untuk mendapatkan keinginan yang belum tercapai dari sebuah klinik Alzheimer

    POST OCCUPATION EVALUATION (POE)
    Proses sistematis mengevaluasi sejauh mana bangunan yang ditempati memenuhi kebutuhan pengguna dan tujuan
    Proses dari POE secara umum terdiri dari 3 tahapan antara lain :
     PERSIAPAN (2-3 minggu)
     WAWANCARA (1 minggu)
     ANALSIS dan LAPORAN (3-6 minggu)

     Aplikasi terhadap tesis:
    (a) Properti bangunan yang perlu dievaluasi :
     Orientasi bangunan
     Lay-out khusus bangunan untuk memenuhi karakter pasien
     Kondisi udara (cahaya dan hawa)
     Symbolic properties (railing disepanjang selasar, warna mencolok untuk satu bagian dinding tertentu sebagai penanda
     Sensory properties (bukaan, ruang luar)

    KESIMPULAN
    UNSUR FISIK
    • KENYAMANAN THERMAL DARI PENCAHAYAAN ALAMI
    • MATERIAL YANG DIGUNAKAN SEHINGGA BERIMBAS PADA GLARE YANG TEPAT BAGI PASIEN
    • KEDEKATAN TIAP KAMAR DENGAN RUANG LUAR
    • SUASANA INTERIOR RUANGAN YANG MENSTIMULI PERASAAN BAHAGIA PASIEN
    UNSUR NON FISIK
    • PRIVASI PASIEN DAN KELUARGA DI DALAM BANGUNAN
    • RASA AMAN YANG DIRASAKAN OLEH PASIEN DAN STAFF TERUTAMA SAAT MEREKA “KELUYURAN”
    • KENYAMANAN PENGGUNA BANGUNAN (PASIEN, STAFF, DOKTER, DAN TERAPIS)

    BalasHapus
  33. Nama : Mira Alfitri
    NRP :3213207001
    Judul Tesis : RUMAH ANAK CERIA SEBAGAI BANGUNAN TERINTEGRITAS DALAM PENANGGULANGAN ANAK ANAK TRAUMA AKIBAT BENCANA ALAM

    Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang makin kompleks maka manusia dan perilakunya (human behaviour) semakin diperhitungkan juga dalam proses perancangan built environment yang sering disebut sebagai pengkajian lingkungan perilaku dalam arsitektur. Bahasan ini dilandasi oleh artikel Harold M. Proshansky, William H. Ittelson & Leanne G. Rivlin mencakup berbagai hal yang dadahului oleh pemahaman tentang Psikologi Lingkungan (perkembangan, pencarian dan pencapaiannya) yang dijadikan sebagai tema pembahasan keseluruhan. Lingkungan dibahas dalam perspektif hubungan dan pengaruhnya terhadap perilaku dalam konteks setting fisik arsitektural.
    Mengacu pada pendapat Holahan (1982) disampaikan karakteristik pendekatan psikologi lingkungan terhadap perilaku dan setting fisik yang berpengaruh terhadap rancangan ruang arsitektural. Manusia mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap setting fisik dan lingkungan dengan cara yang spesifik. Psikologi Lingkungan mempunyai teknik yang khusus dalam merisetnya dengan Kognitif mapping yang dalam prakteknya menggunakan teknik observasi partisipatif. Dengan teknik riset demikian dapat diturunkan pendekatan untuk perancangan setting fisik arsitektural yang bertumpu pada Lingkungan & Human Behavioral.
    An adaptable layout is one that affords different times standing patterns of behaviour at different times without requiring physical changes. Flexible layout are those in which the structure is easy to change to accommodate different needs. This is more than is generally implied by semifixed feature space… ( Jon Lang (1997) ; Creating Architectural Theory , The role of the behavioral sciences in environmental design )
    Dari ungkapan tentang adaptasi dan fleksibilitas diatas dapat digunakan untuk lebih memperjelas kemungkinan perancangan setting dengan perhatian pada sifat adaptif manusia atau ruang yang diolah untuk mencapai tatanan yang sesuai dengan perilaku manusia ( supaya lebih gampang diadaptasi ) Mungkin karena terlalu bernilainya asumsi itu maka sedikit terlupa untuk memberi peringatan terhadap riset lingkungan yang gagal dalam mengenali kerumitan studi fenomena. Kebanyakan asumsi itu menunjukkan kebutuhan riset dengan maksud untuk mengesampingkan paradigma ‘sebab – akibat’ yang relative sederhana yang menjadi tipe riset ilmiah lingkungan .

    BalasHapus
  34. Bagian (2)
    Mira Alfitri

    Holahan (1982) menyatakan bahwa terjadinya proses psikologi manusia yang berhubungan dalan rangka mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungan fisik dipengaruhi tiga hal yaitu :
    1. Environmental Perception, yaitu proses memahami lingkungan fisik melalui input indrawi dari stimuli yang baru saja hadir atau terjadi
    2. Envorinmental Cognition, yaitu proses menyimpan , mengorganisasikan mengkonstruksi dan memanggil kembali imaji, ciri-ciri, atau kondisi lingkungan yang sudah ada / terjadi beberapa saat yang lalu.
    3. Environmental Attitudes, yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap sifat atau ciri ,kondisi lingkungan fisiknya.
    Dalam suatu setting fisik, perilaku individu mempunyai karakter perubahan yang menerus / ajeg disamping berlaku umum dan stabil/tetap. Setting fisik adalah subyek yang bersistem terbuka untuk ruang diluar dan dibatasi waktu. Peralatan yang berada dalam suatu ruang semuanya berfungsi tidak hanya dilihat dalam fungsi dekorasinya tapi mempertimbangkan juga sejumlah orang yang akan menggunakannya. Suatu ruang dengan enam penghuni didalamnya secara fisik tidak dapat disamakan dengan ruang yang sama namun berisi dua orang didalamnya. Bahkan saat penghuninya tetap, struktur yang kelihatan akan berbeda dalam menanggapi perilakunya.
    Untuk mendapat efek perubahan perilaku yang terbentuk oleh setting fisik menghendaki adanya suatu teori atau definisi tentang lingkungan yang baku. Dalam tingkatan hubungan manusia yang diberi setting sosial untuk dipakai dalam berbagai penggunaan, maka tanggapan individu tidak untuk mencampurkan proksimal dan sinar distal serta gelombang suara, bentuk dan struktur, obyek dan ruang, tapi untuk berhubungan dengan person yang lain termasuk dalam aktifitas, ruang dan untuk penggunaan khusus.
    Ada hubungan timbal balik antara arsitektur lingkungan ( ruang) &perilaku manusia. Menurut Amos Rapoport (dalam Haryadi, 1995), kajian arsitektur lingkungan & perilaku salah satunya berkaitan tentang bagaimana lingkungan terbangun mempengaruhi perilaku manusia didalamnya & unsur-unsur fisik yang menyebabkan manusia berperilaku berbeda dalam satu setting. Perilaku dioperasionalisasikan sebagai kegiatan manusia yang membutuhkan setting/wadah kegiatan berupa ruang. 12 atribut yang muncul dari interaksi manusia dan lingkungan yaitu kenyamanan, sosialitas, visibilitas,aksesibilitas, adaptabilitas, rangsangan inderawi, kontrol, aktivitas, kesesakan (crowdedness), privasi, makna, legibilitas (Weisman, 1981).

    BalasHapus
  35. NAMA : ANDI EKA OKTAWATI
    NRP : 3213207005

    Judul : Revitalisasi Gedung Kesenian Societeit de Harmonie di Makassar Dengan Memadukan Arsitektur Makassar

    BAB 1 . PENDAHULUAN
    Gedung Kesenian Societeit de Harmonie merupakan salah satu situs bangunan peninggalan sejarah yang berada di Makassar. Saat ini bangunan tersebut mengalami degaradasi/ penurunan kualitas sebagai gedung kesenian di Makassar. Oleh karena itu perlu adanya pelestarian terhadap bangunan cagar budaya berupa revitalisasi. Revitalisasi berdasarkan UU RI Nomor 11 tahun 2010 adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dari tesis rancang ini adalah bagaimana konsep merancang Gedung Kesenian Societeit de Harmonie dengan kondisi kebutuhan ruang yang tidak mencukupi. Dan bagaimana merancang Gedung Kesenian Societeit de Harmonie dengan tetap mempertahankan keaslian bangunan sebagai bangunan cagar budaya. Sedangkan tujuan desain tesis ini adalah menghasilkan sebuah rancangan yang dapat menampung aktivitas di dalam Gedung Kesenian Societeit de Harmonie sebagai Gedung Kesenian Sulawesi Selatan dan menghasilkan sebuah rancangan Gedung Kesenian Societeit de Harmonie sesuai dengan konteks revitalisasi.

    BalasHapus
  36. ANDI EKA OKTAWATI (bagian 2)

    B. Kajian Teori Arsitektur Perilaku Terhadap Desain Tesis

    Dalam perancangan tesis ini membutuhkan suatu teori tentang arsitektur perilaku untuk menghasilkan sebuah rancangan yang sesuai dengan tujuannya yaitu merevitalisasi Gedung Kesenian di Makassar. Dalam hal ini menggunakan sebuah teori positive teory dan behavior setting. Yaitu teori yang dikembangkan oleh Amiranti (2003), adaptasi Posteous (1977), lang (1987) dan Elyacoubi (1999).
    Teori ini berawal dari identifikasi perilaku pengguna bangunan dari beberapa subsystem perilaku, yaitu cultural, social, personality, organismic, dan environmental sub system. Dari identifikasi tersebut menghasilkan profil gaya hidup dan preferensi wujud fisik sementara itu juga dipengaruhi oleh kebutuhan akan estetika (aesthetic need). Setelah adanya profil gaya hidup yang ditimbulkan maka akan tercipta perilaku overt dan perilaku covert. Perilaku overt (cara melakukan aktivitas) akan mengacu pada sebuah rancangan behavior setting berupa study ruang. Sedangkan perilaku covert (preferensi bentuk & suasana) akan mengacu pada rancangan behavior setting berupa study bentuk/suasana.
    Sampai pada tahap rancangan ini, juga menggunakan teori tentang study aesthetics. Yaitu suatu teori tentang teori dengan pendekatan estetika rancang sebagai parameter dalam rancangan behavior setting berupa study bentuk/suasana. Rancangan tesis ini memilki konsep rancang yaitu Eklektik, perpaduan arsitektur colonial (renaissance) dengan arsitektur lokal (Makassar). Untuk bisa memadukan kedua arsitektur yang berbeda, maka diperlukan studi pendekatan estetika. Studi estetika terdiri dari 3 bentuk estetika yang digunakan, yaitu formal aesthetics, sensory aesthetics, dan symbolic aesthetics. Ketiga bentuk estetika tersebut akan menjadi parameter dalam rancangan gedung kesenian dengan konsep eklektik, yaitu perpaduan bentuk, perpaduan langgam, dan perpaduan material bangunan.
    Pada tahap perpaduan bentuk dan langgam membutuhkan parameter estetika formal dan estetika simbolik. Sedangkan pada tahap perpaduan material hanya menggunakan parameter estetika sensori. Estetika formal menggunakan parameter desain berupa irama, skala, proporsi, unity, dan bentuk. Estetika simbolik mengarah pada sebuah identitas bangunan yang diasosiasikan oleh pengamat. Sedangkan etetika sensory lebih mengandalkan pancaindra yaitu indra penciuman, perabaan, penglihatan dan pendengaran. Setelah melalui proses rancang dengan menggunakan positive theory dan pendekatan study estetika tersebut, akan menghasilkan sebuah rancangan berupa study ruang dan study betuk/suasana dalam bangunan sehingga dapat mewujudkan tujuan rancang yaitu merevitalisasi gedung cagar budaya dalam wujud Gedung Kesenian Societeit de Harmonie di Makassar.

    BalasHapus
  37. nama : sudiarty syarif
    NRP : 3213207002
    Judul Thesis : SEKOLAH INKLUSI: Architecture for the Senses
    Kajian teori Arsitektur perilaku terhadap judul desain tesis
    Difabel atau different abilities berarti orang dengan kemampuan yang berbeda adalah sebutan bagi mereka yang memiliki keadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda dengan orang lain pada umunnya. Dengan segala perbedaan fisik, seorang difabel seringkali memiliki kelebihan-kelebihan daripada orang lain pada umumnya. Difabel juga merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) dan memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan layak tanpa diskriminasi.
    Di Indonesia sudah banyak yang memiliki sekolah inklusi dari negeri sampai swasta, namun desain sekolah-sekolah ini tidak memperhatikan dari segi indra sebab melalui indra Touch, Smell, Taste dan Suara arsitektur yang dapat memiliki efek yang lebih dalam selain itu dapat meningkatkan atau mengembangkan different abilities ini. Faktor yang mampu mengantar mereka memiliki kemampuan untuk berinteraksi. Sekolah inklusi dengan pendekatan Architecture for the Senses ini memfasilitasi siswa dengan rasa memiliki terhadap lingkungan dan membentuk memori yang kuat dari ruang.
    Desain tesis ini dirancang agar mampu dikenang serta dapat mengembangkan siswa difabel karena mampu memberikan impact yang bersifat sensory bukan sekedar estetika visual atau sekedar mengemban ilmu. Selain itu, desain pada ruang-ruang kelas (Interior) mengajak different abilities benar-benar merasakan fungsi bangunan yang berfungsi selaras dengan different abilities. Tentang kesenangan menemukan apa yang menyenangkan dan menciptakan lingkungan bahwa lingkungan sekolah memberi makan roh dan jiwa different abilities. Maka dalam tesis ini saya akan mengabaikan visi dan mengaktifkan indera melalui arsitektur.

    Behavior Setting :
    Ada beberapa faktor yang dapat memeberikan sumbangsih terhadap pembentukan suatu desain bangunan agar antara penghuni dan lingkungan yang di ciptakan dapat balance atau memberikan kenyamanan pada si pengguna tersebut. Faktor yang berpengaruh dalam hal ini different difabel disesuaikan dengan perilaku serta kebiasaan mereka yang diciptkana dalam bentuk ruang seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang yakni bagaimana menciptakan suara dalam bentuk desain agar mereka bisa mengetahui itu ruang tertentu lalu melalui alat indra peraba dalam bentuk material yang memiliki tekstur tertentu. Jadi, dari pengenalan ruang melalui alat indra melalui program dalam pembelajaran mereka yang akan membentuk pola ruang bahkan memberikan suatu pengembangan bagi mereka untuk mencapai kesetaraan dengan manusia lainnya (fisik sempurna). Setting fisik disini melalui kebiasaan mereka, kebutuhan dari para difabel dari segi sensorynya, dari identifikasi tersebut maka akan terbentuk synomorphy yakni keselarasan antara perilaku dengan setting fisiknya.

    Sistem aktifitas :
    1. Dapat bermain tanpa takut cedera
    2. Bisa tanggap terhadap materi pada setiap mata pelajaran karena suasana ruang kelas.
    3. Adanya pola ruang membantu mereka bersosialisasi dengan lingkungan dan siswa-siswa lain sehingga tidak mengganggap diri mereka berbeda dengan yang lainnya.

    Setting fisik :
    Menciptakan desain yang sesuai dengan kebutuhan dan sirkulasi yang aksesibel bagi para siswa khususnya yang penyandang disabilitas, telah diselesaikan dengan menggunakan pendekatan desain Sensory.

    BalasHapus
  38. nama : sudiarty syarif
    NRP : 3213207002
    Judul Thesis : SEKOLAH INKLUSI: Architecture for the Senses
    BAGIAN 2
    Sensory Aesthetics :
    Nilai estetika sensori ditimbulkan dari suatu sensasi yang menyenangkan yang diperoleh dari warna, suara, textur, bau, rasa, sentuhan, dsb. yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan yang diciptakan. Dengan kata lain estetika ini memperhatikan aspek fisiologis yaitu memunculkan sebuah ‘rasa’.
    Pada desain tesis ini yang menjadi sensory interface yakni dari pencahayaan (Light) yang menjadi respon terhadap psikologi dari pengguna, selain itu material yang tanggap atau respon terhadap skin (peraba) dari pengguna, sound terhadap pendengar dan beberapa interface lainnya. Dari analisa tersebut akan terbentuk Analytical response yaitu kemanan, ketenangan fisik-batinia serta kepuasan terhadap si pengguna dengan menggunkan pendekatan dari beberapa sense sebagai Aesthetic Response yakni sense of self , sense warmth, balance antara sekolah inklusi dengan para difabel , preasure, sense movement, rytme bangunan dari bentuk orientasi yang terbentuk seolah-olah berirama yang mereka tanggap dari alat inda pengguna serta sense life.

    Organisasi pencapaian dari sekolah inklusi :

    Bermula pada pengguna yakni different abilities kemudian perilaku dari difabel ini disetting pada sekolah inklusi architecture of the sense melalui program sekolah diantaranya penulisan braile, membentuk kerja kelompok dalam bersosialisasi maupun belajar, sifat mandiri yang dibentuk dari lingkungan sekolah tersebut sehingga mencapai pengembangan diri serta sifat mandiri diantaranya bisa mencapai ke perguruan tinggi negeri seperti yang lainnya.

    Conclusion :
    Perancangan Sekolah Inklusi ini dilatar belakangi dari kurangnya jumlah sekolah yang mempunyai pendekatan dari sense yakni alat indra mereka sehingga mereka bisa mencapai kepuasan dan dapat menikmati suasana kelas mereka selain itu melalui sekolah inklusi ini dapat mengembangkan pola perilaku dari si anak agar bisa bersaing dengan anak-anak lainnya misalnya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi yang sama dengan pengguna yang memiliki fisik yang sempurna. Pencapaian dari sekolah ini dapat memberikan kepercayaan diri sehingga mereka tidak minder lagi dengan keterbatasan mereka. Permasalahan desain pada proyek ini, yaitu menciptakan desain yang sesuai dengan kebutuhan dan sirkulasi yang aksesibel bagi para siswa khususnya yang penyandang disabilitas, telah diselesaikan dengan menggunakan pendekatan desain inklusi dan pendekatan sensory para pengguna. Selain itu, pendalaman karakter ruang pada desain diharapkan dapat membantu penyelesaian ruang kelas sebagai tempat berlangsung aktivitas utama di sekolah. Dengan adanya desain ini, diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pihak pemerintah maupun swasta untuk mengembangkan fasilitas pendidikan khususnya sekolah inklusi.

    BalasHapus
  39. NAMA : Joyce Martha Widjaya,
    NRP : 3213301001
    Judul Paper : FAKTOR PENENTU KONFLIK PENGGUNAAN RUANG DI JALUR PEDESTRIAN TEPI JALAN
    Determinants of Conflict Occurrence on Space Sidewalk Usage
    joyce_widjaya@yahoo.com,

    Jalan perkotaan di Indonesia banyak yang tidak dilengkapi dengan jalur pedestrian, kalaupun ada, tidak berfungsi sebagaimana harusnya, akibat dimanfaatkan oleh PKL, parkir kendaraan, kegiatan usaha, gali dan tutup lubang untuk kabel serat optik, PDAM, Gas, dan lain-lain. Banyak peraturan dan perundangan menjamin adanya ketertiban dan keamanan pengguna jalan, tetapi tidak mudah untuk diimplementasikan.
    Kondisi ini makin rumit dengan adanya praktek-praktek pengelolaan informal oleh bandar PKL atau oknum RT/TW. Pada akhirnya pejalan kaki harus berjalan di pinggir badan jalan, yang rawan kecelakaan dan menyebabkan kemacetan lalu lintas.
    Kusbiantoro B.S, et all (2006) mengungkap bahwa fasilitas pejalan kaki pada sistem jalan di perkotaan sangat dibutuhkan, namun ruang yang tersedia untuk pengembangan fasilitas pejalan kaki sangat terbatas, sehingga sulit untuk dikembangkan.
    Fenomena yang terjadi bahwa semua pengguna butuh akses dengan menggunakan jalan secara aman, nyaman, tertib dan lancar, namun di lapangan tidak semua jalan mengakomodasikan semua pengguna dengan baik. Diperlukan perlindungan pengguna terhadap keamanan, kenyamanan dan kelancaran, dan kesehatan.
    Akibat apabila tidak ditangani adalah permasalahan akan makin meluas, karena pejalan kaki yang berjalan di pinggir badan jalan menyebabkan rawan kecelakaan, pemanfaatan diluar fungsi menimbulkan kemacetan lalulintas. Penyalahgunaan trotoar mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana publik, tingginya tingkat keluhan masyarakat, kumuh serta degradasi lingkungan.
    Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan yang terungkap dalam Widjaya, J.M (2012) menyatakan bahwa yang menjadikan sulitnya pelaksanaan implementasi kebijakan terkait penataan penggunaan jalur pedestrian, adalah pembiaran terhadap konflik kepentingan penggunaan ruang, dengan 4 (empat) kategori aspek penentu : Aspek Fisik, Aspek Perilaku, Tata Kelola (Good Governance), dan Sumber Daya (Manusia dan Dana).
    Perlu merumuskan indikator Konflik yang akan digunakan dalam penyusunan Model Konsensus Penggunaan Jalur Pedestrian Tepi Jalan di Perkotaan berbasis dinamika Konflik. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah faktor sosial ekonomi dan lingkungan apa yang mengakibatkan terjadinya konflik penggunaan ruang di Jalur pedestrian tepi jalan.
    Penelitian ini bermaksud merumuskan faktor determinan terjadinya konflik penggunaan ruang di jalur pedestrian tepi jalan, dengan studi literatur dan lapangan, menggunakan metodologi kualitatif –exploratif dan teknik analisis isi..
    Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Studi Lapangan di Kota Surabaya, Bandung, Surakarta dan Kabupaten Gresik dengan jumlah sampel 90 responden dan Studi Pustaka dengan analisis isi, untuk mendiskripsikan teori serta memilih variable dan indikator penentu terjadinya konflik penggunaan ruang jalur pedestrian dari studi-studi terdahulu.

    BalasHapus
  40. Faktor penentu konflik penggunaan ruang jalur pedestrian tepi Jalan dicari dengan mengevaluasi pertautan antar konsep, antar proposisi, antar variabel sesrta berbagai penjelasan mengenai gejala yang ada., baik yang ditemukan dilapangan maupun dari sisi teoritis.
    Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa :
    • Faktor determinan konflik penggunaan ruang jalur pedestrian di Perkotaan adalah : Consensus/Desirable, Persuasive / Adaptive, Low Physical Effort, Flexible / Simple in Use, Landuse Generator, Signage, Necessity, Ownership, Leadership,People Empowerment, initiative , maintenance, Willingness to partipate, inclusive, local wisdom, karena factor-faktor tersebut dapat mengurangi resiko terjadinya konflik penggunaaan ruang jalur pedestrian
    • Faktor determinan konflik yang diusulkan diatas masih harus di uji kebenarannya, setelah data dari faktor-faktor determinator dan respon tersebut diukur di lapangan dengan bantuan Piranti Lunak SEM (Structural Equation Model)
    • Arahan Kuesioner yang dipergunakan dalam mengumpulkan informasi / data, disusun dengan memperhatikan faktor determinan yang dicari
    • Setelah melalui proses screening dan validasi, pada waktunya faktor determinan konflik akan dapat dipergunakan dalam desain yang dapat menjembatani kesenjangan antara teori dan praktek di lapangan.

    BalasHapus
  41. Nama : Ratna Darmiwati
    NRP : 3213301005
    Judul Paper : Bahasan Aesthetics dalam "Penempatan dan Dimensi Ruang Bersama pada Lingkungan Rusun (di luar Bangunan) dalam Konteks Perilaku dan Budaya Penghuni"
    TABEL PENILAIAN RUANG BERSAMA PADA LINGKUNGAN RUMAH SUSUN
    1. Values : Human
    Goals : Kebersamaan yg menerus dan tertib
    Facts : Terjadi dlm space yg cocok dg MBR
    Needs : Memenuhi berbagai kebutuhan hidup
    Ideas/Image :Berlangsung alami tanpa harus ditata
    lebih dulu
    2. Values : Enviromental
    Goals : Kesesuaian keberadaan Rg Bersama
    dilingkungan Rusun dgn keinginan warga
    MBR
    Facts : Adanya fakta ketidak tepatan penempatan
    Rg Bersama di lingkungan Rusun,
    menyebabkan suasana tidak tertib dan
    kurang nyaman
    Needs : Dapat memenuhi berbagai kebutuhan warga
    MBR menghidupi keluarga, tanpa harus
    meninggalkan nya, jadi dpt tetap kontrol
    keluarga.
    Ideas : Berjalan apa adanya/ nrimo ing pandhum,
    meskipun sebenarnya menginginkan perilaku
    & budaya MBR teraplikasikan dlm Ruang
    Bersama tsb.
    3. Values : Cultural
    Goals : Aplikasi kultur MBR dapat terpenuhi
    dilingkungan Rusun, untuk membuat warga
    tetap adaptif
    Facts : Aplikasi kultur sudah berjalan dilingkungan
    Rusun, ttp karena bersifat alami & tidak
    tertata baik, sehingga timbul kumuh
    Needs : Kebutuhan kebersamaan warga, sambil
    memenuhi kebutuhan lainnya.
    Ideas : Kebutuhan kebersamaan warga, sambil
    memenuhi kebutuhan lainnya.
    4. Values : Technological
    Goals :Sistem appropriate tech bisa berjalan baik,
    & sistem penataan ruang luar terpenuhi
    Facts : Sistem appropriate tech bisa berjalan baik,
    namun belum tertata baik sehingga
    terkesan kumuh
    Needs : Sebenarnya kalangan MBR, tidak
    menuntut standart tertentu, yang penting
    kebutuhan terpenuhi
    Ideas : Memenuhi suatu tujuan sesuai keinginan,
    ttp dgn caranya sendiri
    5. Values : Temporal
    Goals :Seharusnya bersifat menetap, sehingga
    memudahkan pengaturan
    Facts : Kenyataannya sering berpindah/ tidak tetap,
    sesuai keinginan penghuni, shg sulit diatur
    Needs : Keberadaan Rg Bersama memenuhi perilaku
    dan kultur MBR
    Ideas : Letak Rg Bersama mudah dicapai, dekat
    hunian,bebas pemakaian, alami/ tidak formal
    6.Values : Economics
    Goals : Memenuhi gaya ekonomi MBR, yang
    dilakukan langsung dan kedepannya diharap
    bisa berkembang
    Facts : Usaha warga hanya sesuai yang bisa
    dilakukan, tidak ada usaha utk
    dikembangkan lebih lanjut
    Needs : Semua kebutuhan yang menunjang ekonomi
    bisa berjalan, ttp tanpa target
    Ideas : Mengaplikasi ekonomi MBR & membuat
    network dg bidang lain yg menguntungkan
    7.Values : AESTHETICS
    Goals : Tertata baik dan sesuai karakter MBR
    Facts : Sudah sesuai selera MBR, tapi tidak tertata
    baik
    Needs : Sesuai perilaku & kultur MBR
    Ideas : Sesuai kultur & perilaku MBR dan tertata
    tepat dan baik, shg dapat digunakan
    maksimal

    BalasHapus
  42. Nama : Ratna Darmiwati
    NRP : 3213301005
    Judul Paper : Bahasan Aesthetics dalam "Penempatan dan Dimensi Ruang Bersama pada Lingkungan Rusun (di luar Bangunan) dalam Konteks Perilaku dan Budaya Penghuni"
    (Lanjutan)
    8. Values : Safety
    Goals : Terpenuhi dgn baik, dlm segi keamanan &
    pengamanan pada Rg Bersama
    di lingkungan Rusun.
    Facts : Terpenuhi, karena pd kalangan MBR saling
    percaya didlm kelompoknya, adl cukup
    besar
    Needs : Terpenuhi, karena pd kalangan MBR saling
    percaya didlm kelompoknya, adl cukup
    besar
    Ideas : Tetap diperhatikan adanya unsur keamanan
    & pengamanan dgn membuat keberadaan
    Rg Bersama dpt terkontrol penggunanya &
    oleh warga Rusun sendiri

    a. Intensitasnya : Attachment to place (Rubenstein, 1984) :
    Level 1 (manusia hanya tahu akan suatu tempat, dan memikirkannya namun tanpa perasaan).
    Level 2 (manusia memiliki memori terhadap suatu tempat/ personalisasi).
    Level 3 (bila eksistensi suatu tempat memberikan memori emosional pada manusia)
    Level 4 (bila tidak ada batas antara diri sendiri dan lingkungan, jadi pengejawantahannya antara keduanya menyatu)
    Bagi kalangan MBR, antara warga penghuni dan lingkungan tidak berbatas tetap dan menyatu, dimana dengan karakternya yang guyub, alami, dan tidak menyukai yang formal; semuanya diaplikasikan didalam Ruang Bersama.

    b. Hubungan antara tempat dan pengguna :
    Kesesuaian antara needs dan goals dari pengguna dengan setting fisiknya, akan menentukan pengguna adaptif terhadap tempat atau tidak, sehingga menyebabkan pemakai mencari tempat lain yang sesuai (Mc Andrew, 1993).
    Terjadi asosiasi afektif positif, antara individu dan lingkungan (Shumaker & Taylor, 1982)
    Terjadi asosiasi yang menciptakan rasa nyaman dan aman (Rivlin, 1982).
    Terjadi ikatan afektif antara manusia dan tempatnya (Tuan, 1974).
    Kesejahteraan psikologis terkait dengan keberadaan suatu tempat; artinya bila pengguna merasa tertekan atau tidak sesuai karakternya, maka akan timbul tidak nyaman berada di lokasi tersebut (Giuliani, 1991).
    Bagi kalangan MBR, antara warga penghuni dan tempat, terjadi hubungan yang erat, jadi bila karakter sosial, perilaku dan budaya tidak teraplikasi, maka akan berpindah tempat untuk mencari yang sesuai; kondisi tersebut berdampak pada adanya Ruang Bersama dalam Lingkungan Rusun (di luar bangunan) yang tidak dimanfaatkan oleh warga.
    Sebagaimana dikatakan oleh Parson (1996) dalam Behavioral Sub System; bahwa “Cultural sub system, Social sub system, Personality sub system, Organismic and Environmental sub system; sangat berpengaruh dalam penentuan Setting Fisik yang sesuai sehingga digunakan maksimal oleh penggunanya.
    Bagi kalngan MBR kondisi ini sangat dimungkinkan terjadi,karena bagi kalangan bawah penyatuan warga pengguna dengan lokasi tempat karakter perilaku dan budaya teraplikasi memiliki preferensi dan value yang kuat.



    BalasHapus
  43. Nama : Ratna Darmiwati
    NRP : 3213301005
    Judul Paper : Bahasan Aesthetics dalam "Penempatan dan Dimensi Ruang Bersama pada Lingkungan Rusun (di luar Bangunan) dalam Konteks Perilaku dan Budaya Penghuni"
    (Lanjutan)
    3. DATA COLLECTION METHODS IN BEHAVIOR ARCHITECTURE/ HERZBERGER, 2002
    a. Literature search and Reviewing :
    Mencakup empat hal, yang merupakan inti penelitian :
     Place and Dimension
     Community Space
     Low Income Flat
     Behavior and Culture
    Data Teori dan Literatur keempat hal tersebut diatas, dipakai sebagai dasar langkah-langkah yang dilakukan selanjutnya dalam penelitian.
    Dari hasil kajian keempat hal tersebut, satu sama lain digabungkan, untuk melihat keberadaan Ruang Bersama yang paling tepat dan diminati warga.

    Tahapan Observasi Lapangan

    Mencakup empat hal, yang merupakan inti penelitian :
     Place and Dimension
     Community Space
     Low Income Flat
     Behavior and Culture
    Sama seperti tahapan dalam kajian teori yang sudah dilakukan sebelumnya, maka observasi lapangan juga demikian (penelitian Deskriptif, Kualitatif) :
     Mengidentifikasi pola Ruang Komunal yang dibentuk oleh warga ataupun yang sudah ada di lingkungan Rumah Susun, bagaimana dimensinya, apakah sudah/ belum memenuhi keinginan warganya (Sumber : Dari Pengamatan, Wawancara dan Dokumentasi).
     Mengidentifikasi teritori Ruang Komunal yang dibentuk oleh warga ataupun yang sudah ada di lingkungan Rumah Susun, dimana letaknya (batasan penelitian : Letak Ruang Komunal yang berbatasan dengan jalan lingkungan kompleks Rumah Susun), apakah sudah/ belum memenuhi keinginan warganya (Sumber : Dari Pengamatan, Wawancara dan Dokumentasi).
     Mengidentifikasi Rumah Susun sejenis yang dihuni minim 10 tahun, dilakukan pengamatan perilaku dan budaya warganya apakah sudah teraplikasi dalam lingkungan Rumah Susun (Sumber : Dari Pengamatan, Wawancara dan Dokumentasi).

    b. Diagnostic Interviewing
    Dilakukan pendataan dilapangan, responden yang dituju :
    Dipilih yang kompeten dengan obyek studi, merupakan warga yang sudah berdomisili lama (minimal 10 tahun), dan dapat berkomunikasi ilmiah, termasuk tokoh warga Rumah Susun (RT, RW), Birokrat bidang pembangunan Rusun,

    c.Diagnostic Observation
    Hasil observasi lapangan, dianalisa dan diarahkan menjawab Tujuan Penelitian (seperti: hasil mengarah pada ketepatan penempatan Ruang bersama, yang mengarah pada bentukan Ruang Bersama yang diminati warga, yang mengarah pada pemakaian Ruang Bersama yang maksimal, yang mengarah pada aplikasi perilaku dan budaya warga MBR dilingkungan Rumah Susun).


    d.Walk Through Observation
    Observasi dilakukan, dengan sudah berbekal Rencana yang valid, Kuesioner, dan Alat dokumentasi; sehingga hasil yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan research dan menjawab Tujuan Penelitian.

    e.Space Inventory
    Meliputi tiga kelompok yang harus diobservasi disetiap Rumah Susun kalangan MBR, yaitu Ruang Bersama yang ada, Teritori Ruang Bersama tersebut, Aplikasi dari Perilaku dan Budaya warga penghuni :

    BalasHapus
  44. Nama : Ratna Darmiwati
    NRP : 3213301005
    Judul Paper : Bahasan Aesthetics dalam "Penempatan dan Dimensi Ruang Bersama pada Lingkungan Rusun (di luar Bangunan) dalam Konteks Perilaku dan Budaya Penghuni"
    (Lanjutan space inventory)
    Meliputi 3 kelp. yang harus diobservasi disetiap rusun MBR yaitu :
    Ruang bersama yang ada, keberadaan tempat Ruang Bersama, aplikasi perilaku dan budaya penghuni dalam ruang bersama tersebut.
    f.Trace Observation
    Observasi terhadap obyek yang diteliti (untuk menjawab Tujuan Penelitian), perlu melihat kondisinya sebelum menempati Rumah Susun tersebut, artinya perlu dikaji apakah karakter perilaku dan budaya warga sebelum dan sesudah menghuni Blok kompleks Rusun masih ada kesesuaian (sesuai statement Johan Silas : Bahwa tradisi perilaku warga kalangan MBR tidak dapat dihilangkan begitu saja oleh penetrasi kota).
    g.Systematic Observation
    Observasi yang dilakukan, harus mengikuti tahapan pencapaian Tujuan Penelitian, agar data satu dan lainnya dapat saling menunjang.
    Dalam kajian ini, tahapan yang dilakukan adalah Observasi terhadap “Place and Dimension, Community Space, Low Income Flat, dan Behavior and Culture* selanjutnya hasil rangkuman yang diperoleh dibandingkan dengan hasil kajian keempat point tersebut terhadap teori yang mendasarinya (Penelitian Deduktif).
    h.Questionaires and Surveys
    Tabel ini berisi No; Jenis Aktivitas (Formal dan non formal); penyelenggara (Warga Luar Rusun, Warga Rusun :Tokoh/non tokoh); Ruang Bersama (dibuat warga, sudah terencana); asal blok (dari 1 blok, lebih dari 1 blok); jadwal (Rutin, insidentil)

    i.Work Session
    Dilakukan secara terstruktur, dikelompokan sesuai sifat variable dan parameternya, selanjutnya dibandingkan dengan hasil kajian teori yang sudah dikaji dan dianalisa sebelumnya.
    Dari perbandingan inilah, dapat diketahui celah perbedaan, sebagai jawaban pembuktian Hypothesa (apakah terbukti atau tidak).
    Dan apabila terbukti, merupakan sumbangan Teori bagi penyempurnaan Perencanaan Rumah Susun di Indonesia.

    BalasHapus