Minggu, 09 Juni 2013

DISKUSI MATERI KONTRIBUSI “POSITIVE THEORY” DALAM ARSITEKTUR PERILAKU


DISKUSI MATERI  KONTRIBUSI “POSITIVE THEORY” DALAM ARSITEKTUR PERILAKU

Skema Lang (1987) di atas menguraikan dengan jelas peran ilmu-ilmu perilaku dalam menngisi masukan “positive theory” pada proses perancangan arsitektur maupun evaluasi karya arsitektur. Bagi mahasiswa S2 maupun S3 Pasca Sarjana Arsitektur ITS yang mengikuti perkuliahan Arsitektur Perilaku,  diminta memberikan komen dalam blog ini yang menguraikan  kontribusi  positive theory” untuk menjelaskan dan mempertajam telaah / kajian substansi dan prosedur yang anda kupas dalam tesis/ desertasi anda.
Penekanan telaah/ kajian bagi tiap bidang studi adalah sbb :
·         S2 Teori, Sejarah dan Kritik Arsitektur bertumpu pada pendekatan kajian evaluatif/ kritis dari obyek/ subyek garapan dalam tesis
·         S2 Perancangan Arsitektur bertumpu pada pendekatan perancangan arsitektur dari obyek rancangan dalam tesis
·         S3 Pemukiman bertumpu pada pendekatan kajian evaluatif/ kritis dari obyek/ subyek garapan dalam desertasi atau pada pendekatan perancangan arsitektur dari obyek rancangan dalam desertasi.

Komen di blog serta keseluruhan materi tugas ini yang disajikan lengkap (dengan gambar/grafis/skema yang mendukung) dalam bentuk soft copy (yang bisa dikompilasi dalam sebuah CD untuk masing-masing bidang studi), diunggah/ dikumpulkan paling lambat hari Selasa, tggl 18 Juni 2013.
Selamat bekerja!

Wass,
Dosen MK Arsitektur Perilaku 2 dan MK Arsitektur Perilaku
Sri Amiranti

42 komentar:

  1. TEORI ESTETIKA SENSORIK DALAM PERANCANGAN
    ECO-RESORTS KHUSUS LANSIA DI BALI
    (By AGUNG TRIPRAYOGA/3212207001)

    Menurut Lang (1987), Sensory Aesthetic adalah pengalaman estetik melalui proses perseptual berbagai indera. Tetapi dalam perancangan Eco-Resorts Khusus Lansis di Bali, dimana wisatwan lansia sebagai (observer dan contemplator) yang sudah mengalami atau terjangkit gejala Alzheimer’s and Dementia yang semua indera yang dimilki lansia terganggu dan mempunyai pengalaman hidup di Negara yang lebih maju. Akan mempunyai dampak dalam persepsi Sensory Aesthetic, wisatawan lansia akan cenderung menyukai hal yang baru dalam hidupnya, yang tidak pernah didapatkan di pengalaman hidup di Negara asalnya. Oleh sebab itu dalam Behavioral Sub-System Menurut Parson (1966) dimana sebelum merancang perancang harus mengetahui 5 aspek sub-sistem observer (lansia). Dalam aspek cultural sub-system (nilai,norma,tradisi,kepercayaan), yang berlaku bagi lansia dari norma wisatwan lansia, tradisi wisatawan lansia dan kepercayaan wisatwan lansia tidak berlaku.,malah sebaliknya, perancang memakai cultural sub-system lingkungan lokal ( Bali) dalam perancangannya, karena para lansia menginginkan hal yang baru dalam berwisata dan untuk mengenalkan tradisi dan norma yang berlaku di Bali (Arsitektur Tradisional Bali ) untuk dinikmati para wisatawan. Oleh sebab itu para lansia dapat mengidentifikasikan dan memahami Arsitektur Tradisional Bali sebagai kontribusi pada persepsi suatu objek atau proses yang dianggap indah atau memberikan eksperimen yang dapat menyenangkan bagi wisatawan lansia.
    Selain itu karena wisatwan lansia yang berumur diatas 60 tahun memilki keterbatasan – keterbatasan psikis dan psikologi, maka perancang harus memperhatikan aspek – aspek yang terdapat dalam gejala Alzheimer’s and Dementia. Para lansia tidak boleh dirampas berpartisipasi dalam menikmati lingkungan binaan yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimilkinya. Keterbatasan yang dimilik lansia harusnya bukan sebagai penghambatan, dan begitu pula lingkungan binaan (arsitektur). Arsitektur harus mewadahi perilaku – perilaku serta keterbatasan yang dimiliki lansia, sehingga lansia dapat dengan nyaman dan aman melakukan aktivitasnya. Dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dalam mencapai sisi usia yang menyebabkan berbagai penurunan kemampuan pergerakan, panca inderanya serta memiliki keterbatsan lanjut usia, maka pemenuhan semua kebutuhannya khusus selama di fasiltas pariwisata memerlukan pemikiran dan perencanaan yang tepat agar sesuai tepat bagi keterbatasa wisatawan lansia yang dimilikinya. Perilaku terjadi karena adanya reaksi dari rangsangan atau dorongan. Rangsangan tersebut bisa timbul dari keinginan dirinya (motivasi, kebutuhan, pengendalian diri) atau juga didapat dari lingkungan (Porteous, 1977). Laurie (1986) menyatakan perilaku terjadi karena adanya interaksi timbal baiik antara seseorang dan orang lain serta dengan lingkungannya, atau antara dua kumpulan variabel utama. Variabel pertama adalah lingkungan yang mengelilingi dan memberi pengaruh kepada seseorang. Variabel kedua adalah bagian yang ada dalam diri seseorang, bersifat fisiologis dan psikologis. Gifford (1997) menyatakan bahwa perilaku timbul karena rangsangan dari lingkungan, personal dan sosial









    Daftar Pustaka
    - Materi kuliah arsitektur perilaku (pengampu: Ir. Sri Amiranti, MT)
    - Gregor Timlim And Nic Rysenbry (2006) Design For Dementia
    - Elizabeth C.Brawley (2006) Design Innovations For Aging And Alzheimers
    - Joyce Marcella laurens (2004) Arsitektur Dan Perliku Manusia.

    BalasHapus
  2. TEORI ESTETIKA SENSORI DALAM PERANCANGAN SEKOLAH TERAPI ANAK AUTIS DENGAN PENDEKATAN VISUAL SENSORI (Nadia Maulina A.-3212207010)-01
    Estetika sensori merupakan sensasi kenyamanan yang diterima oleh manusia dari alam sekitar (lingkungan) mengenai warna, bau, suara, dan tekstur terhadap lingkungan (Lang, 1992). Dalam mempersepsikan sebuah lingkungan manusia menmbutuhkan indera atau sensori yang menerima rangsangan sehingga manusia memberikan sebuah respon terhadap lingkungan tersebut. Peran utama dalam mempersepsikan sesuatu hal adalah indera penglihatan atau sering disebut dengan visual sensory. Menurut Max Wertheimer seorang psikolog yang mengenalkan sebuah teori yang dikenal dengan teori Gestalt (dalam bahasa jerman diartikan sebagai bentuk), yaitu tentang adanya sebuah visual persepsi yang menjelaskan awal terbentuknya sebuah persepsi visual dapat terjadi dari pengorganisasian komponen-komponen yang memiliki hubungan pola atau kemiripan menjadi sebuah kesatuan.
    Dalam proses perancangan seorang arsitek menggunakan kemampuan visual yang menyangkut fisiologi : sensitivitas retina mata, kamampuan adaptasi mata terhadap cahaya, dll. Seseorang melihat sebuah hasil karya rancangan arsitektur berdasarkan dari persepsi lingkungan yang didukung dengan persepsi visual. dalam mengarahkan persepsi visual seseorang dalam arsitektur dapat menggunakan aturan – aturan geometri yang salah satunya adalah teori “Gestalt” (teori bentuk) tersebut. Oleh karena itu peran visual persepsi dalam sebuah hasil karya rancangan arsitektur sangatlah besar.
    Pada tugas keempat mata kuliah arsitektur perilaku, tentang teori positif arsitektur psikologi lingkungan mengenai pemahaman estetika formal, estetika sensori dan estetika intelektual. Estetika sensori dan intelektual dalam arsitektur perlu diterapkan dalam sebuah rancangan yang sesuai dengan proposal tesis yang sedang dikerjakan, judulnya adalah: PERANCANGAN SEKOLAH TERAPI ANAK AUTIS DENGAN PENDEKATAN VISUAL SENSORI. Perancangan ini memiliki tujuan yaitu untuk menghasilkan desain gedung sekolah terapi bagi anak autis, dengan tatanan ruang yang mudah terprediksi oleh anak autis serta menjadi pengarah anak autis dalam mengontrol perilaku dan kesembuhan agar dapat diterima layaknya anak normal. Dengan penerapan konsep origami untuk membantu terapi anak autis yang secara visual permainan origami memiliki banyak manfaat bagi anak autis. Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan, gangguan perilaku, komunikasi dan gangguan sosial. Pada diri anak autis keunggulan dalam sistem sensori adalah pada visual sensori anak autis yang dalam menerima rangsangan dari luar mengartikan berbeda, sehingga anak autis memberikan respon yang berbeda pula dengan anak normal pada umumnya. Arsitektur dengan pendekatan fungsi memiliki tujuan utama yaitu memenuhi kenyamanan fisik dari pengguna. Kebutuhan dari kenyamanan fisik dari pengguna adalah stimulus atau rangsangan yang diterima manusia dan direspon oleh indera sebagai wujud arsitektur yang tanggap dengan lingkungan dan bagaimana pengguna tersebut menginterpretasikannya. Arsitektur yang tanggap dengan lingkungan tersebut dapat dipengaruhi oleh respon dari pendengaran, visual, penciuman, rasa, sentuhan dan perasaan yang dapat memberikan penilaian serta penentuan terhadap arsitektur tersebut (Hall:1966, dalam Broadbent : 1970)

    BalasHapus
  3. TEORI ESTETIKA SENSORI DALAM PERANCANGAN SEKOLAH TERAPI ANAK AUTIS DENGAN PENDEKATAN VISUAL SENSORI (Nadia Maulina A.-3212207010)-02

    Permasalahan yang utama yang terjadi dalam penelitian tersebut adalah mengenai dampak yang ditimbulkan oleh visual sensori anak autis yang mengalami gangguan perilaku. Visual sensori merupakan faktor utama yang mempengaruhi dalam dunia arsitektur. Pengaruh penglihatan (visual) terhadap perilaku manusia merupakan salah satu bentuk estetika sensori, yaitu estetika yang dipahami dan dipengaruhi melalui respon sebuah rangsangan terhadap indera manusia. Dalam penerapannya estetika sensori menghadirkan sebuah pengalaman estetik melalui proses perseptual dari indera atau sensori yang dimiliki manusia. Dalam hal ini anak autis memiliki gangguan sensori dan memiliki persepsi sendiri terhadap lingkungannya, “The phenomena of experiencing the presence through the senses of sight, sound, touch, smell, and taste is called perception” (Hesselgren : 1975). Anak penyandang autis memiliki cara sendiri dalam mempersepsikan dunia, salah satunya adalah visual thinking (berpikir visual) dimana mereka lebih mudah untuk memahami hal – hal yang nyata dapat dilihat dan dipegang dibandingkan dengan suatu hal yang bersifat abstrak (Siegel : 1996). Menurut peneliti dari University of Montreal - Canada menyatakan bahwa keunggulan otak anak penyandang autis adalah dalam fungsi informasi visual. Oleh karena itu konsep dalam perancangan sekolah terapi ini adalah origami yang merupakan salah satu permainan dalam proses belajar anak yang memiliki banyak manfaat positif, karena origami adalah sebuah permainan yang melibatkan cisual sensori dengan adanya bentuk dan warna. Pembahasan desain sekolah terapi dimulai dengan tampilan secara visual dari gedung yang mencerminkan pribadi anak autis, serta tatanan ruang yang terkait dengan proses terapi untuk anak autis agar dapat diterima masyarakat layaknya anak normal. Menurut Bryan Lawson (2001) untuk membantunya belajar dan bisa berkembang lebih lanjut diperlukan sebuah lingkungan familiar yang didalamnya mencakup sifat terprediksi yang mereka butuhkan. Secara umum terbagi menjadi tiga kebutuhan ruang (spatial needs) dalam upaya mengakomodasi kegiatan manusia yaitu stimulation (stimulasi), security (keamanan) dan identity(identitas). Dengan kebutuhan spesial anak penyandang autis, maka kebutuhan yang terkait dengan tiga kebutuhan ruang tersebut dan gangguan pada anak penyandang autis menjadi salah satu faktor penentu keseimbangan yang harus dicapai oleh ketiga kebutuhan tersebut untuk menjadikan sebuah lingkungan yang terprediksi didukung dengan kebutuhan khusus bagi anak autis menurut Mostafa (2008), adalah spatial sequencingof functions (order, sequence, and routine) dan visual attribute (visual cues, visual distraction, and visual support).

    DAFTAR PUSTAKA

    • Materi kuliah arsitektur perilaku (pengampu: Ir. Sri Amiranti, MT)
    • Lidwell, William & Kristina Holden, Jill Butler. (2003). Universal Principles of Design. United States of America : Rockport Publishers, Inc
    • Lawson, Bryan. 2001. The Language of Space. Architectural Press.
    • Miller LJ, Anzalone ME, Lane SJ, Cermak SA, Osten ET. Concept evaluation in sensory integration : A proposed nosology for diagnosis. Am J Occup Ther. 2007 ; 61 ; 135-40.

    BalasHapus
  4. Kajian Evaluatif Ruang Luar Kampung ditinjau dari Arsitektur Perilaku
    (Andarita Rolalisasi, 3212301001) bagian 1

    Ruang, termasuk ruang luar, merupakan hasil dari sebuah proses desain arsitektur atau kota, serta hasil perilaku manusia dimana dipengaruhi oleh persepsi, hasil eksperiensi/ pengalaman, perilaku spasial dan hasil pemaknaan pengguna terhadap ruang (Stea, 1977 dan Hersberger, 1974) serta pandangan manusia terhadap ruang yang dipengaruhi budaya manusia (Tuan, 1977). Ruang manusia mencerminkan kualitas indra dan mental manusia (Tuan, 1977).
    Geertz (1965) dan Silas (1988) menyatakan bahwa penduduk kampung berasal dari beragam etnis, sosial dan ekonomi karena kampung merupakan pilihan permukiman yang dapat diakses oleh kaum pendatang dari luar kota maupun penduduk asli kota. Selanjutnya Silas (1988) menyatakan tentang keberadaan kampung di Kota Surabaya, yaitu kampung hanya mencakup 7% dari seluruh wilayah terbangun di Surabaya namun menutupi 70% kebutuhan rumah perkotaan, dimana 20% penghuni kampung adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal ini memperlihatkan bahwa kampung adalah pilihan bagi sebagian besar pendatang dan penduduk asli kota untuk mengakses permukiman.
    Di sisi lain, kampung merupakan bagian integral dari kota di Indonesia. Kampung bukan hanya tentang penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.Namun kampung memiliki keunikan dan keragaman arsitektur yang merupakan perwujudan ide, kreatifitas, kemampuan, mimpi dan tekanan yang melanda masyarakat penghuni kampung. Banyak kampung di Surabaya yang kondisi fisiknya tidak terlalu buruk. Surabaya memiliki banyak pengalaman program pembangunan kampung untuk meningkatkan kondisi fisik dan sosial melalui pembangunan organisasi kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat kampung (Silas dkk, 2012).
    Terdapat kelangkaan ruang terbuka di dalam kampung padahal hal ini sangat penting untuk mewadahi kegiatan bersama mereka. Ruang terbuka di luar pintu rumah penduduk kampung digunakan untuk berbagai kegiatan bersama, memasak, bermain, mandi, dan bersosialisasi. Ruang terbuka di kampung dapat disebut sebagai ruang komunitas (Funo, 1985). Ruang komunitas di kampung ini dapat disebut sebagai spatial social capital dari kampung.
    Salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat Dinoyo Tenun adalah tidak tersedianya tempat aktifitas bersama (ruang sosial) untuk menggelar hajatan baik individu maupun bersama, tempat bermain anak-anak, serta interaksi antar anggota masyarakat. Ruang luar kampung terbentuk berdasarkan proses persepsi, kognisi, dan perilaku meruang dipengaruhi oleh kompetensi individu dan kelompok manusia.


    BalasHapus
  5. Kajian Evaluatif Ruang Luar Kampung ditinjau dari Arsitektur Perilaku
    (Andarita Rolalisasi, 3212301001) bagian 2

    Ruang luar kampung terjadi dengan sendirinya karena proses hubungan manusia dan lingkungannya tersebut tanpa adanya perencanaan dari awal. Ruang luar kampung dapat terbentuk dengan sendirinya karena terdapat hubungan positif antara perilaku manusia dan lingkungan binaan. Sehubungan dengan keterbatasan lahan, maka ruang luar kampung tersebut terdapat di jalan/gang kampung, sudut kampung, maupun di halaman salah seorang penduduk yang relatif lebih luas dibandingkan yang lain. Ruang luar di Kampung Dinoyo Tenun yang berfungsi sebagai ruang sosial berada pada jalan di sempadan sungai (Lihat Gambar 5) atau jalan gang kampung (Lihat Gambar 6) karena tidak ada lahan kosong lain yang dapat digunakan bersama. Disamping itu terdapat ruang sosial yang lebih luas digunakan untuk berolahraga seperti bulutangkis dan yang lainnya atau kegiatan bersama lainnya yang membutuhkan ruang lebih luas (Lihat Gambar 7). Ruang luar ini terletak diujung utara kampung Dinoyo Tenun.
    Disamping itu, ruang ini juga representasi dari estetika simbolik masyarakat setempat. Estetika simbolik terkait dengan makna asosiasi pola lingkungan yang memberikan kesenangan pada manusia yang tergantung pada afiliasi, penghargaan dan identitas serta budaya setempat. Karena keberagaman latar belakang dan asal penduduk kampung maka budaya asal tempat tinggal mereka juga berpengaruh. Ruang luar kampung terbentuk karena hubungan dan kekerabatan yang kental sehingga ruang tersebut menempati ruang-ruang luar yang memungkinkan walaupun lahan terbatas.

    Kesimpulan
    Seiring dengan pertumbuhan penduduk kota, maka ketersediaan ruang luar kampung menjadi masalah tersendiri. Padahal ruang ini sangat diperlukan untuk wadah kegiatan mereka. Ruang luar kampung dapat terbentuk dengan sendirinya karena terdapat hubungan positif antara perilaku manusia dan lingkungan binaan. Sehubungan dengan keterbatasan lahan, maka ruang luar kampung tersebut terda pat di jalan/gang kampung. Disamping itu, ruang luar kampung merupakan representasi dari estetika simbolik ditinjau dari keberagaman latar belakang dan asal penduduk

    Daftar Pustaka:

    ………, 2010, Rencana Strategis Kementrian Perumahan Rakyat Tahun 2010-2014, Kementrian Perumahan Rakyat.
    Altman, Irwin, 1980, Culture and Environment, Wadsworth, Inc, California, ISBN 0-8185-0348-3
    Funo, Shuji, 1985, Dominant Issues of Three typical Kampungs in Surabaya and Consideration on Kampung Housing System, Studies of Transitional Process of Kampungs and Evaluation of KIP, Symposium Proceeding Peran Perbaikan Kampung Dalam Pembangunan Kota di Indonesia, Surabaya
    Geertz, C. 1965, The Social History of an Indonesian Town, Greenwood Press Publisher, Westport, Connecticut
    Hershberger, Robert G, 1969, A Study of Meaning and Architecture, University of Pennsylvania
    Jeannotte, M Sharon, 2003, Just Showing Up: Social and Cultural Capital in Everyday Life, Strategic Research and Analysis, Canada
    Lang, Jon, 1987, Creating Architectural Theory, The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design, van Nostrand Reinhold Company, ISBN 0-442-25981-6
    Setiawan, Bakti, 2010, Kampung Kota dan Kota Kampung: Tantangan Perencanaan Kota di Indonesia, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Gajah Mada
    Setijanti, Purwanita, 2008, A Reflection on the Structure of the Modern Kampung, di Jurnal Architecture and Environment Vol. 7 No.1 April 2008, hal 47-68
    Silas, Johan, 1988, The Kampungs of Surabaya, Surabaya Municipality, Surabaya
    Silas, Johan; Setyawan, Wahyu; Ernawati, Rita; Okitasari, Mahesti, 2012, Kampung Surabaya Menuju Abad 21, Laboratorium Perumahan dan Permukiman ITS, Bappeko Surabaya
    Stea, David; Downs, Roger M, 1977, Maps in Mind: Reflections on Cognitive Mapping, Harper & Row, New York, ISBN 101-697-156
    Tuan, Yi Fu, 1977, Space and Place, The Perspective of Experience, University of Minnesota Press, ISBN 0-7131-6221 X

    BalasHapus
  6. Pemahaman Simbol dan Tanda Spasial dalam Pembentukan Teritorialitas Ruang
    Fuad Zubaidi (3212301002) Bagian 1

    Tanda dan Simbol
    Tanda dan simbol sering digunakan dalam karya-karya arsitektur, baik pengertian secara tersurat maupun dalam pengertian tersirat atau mewakili makna tertentu, misalnya dengan cara analogi atau kiasan (figurative language).
    Tanda / Sign dalam kamus Webster (1997) memiliki arti sebagai berikut :
     Sesuatu yang mengindikasikan suatu kenyataan, kualitas dan lain-lain, contoh: warna hitam sebagai tanda atau indikasi berkabung.
     Suatu isyarat atau gerak yang menyampaikan informasi, memberikan perintah dan lain-lain, contoh anggukan sebagai tanda setuju.
     Suatu tanda atau simbol yang telah diterima dan memiliki makna yang khusus.
     Bagian dari linguistik sebagai kata, huruf dan lain-lain yang merupakan simbol dari ide, fungsi dan lain-lain.
     Berupa papan yang dipajang, plakat dan lain-lain yang memberikan informasi, iklan atau peringatan dan lain-lain.
     Beberapa jejak nyata atau indikasi yang nyata, contoh tanda musim semi (ket : pada negara empat musim, musim semi ditandai dengan mulai munculnya bakal bunga dari tanaman-tanaman tertentu yang kemudian menjadi bunga pada musim semi ).
    Adapun symbol atau simbol dalam kamus Webster (1997) dijelaskan sebagai berikut :
     Sesuatu yang menunjukkan, mewakili atau memberi kesan mengenai sesuatu yang lain; sebuah obyek digunakan untuk mewakili sesuatu yang abstrak; lambang, contoh merpati adalah lambang dari perdamaian.
     Tanda yang tertulis, tercetak, huruf, singkatan dan lain-lain, mewakili sebuah obyek, kualitas, proses, kuantitas dan lain-lain, baik di dalam musik, matematika atau kimia.
    Tanda merupakan sesuatu yang digunakan untuk mewakili sesuatu kenyataan, apa adanya sedangkan simbol merupakan sesuatu yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lebih abstrak. Ruang bukan hanya dibatasi oleh batas-batas fisik semata secara geometri atau tiga dimensi, tetapi juga bisa dibatasi oleh batas persepsi manusia sendiri.
    Menurut Gibson (dalam Lang, 1987), terdapat sesuatu yang agak membingungkan mengenai sifat dari pemaknaan simbolik bila dibandingkan tingkat pemaknaan lainnya. Istilah image, sign, symbol sering digunakan secara bertukar. Di sini, Image adalah sebuah imitasi atau reproduksi atau suatu perbandingan tentang sesuatu. Sebagai contoh image dari gereja St Peter’s adalah sebuah image dari St Peter’s dan tidak lebih, jika image gereja tersebut berarti Roma atau gereja Katolik yang suci berarti image tadi menjadi sebuah simbol.
    Sebuah simbol merupakan hasil dari proses kognisi; yang berarti sebuah obyek memperoleh sebuah konotasi (pengertian tambahan) diluar dari kegunaannya. Obyek di sini bisa berupa sebuah lingkungan, orang atau berupa material artefak. Pemaknaan ini berdasarkan apakah seorang pengamat terhubung dengan obyek tersebut (Kepes, 1966). Selain hal tersebut, pemaknaan ini mungkin saja hasil dari assosiasi psikologikal, suatu konvensi sosial bahkan mungkin sebuah kebetulan saja (Burchard dan Brown, 1966). Adapun tanda merupakan hasil sebuah konvensi atau alat untuk menunjukkan sesuatu secara lebih harfiah bila dibandingkan dengan suatu rasa yang abstrak.
    Umberco Eco (dalam Broadbent, 1980:38) juga mengemukakan tiga kode arsitektural yaitu technical codes yang berkaitan dengan fungsi teknisnya atau tekniknya itu sendiri, contoh balok, kolom dan lain-lain. Syntactic codes menunjukkan kode-kode tipologikal yang berfokus pada artikulasinya, contoh spatial type yang dapat berupa labyrinth, circular plan dan lain-lain. Selain itu terdapat konvensi syntactic tertentu lainnya yang perlu diketahui, contoh : sebuah ruang tidur umumnya berdekatan dengan kamar mandi. Adapun semantic codes berfokus pada bagian-bagian yang berhubungan dengan arsitektur atau berkaitan dengan denotasi dan konotasi dari obyek arsitektur itu sendiri, contohnya seperti di atas ( Charles Morris-red ).

    BalasHapus
  7. Pemahaman Simbol dan Tanda Spasial dalam Pembentukan Teritorialitas Ruang
    Bagian 2

    Teritorialitas Ruang

    Pendekatan Perilaku, menekankan pada keterkaitan yang ekletik antara ruang dengan manusia dan masyarakat yang memanfaatkan ruang atau menghuni ruang tersebut. Dengan kata lain pendekatan ini melihat aspek norma, kultur, masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda Rapoport,(1969),adanya interaksi antara manusia dan ruang, maka pendekatannya cenderung menggunakan setting dari pada ruang.
    Teritori merupakan suatu pembentukan wilayah untuk mencapai privasi yang optimal yang diupayakan dengan menyusun kembali setting fisik atau pindah kewilayah lain. Altman menyatakan :
    … a territory is a delimited space that a person or a group uses and defends as an exclusive preserve. It involves psychological identification with a place, symbolizedby attitudes of possessiveness and arrangement of objects in the area….
    Lebih lanjut Irwin Altman menyatakan bahwa :
    … Territorial behaviour is a self-other boundary regulation mechanism that involves personalization of or marking a place or object and communication that it is owned by a person or group.

    Dari beberapa definisi dan lingkup tentang teori teritori maupun teritorialitas, yang dibahas dan diteliti oleh beberapa pakar dapat dirumuskan:
    1. Teritori merupakan ruang berbatas yang dihuni, (Pastalan, 1970), A territory is a delimited space that a person or group uses and defends as an exclusive preserve, (Robert Sommer, 1969), Territory is visible, stationary, tends to be home centered, regulating who will interact. Dari pernyataan tersebut teritori bersifat nyata dengan adanya batas terhadap ruang. Batasnya bisa berupa dinding, komposisi kursi, meja ataupun simbolik dengan peletakan benda pribadi.
    2. Teritori sebagai pemenuhan kebutuhan individu atau kelompok.: (Robert Sommer, 1966), A Territory is an area controlled by person, familiy or other face-to-face collectivity. Control is reflected in actual or potential possession rather than evidence of physical combat or agression – at least at the human level. Robert Sommer menekankan pengertian possession/ kepemilikan terhadap pengertian territori lebih dipentingkan dibanding keinginan untuk mempertahankan wilayah terhadap. (Goffman,1963), Territories are areas controlled on the basis of ownership and exclusiveness of use – i.e.’This is Mine’ or ‘You keep off. Goffman memandang dari sudut kegunaan konsep territori dalam aktualisasi diri dan simbol status (exclusiveness) disamping juga menegaskan kepemilikan (ownership). (Altman and Haytorn,1967), Territoriality involves in mutually exclusive use of areas and object by person or group. Altman dan Haytorn menunjukkan bahwa dalam territori terjadi hubungan yang mutual antara dalam penggunaan area/tempat dan benda sekitarnya oleh person ataupun kelompok.
    Dalam kaitan dengan pendekatan kepentingan, teritori mengandung artian mengurangi kompleksitas dan membuat hidup menjadi lebih mudah dalam menanggapi berbagai kepentingan misalnya adanya peraturan teritori (pemilik rumah punya satu aturan dilain pihak tamu juga punya aturan tersendiri dalam posisi masing-masing).
    3. Teritory sebagai tanda nyata ataupun simbolik,; (Pastalan, 1970), Territory involves psychological identification with a place, symbolized by attitudes of possessivenes and arrangements of objects in the area. (Robert Sommer,1969), Territorial are geographical areas that are personalized or marked in some way. Contoh yang bagus dikemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Altman,Nelson dan Lett,1972 dalam suatu studi tentang kehidupan berkeluarga, ditemukan bahwa mereka yang tidur dalam kamar yang sama menandai teritorialnya dengan simbol-simbol seperti perletakan tempat tidur, warna bantal-guling, seprei yang membedakan satu sama lainnya.

    BalasHapus
  8. DESAIN SEKOLAH ISLAM BERBASIS PRAKTIK
    (Siti Hanifah_3212 207 006)-part1

    Dalam kutipan buku karya John Zeisel, “Researchers also begin of what people are like who use that place –their culture, their affiliations, the way they present them- selves” (Zeisel, 1984). Manusia yang tidak dapat terpisah dengan lingkungannya sehingga dalam menciptakan sebuah system aktifitas diperlukannya arsitektur yang berwawasan lingkungan, yang menggunakan pendekatan teori psikologi lingkungan. Psikologi lingkungan itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari relasi antara perilaku dengan konteks lingkungan tempat perilaku tersebut berlangsung. Perilaku mencakup tindakan nyata (overt acts) dan tindakan tersembunyi (covert acts) termasuk didalamnya pikiran, emosi, keinginan, motivasi dan sebagainya.
    Behavior Setting adalah teori yang dikembangkan oleh Roger Barker (Popov,2012) yang terdiri atas sistem sosial, studi prilaku, studi lingkungan alam. Maksudnya behavior setting dapat terbentuk jika terdapat keselarasan (Synomorpy) antara manusia yang terlibat (sosial), perilaku yang terbentuk (overt-covert) , setting fisik serta sistem aktifitas yang dihadirkan (arsitektur).
    Dalam teori behavior, terdapat pula simbol estetika, yaitu komponen fundamental pengalaman manusia , selain itu pula didasarkan atas makna asosiasional lingkungan bagi manusia serta makna simbolik dan estetik simbolik yang erat kaitannya dengan kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan afiliasi, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan identitas. Dari sini simbol estetik muncul dari diri manusia itu sendiri dan dapat berbeda satu dengan lainnya.

    Programming dalam tesis desain sekolah Islam dibentuk melalui sebuah penelitian observasi mengenai perilaku masyarakat. Observasi sederhana dilakukan untuk mengetahui perilaku masyarakat yang akan menjadi subjek desain, yaitu masyarakat Lombok dan siswa sekolah islam maupun santri di beberapa pondok pesantren. Tahap ini menggunakan behavior setting sebagai dasar teori dalam penelitian. Salah satu contoh dalam penelitian yang dilakukan oleh Heimsath (1977) berupa penentuan skala pelayanan dan terlayani di beberapa bangunan. Dari sana akan diperoleh kebutuhan subjek rancang (pengamat atau masyarakat umum, dan pengguna atau santri) dalam hal skala kebutuhan melayani dan terlayani. Disamping itu banyak faktor yang harus diteliti untuk mengetahui seluk-beluk subjek rancang, sebelum kita merencanakan sebuah setting aktifitas. Diantaranya observasi mengenai kesukaan,sesuatu yang memotivasi, sesuatu yang menarik, sesuatu yang membangkitkan minat, tanda yang memunculkan kesan tunduk, hikmat, islami dan sebagainya. Dengan hasil observasi tersebut akan terkumpul materi-materi dengan kesan yang dimunculkan olehnya.

    contoh kasus yang digunakan adalah Panyaden school di Thailand yang mengangkat ajaran agama Budha dalam perancangannya.
    yaitu dengan ruang-ruang kelas yang tidak dibatasi dengan dinding, sehingga interaksi maksimal dengan alam, hal tersebut memunculkan jiwa kebersamaan. Kemudian dengan penggunaan material lokal yang memunculkan kesehajaan, ditambah dengan penggunaan botol-botol kaca pada dinding ruang tertentu disamping sebagai jalan masuk cahaya, juga memunculkan sifat arif dan bijaksana dalam mengolah limbah.

    Daftar pustaka

    *Materi kuliah arsitektur perilaku (pengampu: Ir. Sri Amiranti, MT)
    *Heimsath, Clovis (1977) Behavioral architecture. McGraw-Hill. United State
    *Popov, Lubomir and Ivan Chompalov (2012) Crossing Over: The Interdisciplinary meaning of Behavior setting Theory. International Jurnal of Humanities and social science Vol 2. No 19
    *Zeisel, John (1984) Inquiry by Design: Tools for Environment-Behavior Research. CUP Archive. California.

    BalasHapus
  9. Pemahaman Simbol dan Tanda Spasial dalam Pembentukan Teritorialitas Ruang
    Bagian 3

    Teori Positif, Simbol / Tanda dan Teritorialitas Ruang

    Dalam konteks aplikasi, teori positif berorientasi pada kata benda (substansial), artinya menjabarkan tentang fenomena yang menjadi lingkup kerja desainer, yaitu komponen-komponen pembentuk fenomena arsitektural (jenis fisik, dan kualitasnya).
    Kompleksitas studi teritorialitas terjadi pada ruang dimana Individu memiliki bermacam latar belakang budaya dan kegiatan fungsional, Institusi dengan beragam aktivitas sektor formal dan informal yang terwadahi dalam satu setting kegiatan (ruang, lingkungan).

    Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa Teritory merupakan tanda nyata ataupun simbolik,; (Pastalan, 1970), Territory involves psychological identification with a place, symbolized by attitudes of possessivenes and arrangements of objects in the area. (Robert Sommer,1969), Territorial are geographical areas that are personalized or marked in some way.
    Dari pendapat tersebut jelas dinyatakan bahwa teritori yang berkaitan dengan teritorialitas merupakan sebuah tanda atau simbol baik secara nyata atau tidak. Seperti contoh yang bagus dikemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Altman,Nelson dan Lett,1972 dalam suatu studi tentang kehidupan berkeluarga, ditemukan bahwa mereka yang tidur dalam kamar yang sama menandai teritorialnya dengan simbol-simbol seperti perletakan tempat tidur, warna bantal-guling, seprei yang membedakan satu sama lainnya.

    Beberapa variabel lingkungan bangunan yang mengandung makna dan dijadikan simbol, menurut Lang (1987: 205-208) adalah:
     Konfigurasi bangunan : dalam hal ini bentuk-bentuk dan pola-pola yang terdiri dari gaya arsitektural. Dalam budaya tertentu bentuk seperti lingkaran atau pola simetri memiliki makna tertentu tergantung pada institusi religius yang mereka anut serta konvensi sosialnya.
     Konfigurasi Spasial : hal ini menyangkut volume, tingkat pembatasan , proporsi dari batas ruang dan konsumsi ruang, contoh: orang yang berasal dari status ekonomi dan sosial tinggi, ukuran ruang yang digunakannya lebih luas dari orang yang berasal dari status ekonomi dan sosial yang rendah.
     Material : dalam hal ini material tertentu selalu dihubungkan dengan tipe bangunan tertentu.
     Sifat Illuminasi : pengaruh tertentu dari sumber, warna dan tingkat illuminasi ( pencahayaan ).
     Warna, seperti warna emas simbol kemakmuran, kejayaan dan kekuasaan.
     Lingkungan non visual seperti suara.
     Atribut non material dari lingkungan bangunan seperti nama tempat.

    DAFTAR PUSTAKA
    - Altman, I. (1975), The Environment and Social Behavior. Monterey, CA: Wadsworth.
    - Bell AP, Greene CT, Fisher DJ & Baum A, (2001), Environmental Psychology, 5th edition, Harcourt College Publisher, Orlando.
    - Broadbent G, Bunt R & Jencks C, (1980), Signs, Simbols, and Architecture, John Wiley & Sons,New York.
    - Carr, stephen, 1967, ” The City of The Mind in Environment for Man the Next Fifty Years, edited by William R Ewald. Jr. Indiana university press.
    - Halim, Deddy, (2005), Psikologi Arsitektur pengantar kajian lintas disiplin, Grasindo, Jakarta
    - Harisah & Masimming ,(2008), Persepsi Manusia terhadap Tanda, Simbol, dan Spasial, Jurnal Smartek Volume 6 nomor 1 UNTAD.
    - Haryadi,Setiawan.B,(1995), Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Proyek Pengembangan Pusat studi Dirjen Dekbud. Yogyakarta.
    - Lang J, (1987), Creating Architectural Theory, The Role of The Behavioral Sciences in Environmental Design, Van Nostrand Reinhold Company Inc, New York.
    - Laurens,J.M, (2004), Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Surabaya

    BalasHapus
  10. Identifikasi Potensi Pembantukan Place Identity Kampung di Kota Surabaya

    Rita Ernawati (3212301003)

    Tulisan adalah ringkasan dari Tugas Arsitektur Perilaku.

    Arsitektur kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kampung yang merupakan komponen utama pembentuk kota dimana 80% permukiman berupa kampung. Rudofsky (1964) menyatakan bahwa penataan lingkungan dan bangunan yang dilakukan secara spontan oleh masyarakat ternyata memiliki arti dan makna sebagai suatu karya arsitektur. Besarnya proporsi kampung dan adanya fenomena hilangnya ke-khasan/identitas kota-kota di Indonesia memberikan peluang dan tantangan untuk kampung dapat bertransformasi menjadi lingkungan binaan yang mampu memberi makna dan nilai arsitektur dengan lokalitas yang tinggi. Tulisan ini bertujuan mengidentifikasi pembentukan karakter arsitektur kampung dengan pendekatan teori place identity.
    Kondisi lingkungan saling berpengaruh dengan lingkungan fisik yang terbentuk oleh kondisi lokasi, kelompok masyarakat dengan sosial budaya. Hubungan antara aspek budaya dan lingkungan binaan dalam hubungannya dengan perubahan, berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek sosial budaya masyarakat (Rapoport, 1969). Rapoport (1977) menyatakan tiga macam konsep hubungan yang dapat terbentuk antara manusia dan lingkungannya, yaitu :
    1. Environmental Determinism, lingkungan fisik menentukan perilaku, manusia dituntut mempunyai kemampuan besar untuk beradaptasi.
    2. Possibilism, lingkungan dipengaruhi oleh keinginan manusia sehingga perilaku yang dihasilkan sangat bervariasi.
    3. Probabilism, lingkungan fisik memberikan kemungkinan untuk menghasilkan perilaku tertentu dengan adanya pilihan namun tidak menentukan adanya pilihan yang lebih baik atau tidak.
    Penjelasan menyeluruh tentang manusia dengan perilakunya tidak hanya terbatas pada diri dan kandungan apa yang ada pada manusia tersebut, akan tetapi juga bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungannya, bagaimana manusia melakukan modifikasi lingkungan, dan bagaimana lingkungan juga turut membentuk pengaruh dalam modifikasi dalam diri manusia itu sendiri (transaksional).
    Konsep place tidak lagi pada dimensi fisik yang langsung berpengaruh pada perilaku, namun pada dimensi hubungan antara lingkungan-manusia sebagai perspektif yang dinamis dan interaktif yaitu secara sosial, budaya dan psikologi. Dalam identity process theory Breakwell (1986) merumuskan identity sebagai produk yang dinamis dari kemampuan interaksi sosial antara memori, kesadaran dan konspsi terorganisasi sebagai sebuah struktur dan proses. Pendekatan ini mengakomodasi pembentukan personal identity dan social identity dan merumuskan 4 (empat) prinsip place identity yaitu distictivness, continuity, self esteem dan self efficacy (Breakwell, 1986).
    Berdasarkan identifikasi kondisi dan perkembangan kampung berdasarkan prinsip place identity dapat disimpulkan beberapa isu penting yaitu:
    a. Place merupakan elemen penting pembentukan identitas, karena keterkaitan dengan place memberikan makna mendalam (personal & social memory) bagi manusia
    c. Place identity berpotensi menjadi elemen dasar yang membuat orang tinggal disuatu kampung dan menimbulkan rasa kepemilikan, keterkaitan dan kontrol terhadap kampung.
    d. Masyarakat kampung merupakan kekuatan dan elemen penting dari lingkungan.
    e. Perilaku masyarakat kampung merupakan penentu dari kualitas lingkungan kampung yang secara luas juga akan berkontribusi pada penentuan kualitas kota.

    DAFTAR PUSTAKA
    Breakwell, G.M. (1986) Threath Coping with Identity, Methuen & Co.Ltd, London
    Rudofsky.B, (1965) Architecture without Architect, Conecticut Printers Ltd, United State
    Silas, dkk (2011) Kampung Surabaya Menuju Abad XXI, Bappeko Kota Surabaya
    Rapoport, A. (1969) House Form and Culture. Oxford: Pergamon Press
    Rapoport, A. (1977) ; Human Aspect of Urban Form, Toward a Man Environment Approach to Urban For and Design, Pegamon, England.
    Setiawan, B. (2010) Kampung Kota dan Kota Kampung: Tantangan Perencanaan Kota di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

    BalasHapus
  11. ANALISA PERILAKU DALAM PERANCANGAN STASIUN SEBAGAI RUANG PUBLIK (SELMA ARINAWATI AFIFA, 3212207008) (1/2)

    “Each human being is unique, unpresented, un repeatable. The human species can be described in lifeless words of physics and chemistry, but not the man of flesh and bone. We recognize him as unique person by voice, his facial expressions. And the way he walks and even more by his creative respons to surroundings and events” (Dubois, 1968). Menurut Dubois, setiap individu memiliki keunikan perlaku tersendiri, yang akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Demikian sebaliknya, keunikan lingkungan juga mempengaruhi perilaku individu. Lingkungan bukan hanya menjadi wadah bagi individu untuk ber aktivitas, tetapi juga menjadi bagian yang menyatu dengan pola perilaku manusia.
    Pendekatan Perilaku, mendefinisikan keterkaitan antara ruang dengan manusia memanfaatkan ruang atau tersebut. Pendekatan ini melihat aspek kebudayaan, norma, masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda (Rapoport. A, 1969 ), adanya interaksi antara manusia dan ruang. Istilah setting lebih memberikan penekanan pada unsur-unsur kegiatan manusia yang mengandung empat hal yaitu : manusia, jenis kegiatan, tempat dan waktu berlangsungnya kegiatan. Menurut Rapoport kegiatan dapat terdiri dari sub-sub kegiatan yang saling berhubungan sehingga terbentuk sistem kegiatan.
    Secara teoritis yang dimaksud dengan ruang publik (public spaces) adalah: Ruang yang berfungsi sebagai wadah (container) untuk kehidupan manusia, baik secara individu maupun berkelompok, serta wadah makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan (UUPR no.24/1992). Terdapat beberapa motivasi untuk menciptakan ruang publik yang baik. Motivasi yang utama adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Taman terbuka dilihat sebagai ‘jantung kota’, dengan penyinaran matahari yang tinggi, udara yang segar, yang berfungsi untuk tempat relaksasi, berjalan bebas, yang bertindak menetralkan kondisi fisik dan psikologis yang berat dari sebuah kota. (Cranz, 1982; Heckser & Robinson, 1977). Semakin kesini sebuah taman sekaligus menyediakan aktifitas rekreasional sebagai tempat berkumpul untuk masyarakat.
    Merancang ruang publik tidaklah mudah, karena berbeda dengan merancang sebuah bangunan, desain ruang publik memiliki tanggung jawab khusus untuk memahami dan melayani kepentingan publik. Aspek ini hanyalah sedikit bagian dari masalah estetika. Desainer harus memiliki dasar ilmu pemahaman sosial yang baik, sehingga tidak terjebak dalam relativitas geometri, fungsi, dan makna (Carr,1992). Pengamatan behaviour setting dapat digunakan dalam desain ruang publik karena dapat preferensi pengguna diekspresikan dalam pola perilaku. Jelas bahwa organisasi ruang pada ruang publik dan perilaku pengguna mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu behavior setting.

    BalasHapus
  12. ANALISA PERILAKU DALAM PERANCANGAN STASIUN SEBAGAI RUANG PUBLIK (SELMA ARINAWATI AFIFA, 3212207008) (2/2)

    Dalam teorinya, sebagian besar orang datang ke sebuah ruang publik untuk melakukan suatu kegiatan tertentu, seperti mencari tempat untuk makan/ minum, beristirahat sejenak, atau bahkan berolahraga (Carr,1992). Dalam objek tesis ini, alasan utama seseorang datang ke stasiun yaitu untuk melakukan perjalanan menggunakan kereta api, menuju suatu tempat. Ibaratnya, stasiun menjadi sebuah tempat transit, sebelum menuju lokasi lain. Transit- berhenti sementara, erat kaitannya dengan kegiatan menunggu. Menunggu, menjadi kegiatan utama pengunjung yang ada di stasiun, entah menunggu datangnya kereta, menunggu jemputan, menunggu menjemput saudaranya yang datang dari luar kota, dan sebagainya.

    B = f (P, E)
    Positive theory yag dipilih untuk mengkaji tesis ini yaitu teori Behavior (Field Theory) oleh Kurt Lewin. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang berkaitan baik dengan karakteristik pribadi dan situasi sosial di mana seseorang berada. Manusia dan kondisi lingkungan mereka tergantung erat satu sama lain. Menurut Lewin, ‘to understand or to predict behaviour, the person and his environment have to be considered as one constellation of interdependent factors’. Individu cenderung untuk berperilaku berbeda sesuai dengan cara mereka merespon hubungannya antara persepsi diri dan lingkungan sekitarnya. Seluruh bidang psikologis, atau lifespace, di mana orang bertindak harus diamati, untuk memahami perilaku. (Lewin 1952).
    Teori Lewin menjelaskan, dimana perilaku (behavior) terbentuk akibat respons dari stimulus, internal (muncul dari dalam diri tiap individu yang berupa motivation, needs, drives), juga dipengaruh faktor eksternal (berasal dari lingkungan sekitarnya). Umumnya kegiatan menunggu, merupakan hal yang cenderung membosankan, sehingga pengunjung berusaha untuk mencari kegiatan lain untuk menghilangkan rasa bosan (internal stimulus). Di stasiun harus disediakan kursi-kursi untuk calon penumpang menunggu, beberapa pertokoan kecil yang menjual cemilan dan bacaan, serta beberapa kafe/ area makan, dan panggung kecil untuk live band sebagai hiburan (stimulus eksternal).
    Perilaku utama yang muncul dari seseorang yang sedang menunggu yaitu mencari tempat duduk. Di tempat duduk inilah pengunjung akan ‘menandai’nya sebagai teritori mereka, dimana mereka bisa melakukan kegiatan-kegaitan saat menunggu, seperti membaca, makan, berkomunikasi, dengan nyaman. Dari analisa ini maka sebuah stasiun harus menyediakan tempat-tempat duduk yang banyak, untuk mencukupi semua calon penumpang. Saat seseorang duduk menunggu, jika terlalu lama tentu akan menimbulkan rasa jenuh dan bosan. Maka muncul perilaku kedua yang dilakukan saat seseorang menunggu, yaitu mencari hiburan lain. Saat mulai merasa bosan, mereka mulai berdiri, berjalan-jalan sejenak untuk meregangkan otot, mencari makanan kecil, mencari bacaan, atau sekedar mencuci mata melihat sekitarnya. Maka dari itu, sarana hiburan yang menyenangkan juga diperlukan dalam merancang sebuah stasiun.
    Konsep rancangan objek stasiun ini yaitu menggabungkan bangunan stasiun dengan sebuah ruang publik. Bangunan stasiun yang terbatas dan cenderung penuh sesak dirasa tidak lagi dapat mewadahi kegiatan menunggu dengan entertainment secara maksimal. Dalam ruang publik yang terbuka, pengunjung akan dapat lebih leluasa dalam beraktifitas saat menunggu. Menunggu tidak lagi suatu kegiatan jang membosankan, namun bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan dengan terpenuhinya fasilitas penunjang dalam sebuah ruang publik.

    DAFTAR PUSTAKA
    Materi kuliah arsitektur perilaku (pengampu Ir. Sri Amiranti, MT)
    Public places – urban spaces, the dimension of urban design. Carmona, et al. Architectural press. 2003.
    Meeting and greeting: activities in public outdoor spaces outside highdensity urban residential communities . Zhang dan Lawson. 2009. Urban design international (2009)

    BalasHapus
  13. Nama; Sukmo Duto
    NRP: 3212.207.004
    Judul Thesis: PERANCANGAN KEMBALI SHOPPING MALL TERBENGKALAI DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR KINETIS.

    Lynch (1960), menyebutkan bahwa untuk membentuk sebuah image lingkungan yang tepat, sebuah lingkungan tertentu memerlukan suatu identitas tersendiri, sebuah cerapan akan struktur tertentu, dan sebentuk makna tertentu bagi pengamatnya. Dengan demikian, tersirat bahwa untuk menciptakan rasa akan identitas (sense of identity) pada sebuah fasad bangunan diperlukan adanya pengujian mengenai bagaimana manusia mengalami dan menginterpretasi elemen-elemen tersebut. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Maslow (1943) mengenai kebutuhan, yaitu Hierarchy of Needs yang menyajikan struktur teoritis untuk kebutuhan manusia. Hirarki kebutuhan tersebut antara lain,
    1. Kebutuhan faal (physiological need),
    2. Kebutuhan akan keselamatan diri (safety or security need),
    3. Kebutuhan bersosialisasi (social need),
    4. Kebutuhan akan penghargaan dan penghormatan diri (self esteem or ego need),
    5. Kebutuhan akan perwujudan diri (self-actualisation needs), dan
    6. Kebutuhan akan ilmu dan keindahan (cognitive and aesthetic needs).

    Pada perancangan fasad suatu bangunan umumnya turut disertakan sebentuk simbolisme. Simbolisme ini dapat berhubungan dengan budaya atau bersifat lebih universal atau bahkan merepresentasikan aktivitas di dalam bangunan tersebut. Namun, tekstur sebuah dinding periferi lebih mengacu pada bentuk material yang membentuk tekstur permukaannya. Tekstur inilah yang memegang peranan penting dalam mengidentifikasi sebuah bangunan di sebuah konteks terbangun (Tucker dan Ostwald, 2004).

    Menurut penelitian yang dikemukakan oleh Heath (et al, 2000) disebutkan bahwa manusia lebih memilih untuk melihat fasad bangunan yang lebih kompleks. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa elemen-elemen seperti skala, simetri, tekstur dan ornamentasi dapat menciptakan perasaan ‘kaya’ akan detil suatu fasad bangunan.

    Sekalipun hasil dari penelitian tersebut memiliki beberapa kontradiksi dengan hirarki yang dikemukakan Maslow (1942) bahwa suatu tigkat kebutuhan harus dipenuhi sebelum pemenuhan tingkat kebutuhan selanjutnya, namun sebenarnya hal tersebut tidak secara langsung betolak belakang. Suatu individu akan mendapati diri mereka dalam posisi yang paling mendekati pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis mereka. Singkatnya, pelaku akan menemukan posisi yang nyaman secara fisik sembari memuaskan kebutuhan mereka akan stimulasi (Bell et all, 2001).

    Dalam proses mengalami sebuah ruang perlu dilibatkan seluruh indera atau biasa disebut proses ‘pengindraan intim’. Indera ini meliputi sistem sensorik haptic yang mengacu tidak hanya pada sentuhan tetapi juga persepsi tekstur permukaan, kontur, tekanan, suhu, kelembaban, rasa sakit dan sensasi viseral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui suatu tempat adalah dengan mengalami lingkungannya. Dapat juga dikatakan bahwa persepsi terhadap suatu lingkungan tidak hanya bergantung pada bagaimana suatu individu merasakan (perceive) namun juga bagaimana mereka menginterpretasinya. Pada dasarnya manusia akan memiliki ikatan kuat secara emosional terhadap suatu tempat apabila antara manusia dan tempat tersebut terdapat pengalaman ataupun interaksi yang kuat sehingga tempat tersebut akan memiliki arti atau makna bagi manusia. Jika tidak ada pengalaman maka tidak akan ada suatu tempat/ruang.

    BalasHapus
  14. Pendekatan Fasad Kinetis dan Hubungannya dengan Perilaku
    Arsitektur kinetis mengacu pada rancangan ruang dan objek yang dapat mengubah bentuknya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pelaku di dalamnya dan beradaptasi dengan elemen-elemen lain di luarnya. Arsitektur kinetis bergantung pada gerak (motion). Dengan memasukkan unsur gerak, perancang memberikan dimensi dan perspektif baru bagi pelaku untuk berinteraksi dengan sekelilingnya.
    Hal ini dapat diartikan bahwa dalam sebuah perancangan fasad bangunan dengan pendekatan arsitektur kinetis, perancang perlu memperhatikan elemen-elemen yang dapat mendukung kenyamanan baik fisik maupun psikis dari pelaku atau pengamat bangunan tersebut. Dengan memasukkan perspektif baru berupa gerak pada rancangan fasad, perancang mengajak pengamat untuk menginterpretasi dan mengalami suatu hal yang berbeda, yang tidak dapat dialaminya saat melihat fasad statis. Kondisi ini berhubungan pula dengan teori estetika sensori yang dikemukakan oleh Lang (1992).

    Menurut Lang (1992), estetika sensori merupakan sensasi kenyamanan yang diterima oleh manusia dari alam sekitar (lingkungan) mengenai warna, bau, suara, dan tekstur terhadap. Dalam mempersepsikan sebuah lingkungan, manusia membutuhkan indera atau sensori yang menerima rangsangan sehingga manusia memberikan sebuah respon terhadap lingkungan tersebut. Peran utama dalam mempersepsikan sesuatu hal adalah indera penglihatan atau sering disebut dengan visual sensory. Dalam perancangan ini perancang akan memanfaatkann kemampuan visual yang menyangkut fisiologi dari pengamat. Pengamat tersebut melihat sebuah hasil karya rancangan arsitektur berdasarkan dari persepsi lingkungan yang didukung dengan persepsi visual.

    Pengaruh stimulus yang diberikan kepada penglihatan (visual) ini terhadap perilaku manusia merupakan salah satu bentuk estetika sensori, yaitu estetika yang dipahami dan dipengaruhi melalui respon sebuah rangsangan terhadap indera manusia. Dalam penerapannya estetika sensori menghadirkan sebuah pengalaman estetik melalui proses perseptual dari indera atau sensori yang dimiliki manusia.

    BalasHapus
  15. ESTETIKA SIMBOLIK DALAM PERANCANGAN FASILITAS UMUM RUMAH SUSUN BERWAWASAN GENDER
    Nadhila Retnasari Roestam | 3212207002
    (Bagian 1)

    A. Kajian Awal Mengenai Positive Theory dan Normative Theory

    Jon Lang (dalam Alan Johnson,1994) mendefinisikan landasan teori menjadi dua, yaitu teori normatif dan teori positif. Teori normatif berisi preskripsi-preskripsi (petunjuk-petunjuk) untuk bertindak melalui standar-standar (norma-norma), manifesto dan prinsip-prinsip perancangan dan filosofi-filosofi (Alan Johnson,1994). Dalam penerapannya, teori positif mampu menjelaskan fenomena serta mampu memprediksi ke depan sehingga dapat menghasilkan prediksi langkah-langkah yang harus diambil. Jika dikaitkan antara teori positif dan normatif, Lang (1987) menerangkan bahwa teori normatif berkaitan erat dengan pengambilan keputusan dan langkah apa yang harus diterapkan pada praktik di lapangan, dimana keputusan tersebut dapat menghasilkan lingkungan binaan yang lebih baik jika menerapkan teori positif dalam pengambilan keputusan.

    B. Pengaruh Estetika Bagi Respon Perilaku Terhadap Ingkungan Binaan

    Dalam arsitektur, arsitektur yang baik seringkali dikenal memiliki unsur “Comodite, Firmness, and Delight” (Fungsi, Struktur, Estetika) yang dikemukakan oleh Vitruvius. Dimana pada umumnya pengertian fungsional berarti bangunan tersebut memenuhi persyaratan dalam penggunaan kegiatan di dalamnya, Struktural berarti kuat sehingga aman untuk dihuni, Estetis berarti bangunan tersebut memiliki sisi keindahan. Arsitektur modern mengasumsikan bahwa : commodite + firmness = delight (Sir Henry Wolton dalam Lang,dkk 1974). Sehingga delight dibentuk dari estetika formal dan estetika simbolik, sementara commodite dibentuk berdasarkan perilaku spasialnya. Dalam pemahaman mengenai estetika, Santayana (1896 dalam Nasar 1992) membagi estetika menjadi sensori, formal, dan simbolik. Dimana Estetika sensori berfokus pada kepuasan yang terbentuk dari perseptual indra terhadap suatu lingkungan, yang mencakup warna, bau, suara, dan tekstur. Sedangkan Estetika formal berfokus pada apresiasi individu terhadap bentuk, ritme, kompleksitas, dan sekuen dari penampang lingkungan atau bangunan. Sedangkan estetika simbolik merupakan apresiasi dari makna asosiasi dari lingkungan yang memberikan kepuasan mengenai afiliasi, penghargaan dan identitas (Lang, 1987).
    Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perpaduan antara teori normatif yang didukung oleh teori positif dalam bentuk estetika berperan dalam kepuasan pengguna dalam penggunaan serta respon perilaku terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, pendekatan estetika dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam perancangan arsitektural.

    BalasHapus
  16. Prediksi pengaruh Arsitektur Kinetis terhadap Perilaku Yang Timbul

    Pada paragraf di atas telah disebutkan mengenai perilaku apa yang ingin dicapai dalam suatu rancangan fasad bangunan melalui teori-teori perilaku yang berhubungan (menjadi pertimbangan) dalam proses perancangan.

    Di sisi lain, perilaku pengguna bangunan tidak selamanya dapat diprediksi secara akurat atau diasumsikan sama dimana saja tanpa adanya penelitian mendalam. Ada kalanya muncul perilaku sampingan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dalam suatu kasus sebuah rancangan fasad interaktif sebuah bangunan pendidikan, didapati bahwa pelaku di dalam bangunan justru berusaha untuk mengeliminasi beberapa fitur yang dirancang. Pada kasus tersebut seorang pengajar merasa terganggu dengan adanya fitur penyesuai jumlah cahaya yang masuk ke dalam ruangan dari sebuah shading fasad. Dirasakan bahwa ternyata intensitas cahaya yang berubah-ubah (terkadang kurang) berpengaruh terhadap kegiatan belajar-mengajar dalam ruangan sehingga yang dilakukannya adalah dengan menambah jumlah penerangan dalam ruangan. Hal tersebut kontradiktif dengan salah satu fungsi shading fasad yaitu upaya efisiensi energi. Hal ini dapat diartikan bahwa perancang memiliki prediksi yang berbeda dengan perilaku pelaku bangunan.


    Pustaka


    Materi kuliah arsitektur perilaku (pengampu: Ir. Sri Amiranti, MT)

    Bell, P. A, Greene, T. C, Fisher, D. J And Baum, A.2001. Environmental Psycology: Fifth Edition. Orlando: USA.Harcourt college publishing.

    Heath, T., Smith, S. G. & Lim, B. 2000. Tall Buildings and The urban Skyline: The Effect of Visual Complesity on Preference. Environment and Behaviour.

    Joyce, Timothy. 2011. Life on the Edge: The Effects of Building Façade Three Dimensionality on Public Social Behaviour. Brisbane: School of Design, Queensland University of Technology.
    Lynch, K. 1960. The Image of the City. Massachusetts: The MIT Press.

    Maslow, Abraham H. 1943. A Theory of Human Motivation. dalam Green, Christopher D. 2000. Classics in the History of Psychology. Toronto: York University.

    Tucker, C., Oswald, M. J., Chulup, S. K. & Marshall, J. 2004. A method for the visual analysis of the streetscape.

    BalasHapus
  17. ESTETIKA SIMBOLIK DALAM PERANCANGAN FASILITAS UMUM RUMAH SUSUN BERWAWASAN GENDER
    Nadhila Retnasari Roestam | 3212207002
    (Bagian 2)

    C. Estetika Simbolik Dalam Perancangan Fasilitas Umum Rumah Susun Berwawasan Gender Dengan Pendekatan Territoriality

    Fasilitas umum pada rumah susun khususnya menengah bawah seringkali dijumpai memiliki kondisi yang kurang terawat. Hal ini memiliki kemungkinan disebabkan oleh penghuni sebagai user rumah susun, seperti yang dikatakan Madanipour (1996) tidak memiliki kontrol terhadap ruang yang bersifat publik tersebut. Adanya hak untuk dapat menggunakan ruang yang bersifat publik dan memiliki rasa tanggung jawab dan kontrol terhadap ruang tersebut merupakan persyaratan dasar dalam menciptakan suatu ruang publik (Madanipour, 1996). Privatisasi di dalam sebuah ruang publik dapat membuat golongan yang terkait memunculkan rasa memiliki dan memiliki kontrol terhadap bagian dari ruang publik tersebut (Punter, 1990).
    Peran wanita dalam suatu komunitas sosial, Karp (1991:153) mengatakan bahwa terdapat marginalisasi kaum wanita dalam suatu urban space, dimana hal ini terlihat pada adanya batasan pada mobilitas wanita pada suatu tempat yang bersifat publik serta berbagai asumsi mengenai peran wanita dalam suatu komunitas sosial.
    Newman (dalam Ratih:2005) berpendapat bahwa untuk membentuk satu komunitas perlu rancangan ruang publik yang memberi keleluasaan penghuni untuk dapat saling berkomunikasi. Hal ini dapat didukung dengan adanya aksesibilitas yang diklasifikasikan (Carr: 1992) menjadi tiga bentuk, yaitu :
    1. Aksesibilitas Visual; yaitu ketika seseorang dapat melihat ke dalam ruangan sebelum memasukinya, sehingga individu tersebut dapat menilai apakah ia dapat merasa nyaman di sana.
    2. Aksesibilitas Simbolis; berupa kesan atau tanda yang menunjukkan kelas sosial atau golongan tertentu.
    3. Aksesibilitas fisik : merupakan kemampuan fisik untuk dapat memasuki suatu lingkungan tertentu.

    Simbol merupakan hasil dari proses kognitif dimana suatu obyek memunculkan konotasi lebih dari kegunaan secara instrumentalnya (Nasar, 1992). Estetika simbolik dalam pendekatan perilaku merupakan sebuah hubungan deterministik antara “fungsi” dan bentuk, dimana terdapat asosiasi simbolik dari perasaan yang timbul akan identitas (sense of identity), yang menyimbolkan wadah sosial dan fisik (Nasar, 1992).
    Konsep territoriality diterapkan dalam perancangan fasilitas umum rumah susun berwawasan gender dengan memperhatikan perilaku teritori tiap gendernya, dimana perwujudan simbolik tiap teritori dapat memenuhi krtiteria-kriteria tersebut sehingga pemanfaatan fasilitas umum pada rumah susun dapat menjadi optimal. Dengan memperhatikan skemata penghuni antara lain kegiatan sehari-hari, budaya serta kebutuhan kognitif tiap gender penghuni, perwujudan simbolik ruang publik yang optimal dapat dilakukan dengan memperjelas batasan publik, semi publik, dan privat sehingga tidak akan terdapat ambiguitas ruang; kemudian memunculkan image dari teritori tiap gender penghuni dengan memberikan ekspresi yang beragam untuk menunjukkan perbedaan teritori, status dan kegunaan; serta membentuk pengawasan alami (Natural Surveilance), dengan memberikan kesempatan penghuni untuk dapat saling mengawasi serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap fasilitas umum rumah susun sebagai ruang yang bersifat publik.
    Pendekatan estetika simbolik yang diwujudkan dalam konsep territoriality ini diterapkan dengan tujuan menjadikan fasilitas umum rumah susun yang dapat digunakan secara optimal oleh seluruh penghuni dengan tidak mengeneralisasi penghuni (gendered nature of urban space). Sehingga makna dari fasilitas umum (Sense of place) menjadi meningkat sebagai hasil dari interaksi setting fisik, aktifitas, dan meanings yang terbentuk dari estetika simbolik.

    BalasHapus
  18. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  19. ESTETIKA SIMBOLIK DALAM PERANCANGAN FASILITAS UMUM RUMAH SUSUN BERWAWASAN GENDER
    Nadhila Retnasari Roestam | 3212207002
    (Bagian 3)

    Sumber :
    Alan Johson, Paul. 1994. The Theory Of Architecture. Van Nostrand Reinhold,Company. New York.
    Carr, Stephen [et all]. (1992). Public Space. Cambridge : Cambridge University Press.
    Karp, D., G. Stone & W. Yoels. (1991). Being Urban : A Sociology of City Life. New York : McGraw Hill.
    Lang, Jon T. 1987. Creating Architectural Theory. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
    Lang, Jon T., Walter Moleski. 2010. Functionalism Revisited : Architectural Theory and Practice and the Behavioural Sciences. Ashgate Publishing, Ltd.
    Materi kuliah arsitektur perilaku (pengampu: Ir. Sri Amiranti, MS)
    Madanipour, A. (1996). Design of Urban Space : an Inquiry into a socio-spatial process. Chichester : John Wiley&Sons.
    Nasar, Jack L. 1992. Environmental Aesthetics: Theory, Research, and Application. Cambridge University Press.
    Punter, J. (1990). Privatization of Public Realm. Planning Practice and Research vol.5 No.3.

    BalasHapus
  20. Eksplorasi behavior setting pada Perancangan Sekolah inklusi
    (puspita tunggodewi, 3212207007)

    Untuk menghapus paradigma negatif Anak Berkebutuhan Khusus, maka perlu adanya peningkatan kualitas bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Peningkatan kualitas tersebut didapat dari sebuah pendidikan. Seperti yang dicanangkan oleh UNESCO dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam Deklarasi Jomtien pada tahun 1989, mengatakan bahwa anak-anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

    Menurut Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991, anak tuna laras adalah anak dengan gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Anak tunalaras sering disebut juga dengan anak tunasosial karena tingkah laku anak tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain (Somantri, 2006). Anak tuna laras memiliki potensi dan intelegensia yang sama dengan anak-anak normal, hanya saja kemampuan mereka dalam bersosialisasilah yang menghambat mereka untuk berkembang.
    Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku guna mewujudkan arsitektur yang dapat menunjang perilaku anak tunalaras dan dapat meminimalisir marginalisasi yang ada antara anak normal dan anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tunalaras. Arsitektur perilaku menekankan kepada aspek-aspek psikologis atau batiniah dari manusia dalam interaksinya dengan arsitektur. Perilaku yang dimaksud ialah perilaku overt (yang terlihat) dan covert (yang tidak terlihat).

    Perilaku overt adalah tindakan nyata yang dilakukan seseorang di dalam sebuah lingkungan. Perilaku ini dapat terlihat melalui tidur, berjalan, mengobrol, dan sebagainya. Sedangkan perilaku covert adalah tindakan yang tidak nyata atau tidak terlihat yang dilakukan oleh seseorang di dalam sebuah lingkungan. Perilaku ini mencakup sebuah berpikir, perasaan malas, perasaan kumuh, dan sebagainya.

    Dalam arsitektur perilaku, ruang tidak dipahami dengan wujud fisik saja. Namun juga dipahami oleh suatu behavior setting. Konsep behavior setting merupakan kombinasi stabil dari aktivitas dan lingkungannya (Roger Baker, 1968), yang terdiri dari:

    A. Pola perilaku
    Pola perilaku yang terjadi pada anak tuna laras saat jam sekolah dapat dilihat dari beberapa pengamatan sepanjang jam sekolah. Jam sekolah biasanya terbagi menjadi 2, yaitu saat istirahat dan saat jam belajar.
    Saat jam belajar, anak tunalaras sering kali menunjukkan perilaku yang tidak baik, seperti tidak mendengarkan pelajaran dan mengganggu teman sekelasnya. Pola perilaku serupa juga ditunjukkan pada saat jam istirahat, dimana anak tuna laras tersebut sering kali memukul teman sekelasnya.

    B. Setting fisik pendidikan inklusi
    Setting fisik yang ada adalah dimana murid normal dan murid tuna laras dibiarkan terpisah tanpa adanya penanganan. Lapangan yang tersedia didesain satu, sehingga anak-anak tunalaras dan anak normal hanya dapat bermain dalam satu lapangan tersebut.

    Dengan setting fisik serta pola perilaku seperti itu, membuat anak tuna laras menjadi kurang kontrol. Anak tuna laras yang mengalami gangguan perilaku merasa tidak suka jika daerah kekuasaannya dipakai oleh orang lain. Sehingga menimbulkan perilaku agresif kepada anak-anak normal.

    Penanganan pada anak tuna laras terkait perilaku seharusnya diupayakan berbeda dengan anak normal. Anak tunalaras belum mengerti arti berbagi kepada anak lain, sehingga saat mereka merasa terancam, mereka akan menunjukkan perilaku agresif.


    refensi:
    Krasner, Leonard. 1975. Environmental Design and Human Behavior. Pergamon. Press. New York, USA.
    Iskandar, Zulrizka. 2013. Psikologi Lingkungan: Metode dan Aplikasi. Refika Aditama. Bandung.
    Myers, David G. 2010. Social Psychology, 10th edition. McGraw-Hill. New York, USA.

    BalasHapus
  21. PUSAT INFORMASI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN

    TEORI POSITIF & ARSITEKTUR PERILAKU
    SEBAGAI PENDEKATAN PERANCANGAN ARSITEKTUR DARI OBYEK RANCANG DESAIN TESIS

    NURFAHMI MUCHLIS - 3212207005

    Bagian 1/3
    I. REVIEW MATERI KULIAH DAN TEORI PENDUKUNG
    Untuk memahami sebuah simbol dalam arsitektur maka dapat dilakukan dengan pendekatan perilaku. Hubungan antara bentuk dan fungsi erat dengan simbol. Sebab sebuah bentuk memberikan kesempatan bagi kelompok masyarakat untuk memasukkan makna kedalamnya. Nilai estetika simbol merupakan komponen fundamental dari pengalaman manusia.
    Makna simbolik dan estetika simbol terkait erat dengan kebutuhan dasar manusia. Dari Maslow (1970) bahwa beberapa kebutuhan yang terkait estetika yakni:
    a. Kebutuhan afiliasi,
    Bentuk kebutuhan akan pertalian dengan orang lain, pembentukan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu.
    b. Kebutuhan penghargaan,
    Penghargaan yang tertinggi yaitu penghargaan terhadap diri sendiri yang dibangun dari pencapaiaan, self-respect, self-sufficiency (berkecukupan), dan kebebasan. Penghargaan terendah datang dari respek orang lain terhadap apa yang kita capai termasuk perhatian status dan apresiasi. kebutuhan akan penghargaan bersifat kontinu berbeda dengan kebutuhan akan kasih sayang yang bersifat insidental. Kebutuhan ini memiliki dua kategori diantaranya:
    1. Kebutuhan untuk pencapaian prestasi, kompetensi, kebebasan dan rasa kecukupan.
    2. Kebutuhan untuk reputasi dan martabat, yaitu penghargaan dari orang lain meliputi pengakuan, perhatian, dan kedudukan.
    c. Kebutuhan identitas,
    Terkait dengan kebutuhan terhadap aktualisasi, keinginan untuk menjadi lebih dari sebelumnya dan menjadi semacam pembeda dengan yang lainnya.

    BalasHapus
  22. PUSAT INFORMASI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN

    TEORI POSITIF & ARSITEKTUR PERILAKU
    SEBAGAI PENDEKATAN PERANCANGAN ARSITEKTUR DARI OBYEK RANCANG DESAIN TESIS

    NURFAHMI MUCHLIS - 3212207005

    Bagian 2/3
    II. DESKRIPSI DESAIN TESIS
    PENGEMBANGAN ARSITEKTUR NUSANTARA ETNIK BUGIS DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR ALGORITMA
    Obyek Desain : Pusat Informasi Kebudayaan Sulawesi Selatan

    Di Indonesia, perkembangan arsitektur masih belum jelas arahnya dalam menanggapi kebutuhan penyesuaian terhadap dinamisnya ruang maupun waktu. Untuk itu diperlukan sebuah usaha mempertahankan sebuah potensi ke-khusus-an atau sering disebut sebagai kontekstualitas. Penting untuk dikaji agar ke-lokal-an arsitektur tidak hilang serta tidak menjadikan arsitektur lokal sebagai tempelan terhadap arsitektur luar ataupun sebaliknya. Kontekstualitas menyangkut dengan perubahan yang menyertainya serta mempertahankan ke-khusus-an yang dimilikinya agar tetap dikenali atau dengan kata lain masih ada yang ajeg. Sebuah ke-ajeg-an senantiasa menyertakan makna yang dimiliki sebuah kelompok masyarakat. Representasi ini dapat saja berubah dalam merepresentasikannya namun nilai-nilai dari kelompok masyarakat tersebutlah yang akan dijaga keberlangsungannya.
    Perkembangan arsitektur yang telah memasuki era digital, adaptasi teknologi dalam metode perancangan arsitektur tidak lagi sebagai alat memindahkan data manual sebagai data komputer tapi mulai melangkah pada arah komputasi. Arsitektur bukan hanya mengolah program ruang dan bentuk tapi memaksimalkan potensi komputer sebagai alat untuk memprogram arsitektur. Penggunaan software modeling berbasis pem-program-an memberikan perancang kesempatan mengeksplorasi berbagai geometri untuk membuat varian dari wujud arsitektur yang telah ada. Mewujudkan sebuah bentuk dan fungsi yang dinamis terhadap perubahan. Arsitektur nusantara etnik Bugis menjadi sebuah preseden dalam hal ini, dengan aplikasi pem-program-an arsitektur algoritma diharapkan konteks kekinian itu dapat dieksplorasi. Sebuah pem-programan arsitektur algoritma tidak dapat berjalan tanpa adanya input dari perancang. Maka pada dasarnya, input dari perancang menentukan varian output dari rancangan hasil pem-programan algoritma. Untuk menemukan kontekstualitas arsitektur Bugis dalam perubahannya maka pemahaman terhadap yang berubah dan yang ajeg harus dilakukan. Dalam arsitektur algoritma disebut sebagai ‘parameter’. Hal ini dapat dikenali dari wujud fisik arsitektur Bugis. Sehingga hal yang paling mendasar dalam pembahasan pengembangan ini adalah ciri khas identik yang dapat membedakannya dengan yang lain dari wujudnya tersebut.

    BalasHapus
  23. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  24. PUSAT INFORMASI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN

    TEORI POSITIF & ARSITEKTUR PERILAKU
    SEBAGAI PENDEKATAN PERANCANGAN ARSITEKTUR DARI OBYEK RANCANG DESAIN TESIS

    NURFAHMI MUCHLIS - 3212207005

    Bagian 3/3
    III. PEMBAHASAN
    Untuk menentukan parameter sebagai tolak ukur dalam menggarap arsitektur Bugis yang berubah maka perlu ditentukan tipe arsitektur Bugis yang akan diambil. Dalam penelitian ini ragam arsitektur Bugis dapat dilihat dari bentuk strata sosial yang dimiliki. Terdapat dua jenis rumah tempat tinggal yang dikenal yakni rumah untuk Anakkarung (Bangsawan) dan rumah untuk To Maradeka (Rakyat Biasa). Kedua jenis rumah ini pada dasarnya memiliki struktur dan konstruksi yang serupa, perbedaan mendasar adalah pada dimensi dan beberapa elemen yang sifatnya sangat simbolik dalam masyarakat Bugis.
    Pada elemen arsitektur Bugis yang lama terdapat dua karakter yakni elemen yang sifatnya umum dan khas. Elemen umum tidak memiliki keterikatan yang kuat terhadap masyarakat Bugis dikarenakan elemen-elemen ini juga banyak ditemukan pada etnik lainnya di Nusantara , sehingga varian dari perubahannya juga sangat memungkinkan dieksplorasi tanpa batas. Elemen khas merupakan ciri dari arsitektur Bugis yang membedakannya dengan arsitektur etnik lain. Di dalamnya terdapat berbagai makna simbolik sehingga perubahan yang terjadi akan berada dalam ambang batas, yakni batas yang menandai kedekatannya dengan etnik lain tersebut. Perubahan yang terjadi dalam ke-khas-an tersebut merupakan elemen arsitektur yang baru.

    BalasHapus
  25. PUSAT INFORMASI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN

    TEORI POSITIF & ARSITEKTUR PERILAKU
    SEBAGAI PENDEKATAN PERANCANGAN ARSITEKTUR DARI OBYEK RANCANG DESAIN TESIS

    NURFAHMI MUCHLIS - 3212207005

    Bagian 3b/3
    Nilai-nilai simbolik yang terkandung dalam arsitektur Bugis dapat ditemukan dalam beberapa elemen-elemen yakni:
    a. Bentuk Denah
    Bentuk denah yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang merupakan falsafah masyarakat Bugis, sulapa’ eppa’ representasi bentuk mistis kepercayaan Bugis klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Falsafah empat inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam membangun rumah yang biasa disebut “bola genne” atau “rumah sempurna” yang berbentuk persegi empat.

    b. Elemen Fasad
    Bagian yang paling menonjol pada bubungan atap disebut timpalaja. Elemen ini menjadi penanda utama dalam pengenalan stratifikasi sosial masyarakat. Jumlah susunan timpalaja menandai derajat kepemilikian. Untuk kalangan Anakkarung (Bangsawan) 2-3 untuk bangsawan menengah, 4 untuk raja sedangkan kalangan biasa tidak memiliki susunan timpalaja.

    c. Tangga
    Jumlah tangga juga menjadi penanda utama dalam pengenalan stratifikasi sosial masyarakat. Jumlah susunan timpalaja menandai derajat kepemilikian. Untuk kalangan Anakkarung (Bangsawan) 11-13 untuk bangsawan dan raja sedangkan kalangan biasa hanya memiliki 3,5,7,9.
    [img src=""]

    Ketiga elemen tersebut dapat dijadikan sebagai parameter dalam perancangan terhadap Bugis yang baru. Perubahan bentuk yang dilakukan harus berada pada batasan dimana kondisi perubahan sebuah ke-khas-an tidak meninggalakan identitasnya secara ekstrim.
    Aplikasi dalam konsep rancangan dapat menghasilkan berbagai alternatif berikut (Gambar 5-11). Gambar kanan adalah perubahan yang dilakukan pada timpalaja dan kiri merupakan denah.

    [img src=" "]
    Dari beberapa perubahan yang disimulasikan diatas terlihat bahwa perubahan terhadap elemen-elemen yang sudah ada tidak meninggalkan makna simboliknya meskipun telah mengalami perubahan geometri.
    Timpalaja dapat diubah dengan mengurai dan rekomposisi, ditranslasi, dirotasi atau digandakan tanpa meninggalkan bentuk dasarnya segitiga yang tersusun. Secara kasat mata, komposisi baru tetap memperlihatkan kesesuaian dengan elemen yang lama. Stratifikasi yang disimbolkan dalam timpalaja lama tetap ada walau dengan bentuk yang baru.
    Denah yang lama hanya memenuhi fungsi yang terbatas. Pada kenyataannya, untuk menerapkan program ruang dalam konteks yang baru maka penyesuaian terhadap konsep persegi tetap dapat dimungkinkan, selama perubahan tersebut masih berada pada batasan sudut persegi. Sehingga ruang-ruang sangat mungkin untuk diurai dan direkomposisi, ditranslasi, dirotasi atau digandakan.
    KESIMPULAN
    Eksplorasi melalui programming arsitektur algoritma sangat memungkinkan untuk menghasilkan berbagai varian bentuk. Batasan berupa perubahan beserta keajegan terhadap makna menjadi parameter yang baik untuk mencapai kualitas arsitektur nusantara yang dapat terus berkembang.

    DAFTAR PUSTAKA
    Materi kuliah arsitektur perilaku (Dosen Pengampu Ir. Sri Amiranti, MS, 2013)
    Nasar, JL (1992) Environmental Aesthetic : theory, research & applications, Press Syndicate, Cambridge.

    BalasHapus
  26. Fasade Bangunan Rental Office dengan Konsep Sustainability ditinjau dari arsitektur perilaku

    AYU SRI MARITA - 3212207009 - part1

    Rental office merupakan suatu wadah untuk menampung kegiatan administrasi, interaksi bisnis dengan pelayanan, professional serta lembaga dalam bentuk komersil yang pemakaiannnya harus dengan membayar uang . Setiap bangunan memiliki kebutuhan dan karakter yang berbeda-beda. Pengolahan fasad pada bangunan rental office memerlukan pertimbangan behavior setting.
    Roger Barker dan Herbert Wright memakai istilah behavior setting untuk menjelaskan tentang kombinasi antara perilaku dan suatu tata lingkungan. Behavior setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil, meliputi :
    a. Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku.
    b. Dengan tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu).
    c. Membentuk suatu hubungan yang sama antara keduanya.
    d. Dilakukan pada periode waktu tertentu .
    Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa pada banguna rental office terdapat suatu pola perilaku berupa adanya aktivitas yang berulang pada kegiatan administrasi, interaksi bisnis, pelayanan, professional dalam bentuk komersil. Karena hal tersebut merupakan kegiatan yang sama dan berulang-ulang, perlu adanya rancangan sebagai penyelesaian yang dapat memberi experience bagi penggunanya. Hal tersebut dapat diterapkan pada fasade bangunan.
    Fasad bangunan tidak hanya sebagai wajah dari sebuah bangunan. Adanya pertimbangan-pertimbangan pada aspek lingkungan pada fasade. Melalui fasade kita dapat mengontrol intensitas cahaya matahari / daylight serta penghawaan dalam bangunan. Selain itu bahan atau material dalam fasade dapat membentuk batas. Masing – masing dari hal tersebut berpengaruh terhadap perilaku dan aktivitas manusia di dalam bangunan. Begitu pula sebaliknya, perilaku serta aktivitas dalam sebuah bangunan akan mempengaruhi seberapa banyak intesitas pencahayaan dan penghawaan dalam bangunan. Sebagai contoh besaran bukaan antara bangunan kantor dan apartemen akan berbeda, yang lebih spesifik lagi fasade sebuah rumah tinggal tentu akan berbeda satu dengan lainnya, karena aktivitas serta perilaku kebiasaan pengguna yang berbeda – beda.
    Hal tersebut akan membentuk suatu hubungan yang sama antara keduanya. Adanya synomorphy antara pola perilaku, sistem fisik, dan sistem aktivitas. Selain itu juga adanya kombinasi antara perilaku dan suatu tata lingkungan.

    BalasHapus
  27. Fasade Bangunan Rental Office dengan Konsep Sustainability ditinjau dari arsitektur perilaku

    AYU SRI MARITA - 3212207009 - part2

    Selain teori behavior setting yang mempengaruhi pada fasade, perancangan fasade rental office ini juga memperhatikan aspek estetika. Menurut teori human basic need Maslow 1954 & Newmark, cs, 1977 adanya aspek cognitive and aesthetic needs meliputi :

    • Development
    • Experiencing
    • Exploration
    • Formal beauty

    1. Development

    Perkembangan teknologi material dan sistem bangunan, mempengaruhi kualitas estetika fasad sebuah bangunan, tentang pemilihan material serta teknologi bagaimana material tersebut dipasang.Sebagai contoh bagaimana kaca tanpa frame dipasang, yang memerlukan sistem struktur tersendiri yang dapat diolah sehingga menambah kualitas estetika bangunan. Bahkan lebih jauh lagi, perkembangan material dapat mengubah gaya hidup serta arsitektur secara keseluruhan, sebagai contoh revolusi industri di eropa pada tahun 1900 – an, mengubah wajah arsitektur global dengan lahirnya arsitektur modern.





    2. Experiencing
    Pengalaman estetik dapat dinikmati melalui indera. Pengalaman estetik merupakan pengalaman estetik paling dasar untuk memperoleh indera yang dipakai sebagai dasar dalam merancang adalah melalui indera visual.

    BalasHapus
  28. Fasade Bangunan Rental Office dengan Konsep Sustainability ditinjau dari arsitektur perilaku

    AYU SRI MARITA - 3212207009 - part3

    3. Exploration
    Sebuah fasad terbentuk, melalui proses eksplorasi akan material teknik dan keselarasan lingkungan. Fasad pada bangunan menunjukkan aktivitas yang ada dalam bangunan, atau citra sebuah korporasi yang di representasikan melalui fasad. Fasad juga merupakan respon terhadap iklim daerah setempat,selain itu eksplorasi akan site dan citra serta aktivitas yang diwadahi akan membuat fasad menjadi lebih bermakna .
    Pengeksplorasian material sesuai dengan karakter tiap – tiap material. Hal itu bertujuan untuk mengimplementasikan sustainable dalam arsitektur dengan memeperhatikan aspek lain bukan hanya estetika visual, sehingga material dipilih tidak lagi hanya sekedar menampilkan estetika dari ruang dan atau arsitektur yang tercipta. Pengeksplorasian material merupakan cara yang dapat menghasilkan karya arsitektur secara mendalam baik karakteristik, durability maupun teknologi. Aspek – aspek tertentu dari masing – masing matrial inilah yang kemudian memperhatikan juga bagaimana pengaruh material terhadap lingkungan sekitar.
    Penggunaan material bambu. Bambu merupakan tanaman dengan tingkat pertumbuhan paling cepat di dunia.Bambu dapat tumbuh sepanjang 60 cm atau lebih dalam sehari, tergantung dari kondisi tanah dan iklim setempat dimana bambu tersebut ditanam.Bambu dapat tumbuh dengan cepat karena bambu, karena bambu memiliki sistem rhizoma dependen yang unik.Oleh karena itu, bambu dinilai sebagai material yang ramah lingkungan dan sangat efektif untuk bangunan yang sustainable.
    Sebagai contohnya adalah bangunan perkantoran di Perancis yang dirancang oleh Monica Donati. Bangunan ini merupakan bangunan yang mempertimbangkan aspek estetika juga memperhatikan sustainability dalam arsitektur. Dalam pengelolaan elemen fasade pada bangunan ini menggunakan bambu pada claddingnya. Adanya perulangan pada bangunan yang disusun dari komposisi garis. Penggabungan kaca degan bambu untuk memberikan keindahan pada fasade bangunan perkantoran ini.

    4.Formal beauty
    Formal aesthetic menurut Lang (1987) adalah pengalaman estetik yang diperoleh dari komposisi pola geometrik lingkungan. Hal itu diperoleh dari pertimbangan proporsi, irama, keseimbangan, perulangan, dan lain-lain . Ilmu estetika berkait dengan pengidentifikasian dan pemahaman faktor yang memberikan kontribusi pada persepsi suatu obyek atau proses yang dianggap indah ( beautiful ) atau yang memberikan eksperiensi yang bersifat menyenangkan.
    Fasad merupakan bagian terluar bangunan, impresi pertama manusia akan sebuah bangunan, yang kadang pula dari fasad mencerminkan aktivitas didalamnya. Bagaimana sebuah kawasan terbnetuk juga dapat dilihat dari bagaimana sebuah fasad bangunan dibentuk kemudian di satukan dengan fasad bangunan lainnya. Dalam arti luas bahwa fasad membentuk karakter dan identitas sebuah kawasan.

    Dari sketsa diatas dapat dilihat bahwa bangunan tersebut memiliki wajah bangunan yang disusun dari komposisi dasar geometri kotak yang disusun bertumpuk keatas dengan adanya permainan maju mundur dengan mempertimbangkan proporsi pada bangunan. Kolom yang menerus hingga kelantai 3 dihadirkan untuk memberikan keseimbangan pada sisi sebelah kiri pada bangunan sekaligus dapat menjadi aspek estetika pada fasade bangunan.


    Irama yang muncul pada fasade bangunan ini terlihat jelas pada perulangan kolom yang disusun sejajar dengan pola yang teratur . Selain itu, adanya perulangan maju mundur yang dimainkan pada elemen jendela pada bangunan.


    BalasHapus
  29. Fratika Julia
    3212.202.002
    arsitektur perilaku 2

    MORFOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL LOBO

    OBSERVING, CONTEMPLATING, AND EXPERIENCING AESTHETICS (Lang, 1992 In Muhammad, 2007)

    • Formal Aesthetics : Fokus pada atribut dari objek yang berkontribusi dalam menanggapai estetika seperti ukuran, bentuk, warna, dan keseimbangana.
    • Sensory Aesthetics :
    a) Pengalaman estetika melalui proses perseptual berbagai indera.
    b) Merupakan pengalaman estetik yang paling dasar untuk memperoleh kesenangan atau ketidaksenangan estetis.
    c) Memberi atribut perasaan manusia terhadap suatu objek.
    d) Pengalaman sensori berlimpah, sensori yang overload menjadi negatif.
    e) Perbedaan individu dalam sikap terhadap berbagai pengalaman sensori.
    f) Tergantung apa yang telah kita pelajari, estetika sensori bisa menjadi estetika intelektual.
    g) Comfort, arousal.
    • Symbolic Aesthetics :
    a) Nilai estetika simbolik merupakan komponen fundamental pengalaman manusia.
    b) Pilihan atas pola rumah, misalnya terutama didasarkan atas makna asosiasional lingkungan bagi manusia.
    c) Makna simbolik dan estetika simbolik terkait erat dengan kebutuhan dasar manusia.
    • Intelectual Aesthetics :
    a) Proses (yang didasari manusia) mengapresiasi lingkungan berdasarkan pemahaman mengenai bagaimana dan dengan cara apa lingkungan tersebut tercipta.
    b) Apresiasi bisa terkait dengan seberap besar lingkungan tersebut dapat cocok dengan tujuan- tujuan instrumental manusia, atau pertimbangan lingkungan sebagai karya seni manusia.

    BalasHapus
  30. Fratika Julia
    3212.202.002
    arsitektur perilaku 2

    MORFOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL LOBO

    Dari ke empat bagian dari aesthetic di atas, saling berhubungan dalam hal merespon suatu objek. Yang mana di awali dari sebuah formal aesthetic yang melihat sebuah objek, sehingga berlanjut ke sensori aesthetic yang mulai mengelolah dari hasil formal sebelumnya, dan hasil setiap individu berbeda-beda. Sebuah objek akan menghasilkan sebuah symbol dapat di respon oleh manusia. Aesthetic sensori dapat menghasilkan intelectual aesthetic, yang mana intellectual aestehetic bergantng pada pengetahuan, pengalaman, dan lingkungan individu masing, sehingga hasil respon dari aesthetic akan tepat berbeda.


    MORFOLOGI DALAM MENCAPAI AESTHETIC

    Morfologi mempelajari sebuah gejala pada suatu objek Menurut Steadman morpologi arsitektural dapat disebut pula sebagai studi konfigurasi di dalam arsitektur dan dalam melakukan studi ini secara utama dapat saja dibatasi pada kemungkinan bentuk-bentuk dan karakter bentuk dari bangunan dan denanhnya dimana geometri terletak. Lalu setelah kita melihat kembali mengenai aesthetic dan attachment to place yang dapat mendukung pengertian mengenai morfologi dari arsitektur kita akan dapat menemukan saling terikatnya atau terdapat benang merah antara proses morfologi dengan aesthetic.
    Dalam sebuah proses morfologi dalam arsitektur tepatnya morfologi sebuah bangunan akan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi itulah yang kemungkinan di dalamnya salah satunya aesthetic. Untuk lebih jelasnya kita akan membahas studi kasus

    BalasHapus
  31. Fratika Julia
    3212.202.002
    arsitektur perilaku 2

    MORFOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL LOBO

    STUDI KASUS

    Studi kasus pada pembahasan ini, adalah arsitektur tradisional Lobo lebih tetaptnya rumah tradisional Lobo. Lobo di masa pemerintahan raja-raja adalah merupakan pusat kesatuan adat, pemerintahan dan kebudayaan. Lobo pada saat ini mempunyai fungsi sebagai tempat mengadili dan memutuskan perkara-perkara

    serta menyambut tamu terhormat dan menjadi tempat peristirahatan tamu-tamu yang datang. Lobo merupakan bangunan tradisional yang bersifat privat yang tidak semua orang diperbolehkan masuk kedalam bangunan tradisional tersebut.
    Dahulunya Lobo terdapat di beberapa Kecamatan yaitu kecamatan Pipikoro, kecamatan Kulawi, kecamatan Lindu, kecamatan Nokilalaki, kecamatan Palolo, kecamatan Gumbasa, kecamatan Dolo, kecamatan Tanambulava, kecamatan Marawola, kecamatan Kinovaru akan tetapi Lobo mengalami kepunahan, sehingga hanya tinggal beberapa kecamatan yang masih bertahan yaitu kecamatan Kulawi salah satunya. Rumah tradisional Lobo yang terdapat di kecamatan Kulawi tepatnya di desa Toro merupakan rumah tradisonal Lobo yang tertua, beberapa tahun ini Lobo mengalami revisi sampai pada tahun 2013.
    Akhir tahun 1916 seorang penjelajah dari belanda yang bernama Walter Kaudern mencoba meneliti rumah tradisional Lobo sampai akhir tahun 1920. Dalam penelitiannya Kaudern mencoba menggambarkan bentuk Lobo dari berbagai kecamatan yang ada di kabupaten Sigi Biromaru salah satunya kecamatan Kulawi desa Toro. Di lihat dari hasil penelitian Kaudern mengenai Lobo dan Lobo pada saat sekarang ini di tahun 2010-2013 banyak mengalami perubahan rupa, hal ini terjadi dimungkinkan karena perkembangan faktor sosial dan faktor budaya masyarakat setempat yang semakin beragam sehingga cenderung dapat merubah bentuk dasarnya.
    Oleh karena itu,dipandang perlu adanya kajian morpologi dalam bidang arsitektural mengenai perubahan yang terjadi dalam arsitektur tradisional Lobo kedalam wujud kekinian. Perubahan ini tentunya mengacu pada rupa asal yang dijadikan dasar dalam penghadiran rupa baru, namun masih memiliki nilai-nilai rupa bangunan asal dengan mengetahui kesejarahannya. Perubahan inilah yang akan dikaitkan dengan teori aesthetic.
    Bangunan tradisional Lobo awal diteliti oleh salah satu peniliti dari belanda yang bernama Walter Kaudern, pada akhir tahun1916 kaudern memulai penelitiannya tentang bangunan tradisional Lobo, penelitian ini dilakukan di salah

    BalasHapus
  32. Fratika Julia
    3212.202.002
    arsitektur perilaku 2

    MORFOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL LOBO

    satu kabupaten Sulawesi Tengah, yaitu kabupaten Sigi Biromaru. Di Sigi Biromaru terdapat banyak desa yang bangunan tradisional Lobo, salah satunya desa Ngatatoro yang masih dilestarikan sampai saat ini. Hasil penelitian dari Kaudern inilah yang menjadi sebuah landasan atau di angggap bangunan asal dari bangunan tradisional Lobo. Sehingga dalam studi kasus ini kita dapat melihat perubahannya sampai saat ini.
    Ada beberapa variabel yang terdapat dalam penelitian salah satunya melihat wujud-wujud yang hadir dalam arsitektur tradisional Lobo masih lebih dominan diberi makna yang signifikan sebagai kekhasan suku (etnis). Sehingga adakah kemungkinan untuk mendapatkan bangun-dasar yang tidak terikat oleh pengaruh kesukuan dalam keragaman bentuk arsitektur (bangunan) tradisional Lobo setelah menganalisis kesejarahannya. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan yaitu bagaimana manusia dengan lingkunganya .
    Dari hasil observasi lapangan penduduk yang tinggal di daerah Ngatatoro ini masih sangat kuat sistem budayanya dalam lingkungannya, termasuk bagaimana perilaku manusia terhadap bangunannya tradisionalnya. Dalam hal ini penduduk masih menganut budaya dari nenek moyang mereka ini artinya pengalaman sensori penduduk Ngatatoro sudah didasarkan dari nenek moyang mereka. Dari setiap penduduk di Ngatatoro akan berbeda-beda dalam mencapai hasil sensory aestheticnya kemungkinan dikarenakan umur mereka yang berbeda-beda dan pengetahuan masing-masing dari nenek moyang mereka. Dan dari hal tersebut dapat terjadi sebuah sensory yang berlimpah sehingga overload dan menjadi sensori yang negatif. Misalnya saja seperti terlalu mengagung-agungkan bangunan tradisional Lobo tersebut.
    Dari faktor sensori, muncullah sebuah symbol aesthetic seperti rumah mereka yang harus mempunyai bentuk seperti Lobo. Penduduk Ngatatoro itu sendiri merasa sangat nyaman dengan keadaan lingkungan sekitar Ngatatoro, disebabkan mereka yang sudah menganggap lingkungan mereka itu menyatu dengan mereka. Karena mereka di didik dari lingkungan yang mengutamakan budaya mereka, setiap kegiatan mereka didasari oleh aturan budaya. Dari respon

    symbolic aesthetic muncul intelectual aesthetic, dimana pengertian intelectual aesthetic itu sendiri proses (yang didasari manusia) mengapresiasi lingkungan berdasarkan pemahaman mengenai bagaimana dan dengan cara apa lingkungan tersebut tercipta. Dari sinilah masyarakat Ngatatoro dalam hal intelectual aesthetic menjadikan budaya mereka sebagai dasar dari intelectual aesthetic. Sehingga dalam pemahaman kegiatan masyarakat atau dalam membangun desa Ngatatoro budaya yang menjadi dasarnya dalam hal ini yang dimaksud adalah aturan-aturan budaya yang ada di ngatatoro.

    BalasHapus
  33. Fratika Julia
    3212.202.002
    arsitektur perilaku 2

    MORFOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL LOBO

    KESIMPULAN
    Seperti yang telah di uraikan sebelumnya pembahasan ini membahas mengenai morfologi arsutektur tradisional Lobo dengan variabel Ada beberapa variabel yang terdapat dalam penelitian salah satunya melihat wujud-wujud yang hadir dalam arsitektur tradisional Lobo masih lebih dominan diberi makna yang signifikan sebagai kekhasan suku (etnis). Sehingga adakah kemungkinan untuk mendapatkan bangun-dasar yang tidak terikat oleh pengaruh kesukuan dalam keragaman bentuk arsitektur (bangunan) tradisional Lobo setelah menganalisis kesejarahannya. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan yaitu bagaimana manusia dengan lingkunganya .

    Dari analisis melalui aesthetics bahwa kemungkinan besar perubahan yang terjadi pada bangunan tradisional Lobo faktor salah satunya adalah budaya setempat. Sehingga pengaruh kesukuan dalam bentuk arsitektur tradisional lobo sangat terlihat wujudnya. Karena dari formal, sensory, dan symbolic aesthetic nya didasari oleh budaya, dan kekhasan (suku), sehingga pada intelectual aesthetic nya berdasarakan pengetahun intelektul budaya setempat.

    BalasHapus
  34. Fratika Julia
    3212.202.002
    arsitektur perilaku 2

    MORFOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL LOBO

    DAFTAR PUSTAKA
    - Jeraman, Pilipus (2000); Studi Morfologi Dalam Konstruksi Bangunan Tradisional di Nusa Tenggara Timur, Tesis Pasca Sarjana-s2, PS.Arsitektur, Program Pasca Sarjana FTSP-ITS Suarabaya
    - Prijotomo, Josef (1988); Kalsifikasi Data Kategorisasi Pengkayaan Dalam Morpologi Arsitektur Klasik Indonesia. Laporan Penelitian, Puslit ITS-Surabaya
    - Steadman,J; 1983; Architectural Morphologi ; Pion Limited; London
    - Materi kuliah arsitektur perilaku 2, oleh Ir. Sri Aminarti Sastrohoetomo.M,S

    BalasHapus
  35. Fasade Bangunan Rental Office dengan Konsep Sustainability ditinjau dari arsitektur perilaku

    AYU SRI MARITA - 3212207009 - part4

    Daftar pustaka :

    Laurens, Joyce M. 2004. PT.Grasindo. Indonesia
    Materi kuliah arsitektur perilaku (pengampu Ir. Sri Amiranti, MT)

    Maslow, Abraham (1954) dan Newmark, Cs (1977); Human Basic Needs dan Housing Design Concern.

    Bell, Paul A.2001.Environmental psychology.Harcourt College Publisher.Orlando

    BalasHapus
  36. Sherly de yong -3212202003 (PART 1)

    Kontribusi “Positive Theory” di dalam kajian Panoptisisme dengan Ruang dan kaitannya dengan estetika simbolik

    Paper ini akan bercerita mengenai kontribusi teori positif di dalam kajian panoptisisme dengan ruang (oleh Michel Foucault) dan kaitannya dengan estetika simbolik. Pembahasan akan dimulai dengan menjelaskan teori panoptisisme dengan ruang yang merupakan ide dari Michel Foucault, dilanjutkan tinjauan terhadap estetika simbolik dan dibuat kesimpulan dari keduanya.

    Tinjauan mengenai “Panoptisisme dengan Ruang”

    Sebelum memahami tentang prinsip panoptisisme menurut Michel Foucault, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu tentang bagaimana pandangan Foucault tentang power / kuasa, knowledge / pengetahuan, disciplinary power / disiplin kuasa dan kaitannya terhadap space / ruang dan panoptisisme.
    Foucault memiliki beberapa ide mengenai makna kuasa, namun di dalam paper ini, yang terpenting adalah kaitan power / kuasa dengan knowledge / pengetahuan dimana mekanisme dari power / kuasa yang membentuk tipe-tipe dari knowledge / pengetahuan yang berbeda-beda yang bertujuan untuk menginvestigasi dan mengumpulkan informasi dari aktivitas manusia dan wujudnya. Knowledge / pengetahuan yang dikumpulkan dengan cara demikian, akan membentuk latihan-latihan kuasa. Bukan pengetahuan yang berada pada satu sisi dan masyarakat atau ilmu atau negara berada di sisi lainnya, namun bentuk dasarnya adalah power-knowledge. Kuasa dan pengetahuan beroperasi hampir secara bergantian.

    Foucault selalu merefleksikan dan mendiagnosa apa yang terjadi sekarang dengan mempelajari apa yang telah terjadi pada masa lampau. Segala sesuatu mengenai refleksi dan diagnose dari masa lampau dinilai sesuai dengan kerangka pengetahuan / knowledge yang selamanya akan terus berubah. Oleh karena itu, dalam hal power/ kuasa, Foucault juga merefleksikan disiplin kuasa di masa kini dari bentuk pengetahuan / knowledge yang ada pada masa lampau. Sejak dahulu pendisiplinan tubuh telah ada sebagai upaya untuk menjadikan individu-individu lebih patuh, sehingga mereka mampu dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini tubuh dijadikan sebagai obyek dan sasaran kekuasaan.

    Foucault mengajukan adanya sebuah seri konfigurasi sejarah yang berbeda-beda untuk hubungan umum antara power-knowledge dan ini secara berurutan: disciplinary power (yang secara sejarah menggantikan bentuk lama dari kekuasaan yang berdaulat, fokusnya kepada penciptaan dan kontrol dan individu melalui latihan pada tubuh dan perilaku), biopower (fokusnya pada kehidupan, kematian dan kesehatan dari keseluruhan populasi) dan kemudian governmentality (memungkinkan penggabungan kekuasaan ke dalam mekanisme dimana mekanisme ini menunjukkan jalan untuk perilaku orang di dalam tubuh sosial) (O’Farrell, 2006). Istilah yang terakhir ini meninggalkan diskusi mengenai kuasa, dan lebih mendiskusikan kebebasan, kebenaran dan subyek, dan cara untuk memandu diri sendiri dan menjalankan yang lain.

    BalasHapus
  37. Sherly de yong – 3212202003 (part 2)
    Untuk kajian teori di sini akan difokuskan kepada bentuk disciplinary power, karena panoptisisme adalah mekanisme dari teknik dan prinsip disciplinary. Disciplinary power ini pertama kali berkembang pada pada akhir abad ke-18, dan menggantikan bentuk kuasa yang lama (kuasa berdaulat). Dalam sistem kekuasaan berdaulat, yang terjadi pada masyarakat feudal, ada figur individual otoritas seperti raja, imam atau ayah yang ditunjuk sebagai pemegang kuasa dan kesetiaan bisa dibeli (O’Farrell, 2006). Foucault mendebat bahwa bentuk dari kekuasaan berdaulat ini sebagai sebuah cara untuk mengatur perilaku populasi di Eropa menjadi semakin tidak efisisen. Sedangkan disciplinary power, menurut Foucault adalah sebuah “teknologi” yang bertujuan untuk menjaga seseorang berada di dalam pengawasan, bagaimana mengontrol tindakannya, perilakunya, bakatnya, bagaimana meningkatkan kinerja, mengalikan kapasitasnya, bagaimana menempatkan dia pada posisi yang paling berguna (teknologi produktif).

    Foucault mendata ada beberapa teknik atau prinsip yang menfasilitasi mekanisme dari kuasa disiplin ini. (O’Farrell, 2006). Yang pertama adalah ruang diorganisasi sedemikian rupa. Ruang merupakan hal yang fundamental / mendasar di dalam pelaksanaan sebuah kekuasaan (space is fundamental in any exercise if power) (Rabinow 1984). Pemikiran Foucault mengenai teknik ruang ini berawal dari pemikiran Foucault terkait kuasa, pengetahuan dan ruang pada akhir abad ke-18. Dalam konteks konsep kuasa dan ruang, arsitektur menjadi bagian dari politik dan kuasa dari pemerintahan pada akhir abad ke-18 (Rabinow 1984). Ruang arsitektur pada akhir abad ke-18 selalu dikaitkan dengan kuasa dari pemerintahan memiliki peranan penting di dalam pernyataan dan praktek dari sebuah pemerintahan. Hal ini terkait dengan perlunya pengontrolan dan pembentukan teritori dari sebuah kota. Pemerintah dan politik saat itu beranggapan bahwa distribusi pembentukan ruang dalam pola penataan kota sampai kepada arsitektur yang paling privat, merupakan hal yang paling efisien di dalam pengontrolan sebuah kota dan teritorinya. Oleh karena itu, ruang dan kuasa yang dihasilkan dikontrol dan ditata oleh pemerintahan.

    Masih menurut Foucault, pada abad ke-19, dengan adanya perkembangan teknologi (terutama dalam bidang jalan rel dan listrik) dan urbanisasi, pembentukan ruang di kota dan negara bagian bukan lagi menjadi domain dari kuasa pemerintahan dan para arsitek, namun ada insinyur, teknisi dan pembangun yang dapat mengontrol teritori, komunikasi dan kecepatan. (Rabinow:1984) Hal ini menyebabkan kuasa tidak lagi pada pemerintahan; hubungan antara kuasa dan ruang dibentuk berdasarkan masyarakat, bukan lagi negara bagian atau pemerintahan.
    Pengorganisasian ruang dimulai dengan sebuah prinsip ‘enclosure / berpagar’ dimana orang dikunci pada ruang institusional (misalnya penjahat di penjara, anak-anak di sekolah). Di dalam ‘enclosure’ ini diciptakan partisi kecil seperti ruang kelas atau ruang sel. Kemudian di dalam ‘enclosure’ ini, manusia ‘dirangking’ dan dibagi ke dalam ‘kelas-kelas’ nya. Kesemua pembagian ini memerlukan desain arsitektur yang secara fisik untuk menjaga ruang-ruang sosial ini tetap terorganisir.

    Yang kedua dari teknik disciplinary adalah berhubungan dengan organisasi aktifitas dan perilaku. Pertama, mengembangkan sebuah jadwal untuk sekelompok orang untuk bisa hadir pada saat yang bersamaan untuk sebuah tugas. Kemudian bentuk dari aktifitas grup ini diorganisasi, orang dilatih untuk menampilkan pergerakan yang sama pada saat yang bersamaan. Ketiga, metode dari pelatihan tubuh dan gesturnya untuk menyempurnakannya. Tujuannya adalah membuat tubuh menjadi semakin efisien di dalam aktifitas yang dilakukan (O’Farrell, 2006). Kesuksesan dari teknik disciplinary power ini semakin terjamin dengan adanya tambahan teknologi dari pengawasan.

    BalasHapus
  38. Sherly de yong -3212202003 (part 3)
    Panoptisisme adalah sebuah mekanisme pengawasan untuk masyarakat modern (O’Farrell, 2006). Panoptisisme ini merupakan bagian dari teknik disciplinary power. Selain pengawasan ada juga normalisasi / normalization (pengetesan terhadap ‘kenormalan’ dari tubuh) dan pengujian /examination (pengujian terhadap keefektifan disciplinary power). Panoptisisme juga tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari pengorganisasian ruang dari arsitektur dan pengorganisasian aktifitas dan perilaku yang juga ada di dalam arsitektur. Sehingga untuk pelaksanaan teknik disciplinary power efisien, seefisien panoptisisme, diperlukan arsitektur untuk mendesain organisasi ruang dan organisasi aktifitas dan perilaku. Paragraf berikutnya akan menjelaskan lebih mendetail mengenai panoptisisme.

    Ide panoptisisme ini berawal dari kata panoptikon dimana panoptikon merupakan sebuah penjara yang didesain oleh filsuf dari Inggris yang bernama Jeremy Bentham pada tahun 1790-an. Penjara Panoptikon yang berbentuk bundar ini merangkum karakteristik masyarakat yang didirikan pada disilipn. Dan penjara ini merupakan perwujudkan sebuah sistem dimana sistem pengawasan memiliki peranan penting dan pengetahuan bersatu dan tidak terpisahkan dari kekuasaan.

    Penjara ini berdasarkan pada prinsip arsitektur untuk bangunan berbentuk cincin dengan sel-sel penjara yang mengelilingi sebuah menara yang berada di tengah. Seorang pengamat yang berada di dalam menara bisa melihat ke dalam masing-masing sel, namun karena ada sistem kisi-kisi udara dan cahaya di dalam sel, sehingga penghuni sel tidak bisa melihat ke dalam menara pusat. Ini berarti orang-orang yang ada di dalam sel seolah-olah mereka sedang diawasi sepanjang waktu. Panoptikon merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan pengawas melakukan observasi secara menyeluruh terhadap obyek yang diawasi, artinya panoptikon memungkinkan penerapan sejenis pandangan tertentu, dengan panoptikon, pengawas bisa mengamati mereka secara konstan dan cepat.

    Penataan ruang yang tepat dapat memenuhi hal pengontrolan dan perombakan perilaku ini. Ruang ditata untuk membawa terus disiplin kuasa, dan ilmu untuk mengawasi. Metode yang efektif untuk memperlihatkan kuasa-ilmu di panoptikon adalah melalui konfigurasi atau penataan ruang. Hal inilah digunakan untuk memastikan sekumpulan orang berada pada ruang yang ditentukan, kanalisasi sirkulasi mereka, dan pengkodean dari hubungan timbal balik mereka. Dan hal ini tidak hanya dipertimbangkan sebagai sebuah elemen dari ruang, namun terlebih pada bidang hubungan sosial yang bisa memberikan beberapa efek yang spesifik (Ranibow 1984).

    BalasHapus
  39. Sherly de yong -3212202003 (part 4)

    Dari sini bisa disimpulkan bahwa Foucault berpendapat arsitektur melalui pola penataan ruang bisa membentuk aktivitas orang melalui alokasi, kanalisasi atau pengkodean dan hubungan mereka melalui mekanisme yang dihadirkan dalam proyek panoptikon. Penataan ruang bisa menghadirkan keberadaan dari kuasa untuk mengakomodasi aktivitas itu. Penataan ruang untuk aktivitas itu mungkin memerlukan sebuah urutan / order dan urutan ini menjadi sebuah hirarki dari penataan ruang pada arsitektur dengan kuasa yang jelas pada masyarakat dan diwujudkan di dalam kode budaya mereka. Berikut adalah bagan kesimpulan mengenai panoptisisme dikaitkan dengan ilmu, kuasa, arsitektur (ruang).

    Sistem panoptikon menjadi bentuk pengawasan yang memungkinkan untuk mendapat kepatuhan dan keteraturan dengan meminimalkan tindakan yang sulit diramalkan. Prinsipnya, pengawasan bisa dilakukan secara diskontinu, efek kesadaran diawasi kontinu. Kekuatan sistem panoptikon terletak dalam kemampuan mendorong terjadinya internalisasi pengawasan. Sistem ini merupakan model berfungsinya penegakan disiplin yang dapat diterapkan di segala bidang. Ia menjadi bentuk pengawasan yang tidak membutuhkan lagi kekerasan fisik. Sehingga jika dikaitkan dengan ruang, sistem pengawasan panoptisisme ini mempengaruhi bentuk ruang yang secara psikologis dapat mempengaruhi psikologi manusia yang berada di dalamnya. Ide panoptisisme ini diadopsi secara luas pada awal abad ke-19 sebagai model regulasi sosial dan kontrol yang sangat efisien. Prinsip panoptisisme ini ditemukan di hampir ruang kontemporer publik dan ruang institusi.

    Panoptikon disini selain sebagai bangunan dengan konsep pengawasan dan untuk mengobservasi pengguna dan menghasilkan sebuah pengawasan yang sangat efektif, panoptikon juga merupakan sebuah mekanisme percobaan untuk merubah perilaku dan untuk melatih individu menjadi baik dan benar. Skema panoptikon ini bisa digunakan sebagai cara untuk mengubah pemikiran dan perilaku seseorang secara efektif dan efisien, dan menambah pengetahuan seseorang.

    Mekanisme power-knowledge ini dimengerti melalui penataan ruang, organisasi aktifitas dan perilaku, dimana arsitektur sebagai katalisator untuk mengaktifkan tampilan kuasa. Mekanisme power-knowledge utamanya untuk menunjukkan disciplinary power ini didefinisikan dengan teknik panoptisisme melalui penataan ruang, aktifitas dan perilaku. Dan penataan ruang, aktifitas dan perilaku ini hanya bisa melalui desain arsitektur. Disinilah arsitektur berperan di dalam penataan ruang dan juga penataan aktifitas dan perilaku.

    BalasHapus
  40. Sherly de yong – 3212202003 (part 5)

    Tinjauan mengenai “Estetika Simbolik”

    Ada 4 teori estetika yang diungkapkan oleh Jon Lang, teori estetika yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Estetika formal – nilai estetika fokus pada obyek dan kontribusinya terhadap respon estetika fisik arsitektur seperti ukuran, bentuk, warna, ritme, dll. (2) Estetika Sensori – nilai estetika yang ditimbulkan dari suatu sensasi yang menyenangkan yang diperoleh dari warna, suara, textur, bau, rasa, sentuhan, dsb. yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan yang diciptakan. Dengan kata lain estetika ini memperhatikan aspek fisiologis yaitu memunculkan sebuah ‘rasa’. (3) Estetika Simbolik – nilai estetika yang merupakan komponen fundamental pengalaman manusia (4) sebuah karya arsitektur, tidak hanya membawa wujud fisiknya saja, tetapi juga dapat ‘mengajak’ penggunanya untk merasakan lebih ‘dalam’ lagi makna arsitektural objek tersebut melalui beberapa aspek estetika seperti yang telah disebutkan di atas. Dari keempat jenis estetika yang diungkapkan oleh Jon Lang, dalam paper ini, hanya estetika simbolik saja yang dibahas dengan pendekatan keterkaitan antara estetika simbolik dengan arsitektur.

    Estetika simbolik melengkapi estetika formal (yang berwujud / tangible) dengan bergerak di luar dunia fisik, menuju kepada dunia makna yang tidak berwujud / intangible. (Kopec, 2010) Entah makna denotatif (fungsi, atau gaya), atau makna konotatif (menyiratkan hubungan seperti menyambut atau melarang). Sumber dari estetika simbolik yaitu: (1) kealamian (level dimana elemen natural digunakan di dalam desain) (2) pemeliharaan (level dimana desain perawatannya mudah) (3) intensitas penggunaan (intentsitas atau kehadiran pada desain tertentu) (4) gaya (seleksi dari desain secara keseluruhan). Makna simbolik dan estetika simbolik terkait erat dengan kebutuhan dasar manusia, yaitu: (1) kebutuhan afiliasi (2) kebutuhan penghargaan (3) kebutuhan identitas. (Lang, 1987)

    Estetika simbolik memasukkan simbol-simbol yang mengandung unsur-unsur nilai dan kognisi. Pada estetika simbolik yang diharapkan adalah terjadinya komunikasi yang ditimbulkan dari makna elemen-elemen lingkungan. Seorang perancang dianggap berhasil ketika ia mampu mengkomunikasikan apa yang ia sampaikan kepada pengamat atau pengguna bangunan. Estetika simbolik menunjukkan bahwa obyek yang sama akan memberikan makna yang berbeda bagi setiap individu dan juga untuk setiap jaman. Seperti yang diungkapkan Jung dalam Lang dimana beberapa bentuk itu memiliki makna terhadap kita. Makna ini terbentuk secara tidak sadar di dalam diri kita. Sedangkan Annie dalam Lang menjelaskan mengenai bentuk yang menyentuh ‘ketidaksadaran’ manusia, yang merupakan bentuk yang biasa ada dalam semua pengalaman manusia, adalah bentuk simbol universal dan membentuk arketipe di dalam manusia dan bermakna bagi manusia.

    Estetika simbolik juga membantu arsitek di dalam mempersepsikan dunia, melalui metode untuk mempersepsikan dunia yaitu melalui makna simbolik. (Augustin, 2009). Kluckckhon dalam Augustin percaya bahwa masyarakat mengikuti salah satu dari tiga orientasi secara alamiah, yaitu: untuk patuh terhadapnya, mendominasi dan mengeksploitasikannya atau dalam sebuah keseimbangan harmoni. Hubungan yang dirasakan oleh orang dengan alam berakibat pada penggunaan material di dalam struktur dan koneksi visual antara dalam dan luar ruang. (Augustin, 2009)

    BalasHapus
  41. Sherly de yong -3212202003 (Part 6)

    Arsitektur adalah merupakan obyek budaya. Arsitektur yang melambangkan obyek budaya adalah sebuah bukti nyata dari sejarah arsitektur. Hal budaya inilah yang membentuk simbolisasi budaya dari sebuah bangunan arsitektur. Simbolisasi budaya ini jelas mempertimbangkan makna estetika di dalam arsitektur, terutama estetika simbolik. Hal ini juga diperkuat oleh Jon Lang, dimana menurut Lang, seorang arsitek perlu mempertimbangkan estetika sensori dan simbolik dalam melengkapi estetika formalnya, karena makna di dalam arsitektur diungkapkan melalui imaji, simbol, dan tanda.

    Dari sini, bisa disimpulkan bahwa estetika simbolik melengkapi estetika formal, estetika simbolik memberikan makna terhadap sebuah artefak, estetika simbolik ini bisa membentuk ‘ketidaksadaran’ di dalam diri manusia dan memberikan makna simbolik dan arketipe yang sama bagi manusia. Kaitannya dengan arsitektur, utamanya adalah bahwa arsitektur merupakan obyek budaya manusia dan dengan simbolisasi budaya terhadap karya arsitektur, karya arsitektur itu menjadi semakin bermakna.

    Kesimpulan Ringkasan Mengenai Pemetaan Teori Panoptisisme dengan ruang dan Estetika Simbolik.

    Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, panoptisisme adalah mekanisme power-knowledge ini dimengerti melalui penataan ruang, organisasi aktifitas dan perilaku, dimana arsitektur sebagai katalisator untuk mengaktifkan tampilan kuasa. Mekanisme power-knowledge utamanya untuk menunjukkan disciplinary power ini didefinisikan dengan teknik panoptisisme melalui penataan ruang, aktifitas dan perilaku. Dan penataan ruang, aktifitas dan perilaku ini hanya bisa melalui desain arsitektur. Disinilah arsitektur berperan di dalam penataan ruang dan juga penataan aktifitas dan perilaku.

    Estetika simbolik melengkapi estetika formal, estetika simbolik memberikan makna terhadap sebuah artefak, estetika simbolik ini bisa membentuk ‘ketidaksadaran’ di dalam diri manusia dan memberikan makna simbolik dan arketipe yang sama bagi manusia. Kaitannya dengan panoptisisme, estetika simbolik membantu di dalam perencanaan ruang berdasarkan mekanisme panoptisisme terutama pada penataan ruang dan penataan aktifitas dan perilaku. Estetika simbolik memberikan makna dan membentuk ‘ketidaksadaran’ manusia (yang keduanya juga berdasar kepada budaya) dan hal ini diperlukan di dalam penataan panoptisisme. Keilmuan estetika simbolik digunakan sebagai dasar untuk membentuk penataan ruang, aktifitas dan perilaku manusia yang sesuai dengan prinsip panoptisisme. Oleh karena itu, jelas terdapat kontribusi dari teori positif di dalam kajian panoptisisme.

    teori positif membantu peneliti untuk memetakan dan menjelaskan teori-teori yang sudah didapatkan oleh peneliti, sehingga meningkatkan kesadaran berperilaku di dalam penciptaan arsitektur dan lingkungan. Oleh karena itu, jelas teori positif akan berkontribusi di dalam memetakan teori panoptisisme, ruang dan estetika simbolik, sekaligus menjelaskan keterkaitan dari teori-teori ini

    BalasHapus
  42. Sherly de Yong - 32122902003 (part 7)

    REFERENSI

    Foucault, M. (1977). Disciplin and Punishment: The Birth of the Prison. Billing & Sons, London.

    Gissen, D. (2010, May / June). Territory Architecture Beyond Environment. Architectural Design Vol 80 No 3 , 8-13.

    Groat, L. (2002) Architectural Research Method, John Wiley&Sons, Inc., New York

    Hirst, P. 1992, Foucault and Architecture, AA Files, no. 26, Autumn: 52-60

    Kopec, Dak. (2010). Environmental Psychology for Design. Fairchild Publications Inc., New York.

    Lang, J. (1987). Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Science in Environmental Design. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

    O'Farrel, Clare. (2006). Michel Foucault. Sage Publication, London.

    Rabinow, Paul (1984). The Foucault Reader. Penguin Books, London

    Rayner, T. (2001). Biopower and Technoology: Foucault and Heidgger's Way of Thinking.

    BalasHapus