Minggu, 09 Juni 2013

DISKUSI MATERI KONTRIBUSI “POSITIVE THEORY” DALAM ARSITEKTUR PERILAKU


DISKUSI MATERI  KONTRIBUSI “POSITIVE THEORY” DALAM ARSITEKTUR PERILAKU
Skema Lang (1987) di atas menguraikan dengan jelas peran ilmu-ilmu perilaku dalam menngisi masukan “positive theory” pada proses perancangan arsitektur maupun evaluasi karya arsitektur. Bagi mahasiswa S2 maupun S3 Pasca Sarjana Arsitektur ITS yang mengikuti perkuliahan Arsitektur Perilaku,  diminta memberikan komen dalam blog ini yang menguraikan  kontribusi  positive theory” untuk menjelaskan dan mempertajam telaah / kajian substansi dan prosedur yang anda kupas dalam tesis/ desertasi anda.
Penekanan telaah/ kajian bagi tiap bidang studi adalah sbb :
·         S2 Teori, Sejarah dan Kritik Arsitektur bertumpu pada pendekatan kajian evaluatif/ kritis dari obyek/ subyek garapan dalam tesis
·         S2 Perancangan Arsitektur bertumpu pada pendekatan perancangan arsitektur dari obyek rancangan dalam tesis
·         S3 Pemukiman bertumpu pada pendekatan kajian evaluatif/ kritis dari obyek/ subyek garapan dalam desertasi atau pada pendekatan perancangan arsitektur dari obyek rancangan dalam desertasi.

Komen di blog serta keseluruhan materi tugas ini yang disajikan lengkap (dengan gambar/grafis/skema yang mendukung) dalam bentuk soft copy (yang bisa dikompilasi dalam sebuah CD untuk masing-masing bidang studi), diunggah/ dikumpulkan paling lambat hari Selasa, tggl 18 Juni 2013.
Selamat bekerja!

Wass,
Dosen MK Arsitektur Perilaku 2 dan MK Arsitektur Perilaku
Sri Amiranti

18 komentar:

  1. 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
    Bahasan judul tesis yang saya ajukan disini adalah bagaimana medesain ulang PKL sentra pada lokasi taman bmx dan skatepark ketabang kali, menjadi sebuah public space yang menyatu dan saling terintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Karena sebenarnya fenomena yang saya angkat disini adalah mengapa PKL sentra yang berada pada lokasi yang memungkinkan adanya sebuah aktivitas publik, malah tidak berjalan secara optimal dalam pengoperasian. Dan mengapa pada program pemerintahan kota surabaya tentang penyelenggaraan adanya sebuah taman kota dan PKL sentra tidak dijalankan dalam kesatuan yang bersinergi, karena keduanya memiliki hubungan yang saling membutuhkan. Adapaun permasalahannya antara lain :






    Permasalahan pertama, lokasi site yang sangat menunjang lakunya PKL tersebut, namun dengan adanya pembatas antara taman tersebut dengan PKL-PKL yang ada, maka akan menghambat tumbuhnya PKL sentra yang ada.

    Permasalahan kedua adalah tidak adanya kejelasan pencapaian sirkulasi pada kawasan ini, permasalahan ketiga adalah adanya ruang publik merupakan perangsang bagi kegiatan-kegiatan informal seperti PKL. Namun pada faktanya, tidak ada kesinergian antara pelaksanaan program PKL sentra dan taman BMX, permasalahan keempat adalah Karena sifat dari taman ini yang tidak terlalu ramai dalam kegiatan sehari-harinya, maka perlu adanya sebuah perencanaan ulang mengenai potensi apa saja yang dapat dikembangkan pada lokasi tersebut, namun tetap mempertahankan kegiatan yang sudah ada sekarang (PKL, dan taman bmx). Permasalahan kelima adalah tidak adanya perlakuan khusus pada desain bangunan PKL sentra tersebut, namun kondisinya seakan tumpang tindih bila kita lihat desain taman pada kawasan ini.

    BalasHapus
  2. 2. REVIEW MATERI KULIAH DAN TEORI PENDUKUNG
    Pada fenomena yang saya ambil disini lebih menekankan bagaimana sebuah ruang publik dapat diterima oleh masyarakat, memiliki makna, terprogram, dan tepat sasaran sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pada dasarnya sebuah ruang publik di desain harus melihat bagaimana kondisi lingkungan, dan bagaimana perilaku manusia yang terbentuk atau yang terlihat disana. Dari sinilah yang harus benar-benar dipertimbangkan bagaimana hubungan antara manusia dengan kondisi lingkungannya pada site tersebut.
    Menurut Lewin bahwa sebuah perilaku (behavior) merupakan persilangan antara lingkungan(environment/aspek eksternal) dengan manusia sebagai aspek internalnya (Lewin,1951). Sehingga disini sangat jelas bahwa lingkungan ( environnent) sangat mempengaruhi terbentuknya suatu perilaku individu didalamnya. Namun tidak hanya lingkungan saja yang dapat mempengaruhi perilaku, tapi itu juga dapat berlaku sebaliknya, seperti yang diunkapkan oleh Bell, Baum, Fisher and Greene, menyatakan bahwa:
    • Yang pertama adalah architectural determinism, tingkatan ini merupakan bentuk hubungan satu arah di mana keberadaan lingkungan mempengaruhi perilaku manusia. Kondisi ini meniadakan aturan manusia itu sendiri sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial.
    Manusia bukanlah mahluk yang pasif, perilaku manusia dapat membentuk dan mempengaruhi lingkungan dan lingkungan itu sendiri sebaliknya dapat mempengaruhi perilaku manusia. Kondisi ini dapat disebut juga two way process. Proses dua arah yang bersifat saling mempengaruhi merupakan suatu bentuk interaksi yang membutuhkan komunikasi antar perilaku manusia dengan lingkungannya.
    • Yang kedua adalah environmental possibilism, di mana orang-orang memilih di antara lingkungan yang memberikan kesempatan-kesempatan berkembang yang tersedia untuk mereka.
    Dan terakhir adalah environmental probabilism, yaitu di dalam memberikan suatu setting fisik beberapa pilihan menjadi lebih disukai daripada yang lain. Yang dimaksudkan di sini adalah perubahan setting fisik tertentu pada elemen fisik yang sama mempengaruhi perilaku orang dalam lingkungan tersebut.
    Suatu contoh ketika terdapat ruang kosong di tepi jalan, pilihan yang diambil di antara pilihan yang ada adalah menjadikan ruang tersebut tempat berjualan makanan. Disaat ruang itu telah terbentuk kemudian mengambil layout furniture yang dianggap paling baik dari beberapa pilihan yang ada untuk lebih menarik orang dalam menggunakan ruang tersebut.
    (Bell, Baum, Fisher and Greene. Environmental Psychology. Holt, Rinehart and Wiston, Inc. 1984:364).

    BalasHapus
  3. Ada pula contoh yang saya jadikan sebagai studi kasus dalam pembahasan tesis ini, yaitu Kya-kya surabaya, dimana sangat jelas terlihat sekali adanya sebuah setting fisik yang mempengaruhi terhadap pola perilaku yang terjadi pada daerah tersebut. Diketahui bahwa daerah ini sebenarnya adalah merupakan pusat bisnis di kota surabaya, namun karena hanya aktif pada saat pagi saja, dan pada saat malam hari tidak terlihat sedikitpun aktifitas, maka pada faktanya tingkat kriminalitas saat malam hari pada area ini sangat tinggi. Sehingga pemerintah dengan segala upaya penelitiannya membuat sebuah program yang mengkondisikan tempat tersebut sebagai wisata kuliner.

    Adapun pendekatan yang dilakukan pemerintah antara lain menelaah dari segi history nya, budayanya, kelokalannya, dan manusianya, dan semuanya itu dengan tujuan untuk menimbulkan dan menciptakan sebuah kegiatan yang sekiranya dapat menarik pengunjung ke tempat tersebut, dan akhirnya terciptalah wisata kuliner kya-kya yang diadakan pada saat malam hari saja. Tidak hanya wisata kuliner saja, pengunjung juga disajikan berbagai macam kesenian khas tiongkok, yaitu barongsai dan lain sebagainya. Sehingga terlihat jelas adanya sebuah dualisme fungsi yang dibedakan oleh waktu, dimana wisata kuliner yang terjadi pada malam hari tidak akan terlihat lagi pada saat menjelang pagi hari, begitupun sebaliknya. Sehingga dapat disimpulkan pada studi kasus ini terlihat bahwa sebuah setting fisik dapat mempengaruhi sebuah perilaku yang terjadi pada lokasi tersebut.

    BalasHapus
  4. 3. PENJELASAN TESIS
    Metode yang digunakan pada perancangan ini masih sangat erat kaitannya dengan pendekatan arsitektural yang diangkat pada pembahasan ini. Event dan landscaping architecture merupakan dasar dari pembahasan metodologi ini. Secara garis besar proses nya ini dapat dilihat pada skema dibawah ini.
















    Konsep event ini diambil sebagai upaya pendekatan bagaimana interaksi antara manusia, lingkungan, serta budayanya pada lokasi tersebut, sehingga redesain ruang publik nantinya akan mencapai goalnya, dan dapat berjalan secara optimal. Permasalahan utama pada fenomena ini adalah tidak lakunya PKL, padahal terletak pada lokasi yang memungkinkan adanya aktifitas publik yang cukup besar. Ini terjadi karena keberadaan PKL sentra tersebut tidak didukung dan tidak memperhatikan aspek budayanya, perilaku orang didalamnya, serta lingkungan sekitarnya, yang harusnya mampu mendukung terhadap eksistensi dari PKL sentra tersebut. Sehingga disini dapat disimpulkan bahwa ruang publik yang tercipta pada lokasi tersebut dapat dikatakan tidak berhasil.

    BalasHapus
  5. Menurut Lang, ada yang perlu ditinjau kembali untuk menguji keberhasilan sebuah produk desain, antara lain (Lang, 1981) :
    • Hubungan dan peran desainer – penyandang dana – user; user disertakan dalam penyusunan identifikasi permasalahan perancangan dan pengambilan keputusan.
    • Konsep fungsi yang tidak hanya terkait dengan jarak sirkulasi atau teknik konstruksi saja (fisik dan teknis), tapi juga melingkupi kebutuhan manusia lainnya, seperti kebutuhan akan identitas, keamanan psikologis, ekspresi pribadi, dan kebutuhan fungsi estetis,dari arsitektur sebagai bahasa jiwa.
    • Pemanfaatan pendekatan model sifat manusia dan perilakunya dalam perancangan lingkungannya harus lebih dipertajam.
    • Pemahaman mengenai hubungan lingkungan binaan dengan perilaku manusia harus dipertajam supaya tidak terjadi kekeliruan penafsiran, dalam bentuk eksperiensi manusia dalam lingkungannya.
    Event disini berarti adalah sebuah program, menurut Bernard Tchumi menyatakan bahwa tak ada arsitektur tanpa events, tanpa action, tanpa activity, tanpa function; arsitektur harus terlihat sebagai kombinasi ruang, events dan pergerakan, tanpa hirarki atau preseden apapun diantara ketiganya tersebut, maka karya tersebut dianggap gagal sebagai karya arsitektural. Dalam teorinya ia menyebutkan bahwa ada tiga cara mengenai pemogramannya tersebut, antara lain :
    • Crossprogramming : penerapan suatu program pada suatu konfigurasi ruang yang tidak semestinya, misal : kafe untuk sinema.
    • Transprogramming : mengkombinasikan 2 program kegiatan tanpa memperdulikan ketidaksesuaian, misal : perpustakaan dan sinema
    • Disprogramming : mengkombinasikan 2 program sehingga konfigurasi spasial program A mengkontaminasi program dan konfigurasi spasial program B; misal : program sinema untuk fasilitas komersial.

    Sehingga bila dikaitkan antara tinjauan desain menurut Lang dengan tinjauan event menurut bernard tschumi, keduanya sangat saling berkaitan seperti yang ditunjukkan pada skema dibawah.

    BalasHapus
  6. Dari tinjauan yang dikemukakan Lang, maka akan diketahui bagaimana perilaku yang ada, bagaimana linkungan itu terbentuk dan berpengaruh, bagaimana culturre dan history yang berkembang disana, dan apa yang sebenarnya menjadi Need dari manusia yang ada pada lokasi tersebut, kesemuanya itu merupakan subsystem perilaku yang ada. Dari sini maka dapat ditarik beberapa kemungkinan event apa saja yang dapat terjadi pada lokasi tersebut sebagai wujud dari activity system yang menganalisa berbagai macam hubungan dari subsystem perilaku yang ada. Serta bagaimana sebuah makna ruang yang terbentuk dari tinjauan desain yang dilakukan oleh Lang, sehingga membuat sebuah daya tarik tersendiri bagi produk desain tersebut.

    Menurut Lynch menyatakan bahwa, sebuah ruang publik akan menjadi bermakna bila desain tersebut mudah untuk dibaca, untuk mudah dibaca tempat tersebut harus memiliki isyarat ( daya tarik ) yang dikenali dan dipahami oleh sang desainner sebagai pihak yang mengkomunikasikan apa jenis tempat itu dan apakah tempat itu “wellcome” atau tidak, sehingga nantinya pengunjung akan merasa nyaman dan terbentuklah sebuah koneksi baik secara individual maupun sosial (Lynch,1963).

    BalasHapus
  7. Pada tahapan berikutnya dari kemungkinan-kemungkinan event yang terjadi maka perlu adanya sebuah metodologi mengenai perancanganya, yang mana disini saya mengambil metode landscaping arsitektur sebagai metodologi perancangan (Kevin Lynh dan Gary hack pada buku site planning 1, 2, 3, yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1984. Pada buku ini menerangkan bahwa terdapat beberapa koneksi baik itu eksternal maupun internal yang menjadi dasar dan mempengaruhi terhadap pengambilan tahapan metode pada metodologi ini. Antara lain :
    • Koneksi eksternal: Jika desain tidak terhubung ke daerah sekitarnya, maka akan menjadi tidak relevan. Koneksi eksternal, seperti koneksi desain ke infrastruktur dan masyarakat, harus diperhatikan.
    • Koneksi internal: Elemen dalam desain harus memiliki beberapa koneksi. Jika desain merupakan penggabungan dari bagian yang tidak saling bersinergi.
    • Struktur eksternal: Struktur eksternal menggabungkan konvensi yang ada ke dalam desain. Misalnya, mobil-mobil Amerika mengemudi di sisi kanan jalan. Jika konvensi dipahami berubah, hal itu menyebabkan masalah bagi mereka dalam desain
    • Struktur internal: Struktur internal menetapkan perintah dan berat elemen desain dalam desain. Jika elemen yang paling penting adalah danau, maka setiap elemen lain dalam desain adalah bagian dari danau tersebut.

    BalasHapus
  8. Sehingga bila ditelaah dari metodologi ini maka dapat diketahui bahwa :
    1. Modelling system, metode ini mengembangkan hubungan eksternal pada desain, dimana agar desain tidak berdiri sendiri dan mampu menempatkan dirinya pada suatu lngkup duni yang besar.
    2. Interrelationships and dependencies, metode ini mengembangkan hubungan internal yang harus dikembangkan untuk menghindari resiko, bahwa desain nanti akan menjadi sebagai sebuah pelengkap saja.
    3. Incorporation and adaption, untuk metode ini berkaitan dengan struktur eksternal yang ada, dimana dapat dianggap sebagai kerangka kerja atau kerangka di mana desainer membuat sebuah koneksi.
    4. Structure problems, metode mengembangkan struktur internal. Sebuah desain harus memprioritaskan dan beratnya elemen desain dan program dalam rangka menciptakan kerangka untuk menciptakan sesuatu.
    Dari keempat kategori metodologi tersebut, dapat membantu desainer menganalisa luas, hampir tak terbatas ruang sehingga pada akhirnya menemukan sebuah solusi. Metode yang mirip dengan "tetra ruang" sistem koordinat di mana empat sumbu yang diperlukan untuk referensi atau memperbaiki titik dalam ruang. (Hasslberger, 1) Dengan referensi koneksi internal dan eksternal dan struktur desain akan lebih mudah dipahami dan relevan.
    Sehingga dengan adanya metodologi seperti yang diutarakan diatas, maka diharapkan hasil akhir dari desain PKL sentra dapat menjadi sebuah public space yang dapat terintegrasi baik dengan lingkungan maupun kegiatan lainnya yang memiliki potensi untuk menjadikan sebuah public space baru yang penggunaannya dapat digunakan secara optimal dan tepat sasaran baik itu dari segi pengunjung, dan user.

    BalasHapus
  9. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

    I. Antitesis dalam dialektika kesadaran Hegellian
    I.1 Antitesis sebagai tahapan dalam proses berfikir
    ¬¬¬¬¬ Proses berpikir manusia tak lepas dari insting kritis. Ilmu pengetahuan yang telah ada tak luput dari insting kritis manusia, utamanya jika terkait dengan sesuatu yang janggal dan dikhawatirkan akan menyesatkan. Dasar berpikir ketakutan akan jatuh pada kesalahan membuat orang dalam waktu yang bersamaan curiga terhadap ilmu, yang memulai pekerjaannya dan benar-benar mengetahui tanpa keraguan apapun.

    To liberate ourselves from fear, we realize the fearing outweighs the actual victimization, the actual crime. Ideologies change, can change, are open to resignification.
    (Epstein dalam Ellin 1995)

    Sehingga dibutuhkan sebuah cara dalam berfikir untuk menguji sekaligus membuktikan kebenaran dari sebuah pemikiran. Pengujian ini dapat dilakukan melalui proses antitesis – buah pemikiran Hegel dalam dialektika kesadarannya yang dire-intepretasi oleh Heidegger dalam Hollier, 1992. Lalu apakah antitesis itu? Antitesis dijelaskan dalam kamus filsafat sebagai berikut:

    “…2. Pada Fichte dan Hegel “antitesis” merupakan hal kedua dari 3 serangkai (triade), yang melawan tesis. Oposisi dari tesis dan antitesis dipecahkan oleh sintesis, hal ketiga dari tiga serangkai itu”
    (Bagus, 1996)

    Artinya antitesis merupakan bagian dari proses berfikir triade tesis-antitesis-sintesa, dimana keberadaan antitesis dijelaskan sebagai pertentangan dari tesis. Akan tetapi jika merunut pemikiran Hegel, antitesis tidak semata-mata menjadi oposisi dari tesis. Melainkan sebuah penelusuran terhadap ihwal yang menyebabkan ke-berada-an dari tesis tersebut. sedangkan ihwal tersebut akan dipersepsi maupun dipengaruhi oleh aspek kesejarahan, konsep, kronologi, logika, fakta dan hukum yang ada (Hollier, 1992). Proses antitesis terletak pada proses mempersepsi dan mencantumkan aspek-aspek tersebut (kesejarahan, konsep, kronologi, logika, fakta dan hukum yang ada) terhadap sebuah origin - dasar ke-berada-an.
    Sehingga jika berfikir melalui proses antitesis, maka niscaya ke-berada-an dari hasil pemikiran kita akan lebih mendekati kebenaran dan sesuai dengan pengkondisian dari aspek-aspek yang telah disebutkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

      I.2 Antitesis dalam arsitektur
      Sebagai sebuah tahapan dalam proses berfikir, antitesis dapat dilakukan dalam membentuk arsitektur. Kaitannya dengan awareness dari sang arsitek dalam merancang. Keterlibatan awareness yang diwujudkan lewat proses antitesis dalam proses perancangan akan menghindarkan perancangan dari –sekedar merancang sesuai dengan tipologi. Seperti yang disampaikan oleh Siza maupun Yi Fu Tuan mengenai penghindaran tipologi dan lebih fokus terhadap penyelesaian dari permasalahan yang ada. Hal ini juga sebagai akibat dari keterlibatan manusia (sebagai subyek pengguna arsitektur) yang cenderung memiliki pemikiran dengan kompleksitas yang cukup tinggi dan beragam satu sama lain. Oleh karena perbedaan dan kompleksitas ini, maka rancangan seharusnya dirancang secara berbeda bukan hanya pada wujud nya, namun pada prosesnya; singkat kata diuji melalui antitesis.
      Lalu bagaimanakah sebuah antitesis dapat digunakan dalam proses perancangan? Antitesis seperti telah dijabarkan di atas merupakan proses berfikir yang menempatkan obyek sebagai tesis dalam kegamangan pertanyaan; mempertanyakan dasar keberadaan obyek melalui pembelajaran terhadap obyek tersebut. Sehingga sebagaimana disampaikan Yi Fu Tuan dan Siza – akan menghindarkan perancangan dari ke-terjebak-an terhadap tipologi; namun sekaligus dapat menggunakan tipologi untuk mempermudah dalam membentuk sebuah rancangan – bukan sebagai patokan utama; dasar merancang. Sehingga, antitesis diperlakukan sebagai sebuah cara berfikir dalam runtutan proses perancangan. Sedangkan aspek-aspek yang harus dihadirkan oleh proses antitesis bagi Hegel adalah sebagai berikut:
      - Aspek Kesejarahan
      - Aspek Konsep (terkait pergeseran pemikiran masyarakat)
      - Aspek Kronologi
      - Aspek Logika
      - Aspek Fakta
      - Aspek Norma
      Sehingga arsitektur akan dibaca dan diterjemahkan dalam rancangan melalui aspek-aspek yang disebutkan oleh Hegel di atas.

      Hapus
    2. II. Attachment to Place
      II.1 Eksistensi attachment to Place sebagai positive theory
      Adanya kebutuhan manusia terhadap naungan, maupun perlindungan fisik terhadap cuaca seringkali dielu-elukan sebagai fungsi dari arsitektur, utamanya rumah. Namun seiring bergulirnya waktu yang diiringi oleh perkembangan kultur, teknologi dan pola pikir manusia, maka arsitektur tidak lagi dibentuk oleh kebutuhan tersebut. Kebutuhan primordial dari manusia terhadap arsitektur tak lagi sekedar terhadap naungan, perlindungan fisik maupun privasi, akan tetapi sebagai bentuk kenyamanan; sebagai asosiasi terhadap memori kenyamanan. Sedangkan hal ini terbentuk melalui aspek afektif dari manusia. Dari memori yang ada, manusia akan memiliki keterikatan terhadap lingkungannya. Dari sinilah maka muncul attachment to place sebagai positive theory.
      Attachment to place dijelaskan oleh beberapa tokoh dalam McAndrew. 1993; sebagai berikut:
      - Asosiasi afektif positif antara indinidu dengan lingkungan kediamannya (Shumaker & Taylor,1982)
      - Asosiasi yang menciptakan rasa nyaman dan aman (Rivlin, 1982)
      - Ikatan afektif antara manusia dan tempatnya / topophilia (Tuan. 1974)
      - Kondisi kesejahteraan psikologis terkait dengan keberadaan suatu tempat atau kondisi tertekan karena ketidakberadaan suatu tempat (yang dicintai) (Giulani, 1991)

      Dari keempat penjelasan mengenai keberadaan attachment to Place di atas, terlihat bahwa attachment to place erat kaitannya dengan asosiasi manusia terhadap lingkungan aman dan nyamannya. Artinya, faktor yang dominan membentuk sebuah attachment to place ini adalah faktor afektif; yang tentu saja dapat terbentuk dengan adanya pembelajaran atau experience terhadap lingkung bina. Dengan adanya asosiasi, maka rasa puas belum tentu hanya muncul ketika berada pada tempat yang sudah sering atau biasa kita tempati. Karena kepuasan dapat muncul pada lokasi lain selama karakteristiknya sesuai. Hal tersebut dinyatakan oleh Stokois dan Shumaker, 1984 dalam kategorisasi sifat attachment to place:
      - Generic place dependance; dapat puas dengan lokasi lain selama karakteristiknya sesuai
      - Geographic place dependance; kecintaan yang kuat sekali terhadap kota atau rumahnya

      Hapus
    3. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

      II.2 Attachment to place dalam perancangan arsitektur
      Attachment to place yang merupakan sebuah asosiasi afektif terhadap lingkungan tentu berkaitan erat dengan pemikiran dan persepsi manusia. Terkait dengan perancangan arsitektur, attachment to place dapat dijadikan sebuah bayangan keberhasilan bagi beberapa obyek tertentu terhadap penggunanya, semisal sebuah rumah tinggal privat; dimana seorang penghuni rumah akan merasa berada di rumah jika berada dalam situasi tertentu. Perasaan berada di rumah inilah yang dalam realita dikatakan sebagai attachment to place. Tentunya jika seorang arsitek menginginkan klien sebagai pengguna karyanya merasa puas, maka sang arsitek harus memandang hal ini sebagai sebuah hal yang vital. Karena kepuasan terletak pada harapan klien untuk merasa di rumah. Dan harapan ini akan dapat dipenuhi jika hasil rancangan dapat memenuhi karakteristik dari harapan klien. Ini artinya, jika kembali pada kategorisasi sifat attachment to place, maka perancangan arsitektur hanya dapat memenuhi sifat Generic place dependance; tentunya karena keterbatasan arsitek terhadap penentuan tapak dan beberapa hal lainnya.
      Sebagai kelanjutan dari attachment to place yang digunakan sebagai preferensi atau aspek afektif yang dapat mengarahkan perasaan puas pengguna, maka perlu diketahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan dan berkembangnya attachment to place. Faktor-faktor tersebut disebutkan oleh McAndrew, 1993 sebagai berikut:

      - Kesesuaian antara needs dan goals individu terhadap setting fisiknya
      - Pilihan tetap tinggal atau pergi
      - Mobilitas rendah (tidak sering berpindah)
      - Jaringan sosial dan setting fisik yang ada
      - Jangka waktu bertempat tinggal di suatu tempat (Shumaker & Taylor, 1983)

      Sehingga dengan diketahuinya faktor-faktor ini akan dapat diperoleh sebuah rumusan bagaimana membaca attachment seseorang terhadap sebuah place. Dan dengan didapatnya rumusan tersebut, akan mempermudah pembentukan ide atau konsep dalam perancangan terkait dengan rasa nyaman seseorang terhadap sebuah place hasil rancang.

      Hapus
    4. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

      III. Antitesis sebagai cara dalam mencapai attachment to place
      Merunut dari pendefinisian antitesis dalam sebuah perancangan arsitektur, maka dijelaskan kembali bahwa antitesis dapat digunakan sebagai cara berpikir untuk mendapatkan hasil rancangan yang kompleks (bukan dalam pembahasaan kompleksitas dan kontradiksi a-la Venturi) dan spesifik. Lalu jika menilik kembali terhadap attachment to place yang memiliki kecenderungan melihat obyek perancangan dari sudut pandang afeksi; membutuhkan adanya pembelajaran sebelum ber-eksperiensi terhadap obyek rancang untuk dapat berasosiasi, maka akan muncul benang merah antara antitesis dan attachment to place. Dimana, antitesis digunakan untuk memahami dan menterjemahkan asosiasi afektif dari calon pengguna obyek rancang secara spesifik. Antitesis dapat digunakan untuk menelaah kecenderungan asosiasi penguna dari aspek-aspek kesejarahan, konsep (terkait pergeseran pemikiran masyarakat), kronologi, logika, fakta dan norma hingga dapat digunakan sebagai koridor dalam merancang.
      Jika dideskripsikan dalam sebuah paragraf, antitesis diposisikan sebagai sebuah metode untuk menentukan batasan dalam perancangan. Satu proses yang harus dilakukan sebelum proses pembentukan konsep dari sebuah rancangan berwawasan attachment to place, yakni pembentukan batasan dari konsep yang akan disajikan menjadi sebuah rancangan. Melalui pembacaan kesejarahan dari asal usul ide dan entitas obyek secara common, konsep pemikiran (paradigma) masyarakat terhadap obyek, kronologi interaksi pengguna terhadap obyek, logika sebab akibat dari keberadaan obyek dengan pengguna, fakta yang ada pada fenomena kekinian dan juga norma yang berlaku pada lingkup pengguna akan menjadi batasan yang akan digunakan dalam menyusun konsep rancangan.
      Maka dapat disimpulkan dalam menyusun konsep untuk mencapai sebuah rancangan berwawasan attachment to place, perlu mengikuti pembatasan yang dilakukan oleh Hegel sebagai berikut:
      - Kesejarahan dari asal usul ide dan entitas obyek secara common maupun pengguna
      - Konsep pemikiran (paradigma) pengguna terhadap obyek
      - Kronologi interaksi pengguna terhadap obyek
      - Logika sebab akibat dari keberadaan obyek dengan pengguna
      - Fakta yang ada pada fenomena kekinian
      - Norma yang berlaku pada lingkup pengguna

      Hapus
    5. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

      Sehingga akan dapat memunculkan attachment to place dari definisi:
      - Asosiasi afektif positif antara indinidu dengan lingkungan kediamannya (Shumaker & Taylor,1982)
      - Asosiasi yang menciptakan rasa nyaman dan aman (Rivlin, 1982)
      - Ikatan afektif antara manusia dan tempatnya / topophilia (Tuan. 1974)
      - Kondisi kesejahteraan psikologis terkait dengan keberadaan suatu tempat atau kondisi tertekan karena ketidakberadaan suatu tempat (yang dicintai) (Giulani, 1991)

      IV. Studi Kasus
      IV.1 Studi Kasus I: Rumah Butet Kartaredjasa oleh Eko Prawoto
      Setiap personal memiliki pandangannya masing-masing terhadap makna rumah, begitu juga dengan Butet Kartaredjasa selaku seorang seniman. Sebagai seorang seniman, pandangan Butet terhadap rumah cenderung filosofis. Rumah dianggap sebagai sosok bangun yang menyatu dengan alam dan berkembang secara spontan. Pandangan ini didapatkan dari penjajakannya melihat hidup dari kacamata seni, sehingga ia melihat seharusnya sebuah rumah bukanlah pembatasan diri terhadap lingkungan, melainkan bagian dari lingkungan. Sedangkan berkaitan dengan perkembangan rumah yang diinginkan secara spontan dipandang dari kebebasan berekspresi; tidak memenjarakan jiwa dan sekaligus membatasi diri dari perasaan ‘sok pamer’.
      Dari pandangan pribadi dari sang bohir, Eko Prawoto yang ditunjuk sebagai arsitek pengampu rancangan rumah Butet memulai pembatasan sekaligus titik awal ekplorasi dari rancangan rumah. Dengan melihat dari aspek antitesis akan dapat dibaca proses awal yang dilakukan untuk membuat batasan dalam membuat konsep dari rumah Butet. Berikut penjabarannya berdasarkan aspek-aspek antitesis:
      a. Kesejarahan dari asal usul ide dan entitas obyek secara common maupun pengguna – Rumah bagi Butet merupakan wadah bagi perwujudan kebebasan dalam berekspresi sekaligus pembatasan terhadap sifat pamer, selain itu pandangannya terhadap kesatuan dengan alam maupun lingkungan dianggap sebagai batasan. Maka dalam rancangan rumah, konsep dibentuk melalui pandangan arsitektur vernakular yang dikondisikan secara kontemporer. Konsep ini dianggap sebagai penterjemahan yang paling mendekati ide dan entitas rumah dari bohir. Arsitektur vernakular sebagai tipologi, memiliki kecenderungan untuk bersatu dengan ke-lokal-an dan dengan cukup mudah beradaptasi dengan kondisi dan permintaan/kebutuhan kontemporer. Seperti pada rumah Butet ini, lokalitas dibentuk melalui pematerialan yang humble dan penggunaan bentuk yang mengadopsi arsitektur lokal.

      Hapus
  10. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

    b. Konsep pemikiran (paradigma) pengguna terhadap obyek – Paradigma butet mengenai kesatuan rumah dengan lingkungan diterjemahkan dalam konsep inside out-outside in, dimana dalam aplikasi terbangunnya diwujudkan sebagai kehadiran patio dan juga banyaknya ruang tanpa sekat yang membatasi ruang dalam dan ruang luar.
    c. Kronologi interaksi pengguna terhadap obyek – Jika diruntut dari pemikiran Butet selaku pemilik dan sekaligus pengguna rumah, maka dapat dinyatakan bahwa rumah tidak berlaku sebagai pembatas ruang gerak pengguna, akan tetapi sebagai wadah pelepasan emosi dan ekspresi, sehingga dengan adanya pemahaman terhadap runtutan pemikiran ini maka dibentuklah konsep ruang dalam yang cenderung sederhana, utamanya pada dindingnya. Hal ini sebagai ruang untuk pelampiasan emosi dan ekspresi bagi pengguna melalui foto, gambar, patung dan pengekspresian dari pengguna.
    d. Logika sebab akibat dari keberadaan obyek dengan pengguna – Dengan adanya paradigma dari Butet yang memandang rumah sebagai kesatuan dari lingkungan, maka sebagai akibatnya program ruang yang disuguhkan diiringi oleh konsep terbuka (memenuhi persyaratan klimatik maupun suasana) sehingga meminimalisir penggunaan sekat.
    e. Fakta yang ada pada fenomena kekinian – Isu green sebagai isu kiwari tidak menjadi panutan utama bagi Butet maupun Eko Prawoto dalam merancang rumah ini, bahkan fakta keberadaan rumah sebagai ajang pamer dihindari sedapat mungkin baik oleh bohir maupun arsitek. Sehingga pemggunaan material lokal yang cenderung menampilkan sosok sederhana dan tidak menggunakan ornamen secara berlebihan.
    f. Norma yang berlaku pada lingkup pengguna – Norma sosial ke-jawa-an yang humble diikuti dengan norma budaya ke-jawa-an menjadi titik berat dari rancangan rumah ini. Dan dari norma-norma tersebut dibentuklah konsep rumah minim sekat, minim ornamentasi, dan juga menggunakan material lokal sebagai pendukung dari norma ke-jawa-an.

    BalasHapus
  11. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

    Dari penjelasan aspek-aspek di atas, konsep yang terbentuk pada kenyataannya mampu memberikan rasa nyaman dan mengarahkan attachment to place bagi Butet selaku bohir. Paradigma rumah bagi Butet yang mampu diterjemahkan (diasosiasikan) dalam konsep dan berujung pada sosok terbangun melalui tangan Eko Prawoto mampu memberikan perasaan nyaman dan tidak tertekan (afektif dan psikologis) bagi penggunanya, sehingga berkesesuaian dengan definisi dari attachment to place. Jika dalam istilah orang awam dijelaskan sebagai ‘there’s no place like home’

    IV.2 Studi Kasus II: Infinity Wedding Chapel-Conrad, Bali oleh WATG
    Salah satu obyek arsitektur untuk publik yang paling membutuhkan kenyamanan dan pandangan positif terhadap attachment to place adalah rumah ibadah. Hal ini berkaitan dengan rasa nyaman dan kesyahduan dalam ibadah. Sedangkan salah satu event yang dilakukan di rumah ibadah adalah pernikahan, entah itu pada masjid, gereja maupun rumah ibadah lainnya. Infinity wedding chapel adalah salah satu (bagian dari) rumah ibadah tempat diselenggarakannya upacara pernikahan bagi umat nasrani. Sedangkan infinity wedding chapel ini berada di dalam kompleks resor yang dikelola oleh hotel conrad. Sehingga menjadi salah satu faktor penarik bagi khalayak untuk menggunakan fasilitas hotel ini. Kembali pada topik pernikahan; pernikahan dianggap sebagai satu ritual sakral yang diharapkan hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup manusia. Dan dengan dasar ke-sakral-an inilah seharusnya arsitek merencanakan gedung wedding chapel ini. Lalu bagaimanakah hasil dari rancangan ini menurut proses antitesis sebagai cara untuk mencapai attachment to place, berikut penjabarannya berdasarkan aspek-aspek antitesis:
    a. Kesejarahan dari asal usul ide dan entitas obyek secara common maupun pengguna – Keberadaan wedding chapel berawal dari sebuah kebutuhan terhadap pewadahan event sakral. Secara umum, sebuah chapel memiliki karakter tipologi yang dalam tertanam pada pemikiran masyarakat yakni atap yang meruncing, dan kehadiran altar serta adanya salib sebagai simbol kristus. Sehingga dengan menggunakan tipologi yang telah tertanam pada pemikiran masyarakat tersebut WATG memulai konsepnya. Hal ini ditujukan agar dalam penggunaannya, masyarakat menempatkan diri mereka dalam kesakralan sesuai dengan mindset mereka terhadap tipologi sebagai attachment to place.
    b. Konsep pemikiran (paradigma) pengguna terhadap obyek – Paradigma masyarakat terhadap sebuah wedding chapel adalah ketulusan, dimana ketulusan dianggap akan membawa pernikahan ke jenjang terbaik dan diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Dari paradigma ini, maka WATG menterjemahkannya dalam simbolisasi dalam konsep clean dan infinity. Dalam aplikasi perwujudannya, ditunjukkan melalui warna putih, bangunan minim ornamen dan juga dibuatnya bukaan berupa kaca besar yang menghadap ke laut sebagai simbolisasi infinity.

    BalasHapus
  12. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

    c. Kronologi interaksi pengguna terhadap obyek – Kronologi sakral dengan pemikiran penggunaan secara eksklusif, diterjemahkan dalam konsep sakral dan eksklusif. Aplikasinya dalam rancangan adalah penggunaan tipologi dengan skala kecil dan diposisikan sedikit menjorok ke laut untuk mendapatkan kesan eksklusif, selain itu juga dihadirkannya suasana elegan berupa konsep clean.
    d. Logika sebab akibat dari keberadaan obyek dengan pengguna – Dengan adanya paradigma dari masyarakat terhadap pernikahan yang sakral dan keinginan terhadap yang eksklusif, maka diterjemahkan dalam konsep sakral dan eksklusif. Aplikasinya dalam rancangan adalah penggunaan tipologi dengan skala kecil dan diposisikan sedikit menjorok ke laut untuk mendapatkan kesan eksklusif, selain itu juga dihadirkannya suasana elegan berupa konsep clean.
    e. Fakta yang ada pada fenomena kekinian – Fenomena modernism yang masih melekat di masyarakat diterjemahkan dalam konsep clean, dan didukung oleh pencitraan terhadap obyek bahwa obyek adalah bangunan sakral dengan menggunakan tipologi gereja. Pun begitu, tipologi yang digunakan hanya yang bersifat fundamental untuk menjaga konsistensi konsep clean, sehingga kaca patri yang sering dilihat pada gereja tidak dihadirkan di sini dan digantikan oleh pasangan mullion sebagai material pendukung dari bearing wall dari kaca.
    f. Norma yang berlaku pada lingkup pengguna – Norma religi pada bangunan ini dipertahankan dengan keberadaan altar dan salib yang mana merupakan dua hal fundamental bagi peribadatan, dalam kasus ini upacara pernikahan.

    Dari penjelasan aspek-aspek di atas, konsep yang terbentuk pada kenyataannya mampu memberikan rasa nyaman dan mengarahkan attachment to place bagi para pengguna bangunan. Pengguna dapat merasakan kesyahduan sebagaimana ketika melakukan upacara di gereja pada umumnya. Penggunaan tipologi di sini tidak serta merta dihadirkan tanpa adanya awareness terhadap kronologi dan fenomena kekinian. Sehingga muncullah konsep yang mengusung perbedaan terhadap tipologi murni dari sebuah gereja ataupun wedding chapel yang lain. Keberadaan perbedaan ini dalam antitesis merupakan sebuah kesuksesan sebagai akibat dari tidak terikatnya arsitektur semata-mata terhadap tipologi, namun menyesuaikan terhadap kondisi dan fakta yang ada. Sehingga dapat kita lihat disini bahwa awareness, kemampuan simbolisasi dan pengetahuan tipologi adalah kunci dalam penyusunan konsep.

    BalasHapus
  13. MUHAMMAD NURWAHYU-3212202001

    V. Kesimpulan Akhir
    - Dalam pembentukan sebuah attachment to place (sebagai positive theory dalam kacamata fenomenologi) dibutuhkan adanya awareness yang dapat dilakukan melalui proses antitesis sebagai normative theory dalam perancangan
    - Pengetahuan tipologi sangat berguna bagi pembentukan konsep sebuah arsitektur berwawasan attachment to place (sebagai bentuk kenyamanan), bukan untuk semata-mata diaplikasikan secara langsung, namun perlu untuk ditelusuri terlebih dahulu hal apa yang fundamental dalam tipologi tersebut
    - Wawasan estetika simbolik merupakan wawasan vital untuk menterjemahkan sebuah konsep dalam arsitektur, utamanya untuk memenuhi attachment to place
    - Dengan memperhatikan aspek-aspek dalam antitesis, maka konsep akan terbatasi sekaligus dikembangkan melalui awareness
    - Untuk mencetak sebuah attachment to place dibutuhkan adanya komunikasi antara arsitek dan pengguna. Dan jika pengguna merupakan entitas yang belum diketahui secara pasti (ex: pada wedding chapel) maka dapat digunakan persepsi secara common diikuti oleh pembentukan spesifikasi pengguna yang ditunjukkan oleh WATG melalui konsep eksklusif.
    - Sosok terbangun merupakan manifestasi dari seorang arsitek yang berkompromi dengan pengguna dalam hal attachment to place. Sehingga fungsi arsitek bukanlah penentu segala gerak pengguna, akan tetapi mengakomodir pengguna melalui pengetahuan dalam arsitektur seperti wawasan simbolik, wawasan tipologi, wawasan lingkungan dan wawasan wawasan lainnya
    - Attachment to place dapat menjadi sebuah tolok ukur kesuksesan hasil rancang bangun jika secara aware penyusunan konsepnya dilakukan

    Daftar Pustaka
    1. Bagus, Lorens (1996) Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
    2. Kaufmann, Walter Arnold (1996) Hegel: Reinterpretation, Texts, and Commentary, Weidenfeld & Nicolson, London
    3. Heidegger, Martin (2002), Dialektika Kesadaran, Perspektif Hegel, Ikon Teralitera, Yogyakarta
    4. Hollier, Dennis (1992), Against Architecture, The MIT Press, London
    5. Ellin, Nan (1995), Architecture of Fear, Princeton Architectural Press, New York
    6. Tuan, Yi Fu (1977)Space and Place: The Perspective of Experience, University of Minnesota Press, Mineapolis
    7. Kertas kerja Amiranti, Sri (2013) mata kuliah Arsitektur Perilaku 2
    8. http://www.bali-travel-life.com/conrad-bali-resort-and-spa.html
    9. http://portal.cbn.net.id/cbprtl/CyberWoman/detail.aspx?x=Home+And+Living&y=CyberWoman|0|0|2|146

    BalasHapus