Kamis, 19 November 2009

Pemanfaatan pendekatan psikologi lingkungan arsitektur

Bisakah pendekatan psikologi lingkungan arsitektur digunakan untuk menjelaskan mengapa suatu bangunan dimanfaatkan tidak sesuai dengan rancangan peruntukannya, atau bangunan yang dimanfaatkan penggunanya setelah dilakukan perubahan tatanan setting fisiknya, atau mengapa mangga dua surabaya kurang ramai dari mangga dua jakarta? Jawabannya : BISA!

Sabtu, 18 April 2009

Pentingnya materi pendekatan perilaku bagi S2 Arsitektur ITS


PENTINGNYA MATERI ARSITEKTUR & PERILAKU BAGI S2 ARSITEKTUR ITS.

1. Kurikulum Berbasis Kasus Nyata yg dicanangkan Jurusan Arsitektur ITS, memerlukan penyempurnaan materi kurikulum dlm kritik dan perancangan arsitektur , berupa substansi dan prosedur positif (dari ilmu-ilmu perilaku bagi studi kasus-kasus nyata) guna mendampingi substansi dan prosedur normatif yg telah ada sebelumnya (lihat skema Lang, 1987, di bawah ini).


2. Environment & Behavior Studies telah dicanangkan sebagai salah satu aspek/ unsur / bagian dari arsitektur oleh Jurusan Arsitektur FTSP-ITS untuk kurikulum 2009-2011. Hal ini sejajar dg tren pendekatan arsitektural berwawasan perilaku yg berkembang saat ini. Terbukti dg diberikannya MK ini di beberapa PT, serta munculnya kelompok2 studi Environment & Behavior yg berkembang pesat di berbagai belahan dunia. (Saya pernah mengikuti salah satu konperensinya di Sidney, Australia). Hal ini sudah didukung oleh Lang (dalam Rhinehart, 2004) yang menyatakan : "Architecture is a fine art, (but) it is also a technology and an applied social/ behavioral science in which architects make statements on the activity patterns, physiological needs and aesthetic preferences of people
3. Kemampuan Pendekatan Perilaku Untuk me- Rekonstruksi (melalui Kritik, Apresiasi, Membaca Gejala Arsitektur) Eksistensi dan Jati Diri suatu Arsitektur (misal : Arsitektur Nusantara). Hal ini karena pendekatan perilaku sangat mendasarkan dirinya pada human experience, yang menjadi andalan pendekatan fenomenologi (Phenomenological Psychology à empirical phenomenological research) dalam membaca/ menginterpretasi gejala / eksistensi suatu arsitektur (Seamon, 2000). Hal ini sejalan pula dengan pendapat Jorof & Morse, 1984 mengenai lingkup penelitian arsitektur sebagai berikut :

Tabel 2.2. Diciplines Usually Associated with Study of Input and Outcomes of Built Form.

Inputs/ Outcomes Diciplines

Environmental inputs
The natural environment Geography
Cultural forces Anthropology
Economic forces Economics
Political forces Political science
Pattern of social organization Sociology
Construction/ building process Economic, civil engineering

Architectural design Psychology, architecture

Environmental outcomes
Impact upon natural environment Geography, architecture
Cultural impact Anthropology
Economic impact Economic
Political impact Political science
Social impact Sociology
Impact upon users Psychology, architecture
____________________________________________________________________
Sumber : Joroff dan Morse, 1984.
4. Pendekatan Perilaku bisa berafiliasi dengan isme arsitektur mana saja. Hal ini dikarenakan bahwa perilaku bukan hanya yang terlihat nyata (overt = yg terkait dg cara beraktivitas/ spatial behavior dan perlakuan terhadap ruang dan bentuk arsitektur), tetapi juga mencakup perilaku yg tidak terlihat (covert = yg terkait dg ”schemata”, yg menyimpan sikap, pilihan, persepsi dan pemaknaan, cara memandang, filosofi sesorang dlm menyikapi ruang dan bentuk arsitektur, dsb) (Baum, dlm Elyacoubi dan Gibson, dlm Lang, serta kritik Lang tentang Arsitektur Modern). Hershberger sangat menyarankan para arsitek untuk ”belajar” membaca ”schemata” dari calon pengguna bangunannya.
5. Sesuai panduan dari IAI Pusat, materi pendekatan psikologis dalam perancangan arsitektur (yang notabene adalah pendekatan perilaku) termasuk materi yang diberikan dalam penataran Strata 3 IAI. Saya sudah 2 tahun berturut- turut diminta memberikan materi ybs, serta berdiskusi dengan peserta penataran. Syukurlah, sambutan cukup menggembirakan, mungkin karena materi sesuai dg tren yg berlaku di lapangan. Hal ini disebabkan karena pendekatan perilaku berpotensi menjelaskan motivasi seseorang untuk menerima atau menolak suatu karya arsitektur, melalui kaitannya dg ”behavioral subsystem” manusia (”culture, social role, personality, organismic, environmental experience”) (Parson, dalam Lang), yang mewarnai motivasi dan kebutuhannya dalam berperilaku.
6. MK berbasis perilaku dlm arsitektur (dengan pendekatan ilmu psikologi lingkungan arsitektur) sudah diajarkan di S2 Arsitektur ITS selama 8-10 tahun terakhir, termasuk di Alur Kritik dan Perancangan Arsitektur (diajarkan dlm 3 semester berturut-turut). Syukurlah sambutan mahasiswa sangat positif (terbukti banyaknya tesis yang berbasis pendekatan perilaku ini, karena memang berpotensi menjawab permasalahan penelitian dalam tesis mereka) , sehingga banyak mahasiswa yg menyarankan pemangku MK ini untuk menulis buku terkait materi ybs. Bahkan terdapat mahasiswa S2 Kritik & Perancangan Arsitektur lulusan Psikologi yg sekarang sedang saya bimbing tesisnya (karena masalah dan penyelesaiannya sangatlah ngArsitektur Perilaku sesuai kapasitas saya).
7. Lingkup materi arsitektur dan perilaku sangat menjanjikan untuk dikomunikasikan ke masyarakat ilmiah/ umum, baik untuk pengembangan ilmu arsitektur maupun untuk menjawab permasalahan di lapangan. Dalam 5 tahun terakhir ini saya sudah melakukan 5 (lima) penelitian kompetensi nasional DIKTI, Due-Like dan ITS, 8 (delapan) makalah seminar nasional maupun internasional di ITS & UK Petra Surabaya, UNDIP Semarang, UGM Yogyakarta, UK Trisakti Jakarta, UNPAR Bandung, 4 (empat) artikel Jurnal nasional dan lokal, yang menyuarakan materi arsitektur dan perilaku ini, serta memperoleh sambutan yang positif.
8.1. Terakhir, saya kutipkan sekelumit tulisan Thomas Fisher di Harvard Design Magazine, yg berjudul Rising Ambition, Expanding Terrain (On Practice, Architect Behave Badly, Ignoring Environmental Behavior Research?), sebagai berikut :
Since architecture centrally involves constructing environments for people, why has the architectural community largely ignored environmental psychology, the field that analyses how well we do in meeting people’s needs? Is it that we don’t want to know or, even more troubling, that we don’t care how we’re doing? Or have our various modern and postmodern ideologies gotten in the way, allowing us to convince ourselves that the enormous literature in environmental behavior has little relevance to either the discipline or practice of architecture? And is it time, as architecture has become much less ideological and much more tolerant of difference, to look again at what environmental psychology has to offer us?
Bagi teman-teman mahasiswa S2 Arsitektur ITS yg sedang mengikuti MK Perancangan Arsitektur & Perilaku, diharap memberikan komentarnya terhadap tulisan saya ini (yg sekaligus berfungsi sebagai kuliah/ diskusi kita untuk jadwal kuliah Rabu 22-4-2009) langsung di sini.

Kamis, 02 April 2009

MK Perancangan Arsitektur & Perilaku 2009

Teman2 mahasiswa peserta MK Perancangan Arsitektur & Perilaku, S2 Arsitektur ITS, Alur Kritik & Perancangan, Semester 2, tahun 2009.

Untuk tugas apresiasi materi "Behavior Setting", anda ber 6 diminta untuk mengupas materi yg tertulis dlm points e- j dengan mereview points a-d sebagai dasar pemikirannya. Materi mencakup yg kita diskusikan Rabu 2 April 2009 kemarin. Points e - j dibagi 6 mahasiswa, sehingga tiap2 mahasiswaa hanya mengulas satu points saja. Pembagiannya sesuai urutan no absen, yaitu point e diulas p. Yusfan, demikian seterusnya. Jangan lupa utk menuliskan sumber bacaan yg dipakai utk mengulas. Sangat diperbolehkan utk mengambil materi dari luar kuliah atau dari kuliah semester lalu, bisa disertai studi kasus utk mempertegas bahasan. Tulisan ringkas, singkat namun padat (< 500 kata), berfungsi sbg komentar bagi tulisan saya ini. Saya tunggu tulisannya.

Sri Amiranti
Pengampu MK Perancangan Arsitektur & Perilaku

Minggu, 22 Februari 2009

Seorang teman pernah bertanya kepada saya : Bagaimana ciri suatu ruang/ bangunan sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu "behavior setting" (BS)? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mestinya sih kita harus melihat kembali pada unsur-unsur dan persyaratan terbentuknya BS, yaitu : adanya aktivitas ber- ulang - pola perilaku tetap, adanya suatu lay-out lingkungan tertentu (tempat berlangsungnya pola perilaku tetap tesebut), terjadi hubungan harmonis antara pola perilaku tetap tersebut dengan (lay-out) lingkungan (synomorphy ), yang terjadi pada suatu periode waktu yang tertentu (Barker, dalam Lang, 1987 dan Porteous, 1977). Menurut saya terjadinya hubungan harmonis antara perilaku dan lingkungannya merupakan faktor penting dalam suatu BS. Nah, soal bagaimana mengukur/ menandai adanya hubungan harmoni (synomorphy) tersebut tentunya ada tekniknya sendiri (he-he). Pastinya yang namanya perilaku itu bukan hanya yang menyangkut "movement" saja lo! Mudah2an tulisan ini dibaca oleh teman saya itu.