Minggu, 19 Desember 2010

Territoriality

Menerapkan konsep “territoriality” melalui rancangan mekanisme kontrol teritori dalam perancangan arsitektur perumahan (yang mengakomodasi kebutuhan men-defensi dan mem-personalisasi teritori perumahan), merupakan upaya para arsitek untuk memberikan rasa aman, stimulasi dan identitas bagi penghuni perumahan, sebagai dasar memperoleh identifikasi diri, integritas pribadi dan keberlangsungan psikis mereka (Amiranti, 2010, adaptasi dari Porteous, 1977). Bagi mahsiswa S2 Arsitektur ITS (yang mengikuti kuliah Arsitektur Perilaku 1 semester ganjil 2010 saat ini), diminta untuk memberikan diskusi terhadap pernyataan tersebut, disertai ulasan teori yang mendukung isi diskusi serta contoh kasus di lapangan. Tentu saja komentar dari teman-teman arsitek lain (dan atau teman yang lain) sangat diharapkan untuk menambah “seru” diskusi ini. Terima kasih sebelumnya.

Sri Amiranti
Pengajar S2 Arsitektur ITS

Territoriality

Menerapkan konsep “territoriality” melalui rancangan mekanisme kontrol teritori dalam perancangan arsitektur perumahan (yang mengakomodasi kebutuhan men-defensi dan mem-personalisasi teritori perumahan), merupakan upaya para arsitek untuk memberikan rasa aman, stimulasi dan identitas bagi penghuni perumahan, sebagai dasar memperoleh identifikasi diri, integritas pribadi dan keberlangsungan psikis mereka (Amiranti, 2010, adaptasi dari Porteous, 1977). Bagi mahsiswa S2 Arsitektur ITS (yang mengikuti kuliah Arsitektur Perilaku 1 semester ganjil 2010 saat ini), diminta untuk memberikan diskusi terhadap pernyataan tersebut, disertai ulasan teori yang mendukung isi diskusi serta contoh kasus di lapangan. Tentu saja komentar dari teman-teman arsitek lain (dan atau siapapun) sangat diharapkan untuk menambah “seru” diskusi ini. Terima kasih sebelumnya.

Sri Amiranti
Pengajar S2 Arsitektur ITS

Senin, 24 Mei 2010

Mengalami estetika arsitektur

Sebagai pemanfaat (karya) arsitektur, pengguna bangunan akan mengalami estetika arsitektur. Dengan demikian dia tidak saja bertindak sebagai pengamat (observer) atau sebagai kontemplator semata, tetapi dia juga menjadi partisipan di dalamnya. Untuk itulah arsitek perlu memasukkan estetika sensori dan estetika simbolik dalam rancangannya, mendampingi estetika formalnya. Bagaimanakah pendapat teman-teman mahasiswa Program Pasca Sarjana Arsitektur (baik S2 maupun S3) yang mengikuti kuliah saya di bidang studi Kritik Arsitektur maupun bidang studi Perancangan Arsitektur terhadap pernyataan tersebut. Berilah dasar argumentasi ilmiah dalam menguraikan pendapat anda, dengan mengutip teori-teori terkait. Tentu saja pendekatan perilaku dalam berarsitektur merupakan perhatian utama dalam berargumentasi. Sampaikan pendapat anda dalam bentuk komentar untuk tulisan saya ini, paling lambat tanggal 31 Mei 2010. Saya tunggu. Sri Amiranti.