Kamis, 24 Mei 2012

Untuk para mahasiswa S2 Perancangan Arsitektur ITS peserta MK Arsitektur Perilaku tahun ajaran 2012,
Anda semua secara perorangan diharapkan memberikan komentar dalam bentuk tulisan (disertai gambar-gambar pendukung) mengenai  isue-isue/ tema/ teori dalam arsitektur perilaku yang ada dalam daftar di bawah ini, dilengkapi dengan kasus-kasus lapangan/ pustaka (dengan gambarnya) yang bisa menunjang dan mempertajam pemahaman teoritis dari  isue-isue/tema/teori yang sudah anda pilih sendiri.
Anda dapat memilih salah satu dari daftar di bawah ini :

  1. behavior setting
  2. territoriality
  3. place attachment
  4. behavioral data collecting methods
  5. post occupancy evaluation

Saya tunggu komentar/tulisan anda sampai dengan hari Senin, tanggal 4 Juni 2012, sebagai partispasi anda dalam penyelesaian salah satu tugas MK Arsitektur Perilaku.


Sri Amiranti
Pemangku MK Perancangan Arsitektur
Bidang Studi Perancangan Arsitektur
Program S2 Arsitektur - ITS

24 komentar:

  1. saya Katerina akan memilih tentang place attachment.

    Pemahaman terhadap tempat, berakar dari kombinasi antara memori di masa lalu dan pengalaman di masa sekarang. Menurut Rotenberg (1993:17) dalam Kong & Yeoh (2000:7), dalam memahami arti sebuah tempat akan memerlukan suatu pemahaman tentang bagaimana orang menginterpretasikan tempat mereka atas dasar “pemahaman akan warisan masa lalu dan pengalaman di masa sekarang”.
    Gagasan tentang sistem tempat bagi manusia telah lama berkembang sejak manusia berkesadaran akan keberadaannya. Manusia memerlukan suatu sistem tempat-tempat tertentu ( Places ) yang berarti dan agak stabil untuk mengembangkan kehidupan dan budayanya. Kebutuhan itu timbul karena adanya kesadaran manusia terhadap suatu tempat yang lebih luas dari sekedar masalah fisik saja, tetapi juga masalah psikologisnya. Secara khusus manusia memperhatikan makna sebuat tempat dari segi
    tautan, citra dan estetika ( Zahnd, 1999:137).
    Pada dasarnya manusia akan memiliki ikatan kuat secara emosional terhadap suatu tempat apabila anatara manusia dan tempat tersebut terdapat pengalaman ataupun interaksi yang kuat sehingga tempat tersebut akan memiliki arti atau makna bagi manusia. Jika tidak ada pengalaman maka tidak akan ada suatu tempat/ruang. Pengalaman bisa dirasakan secara langsung yaitu dengan fisik merasakan tempat tersebut, atau secara tidak langsung, misalnya mendengar cerita dari orang lain.
    Low (1992:165) menuliskan: “Place attachment” adalah hubungan simbolis yang dibentuk oleh seseorang yang secara kultural memberikan pengertian emosional kepada suatu ruang lahan yang menjadi basis seseorang atau sekelompok orang dalam memahami hubungannya dengan lingkungan. Dengan begitu, place attachment lebih dari sekedar suatu emosional dan pengalaman teori, dan meliputi kepercayaan budaya dan praktek yang menghubungkan seseorang dengan suatu tempat.”
    Place attachment terbagi dalam dua dimensi, yaitu: ketergantungan terhadap tempat (place dependence) yaitu nilai suatu tempat untuk atribut yang terkait dengan aktivitas di dalamnya, suatu pengaturan untuk tindakan; dan identitas tempat (place identity) yaitu ikatan emosional terhadap tempat sebagai wujud identitas diri.

    BalasHapus
  2. Katerina
    THEORY PLACE OF ATTACHMENT :
    Pada awalnya place attachment dimulai oleh sarjana fenomenologis pada sekitar dekade 1970. Diskusi komprehensif tentang place attachment ini dimasukkan dalam ‘place attachment ' Perilaku Manusia dan Lingkungan, diedit oleh Irwin Altman dan Setha M. Diterbitkan pada tahun 1992, yang tampaknya menjadi dasar teori konseptual untuk penelitian berikutnya. Dalam buku itu, mereka menulis:

    “Place attachment has many inseparable, integral, and mutually defining features, qualities, or properties; it is not composed of separate or independent parts, components, dimensions or factors. This view is compatible with transactional perspectives, contextualist orientations, phenomenological approaches, and other holistic philosophical views.”

    Kalimat di atas secara jelas menginformasikan bahwa penyelidikan place attachment lebih disukai di bawah perspektif konstruktivisme sosial yang merupakan payung penelitian kualitatif. Setelah itu, Marino Bonaiuto dkk (1999) dan Carmen Hidalgo & Bernando Hernandez (2001) beberapa nama ini memberikan kontribusi terhadap teori perkembangan dari keterikatan tempat (place attachment).

    Attach to Place dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor yang mempengaruhi proses (Shumaker & Taylor,1983 ; Amiranti, 2002) yakni kesesuaian antara needs dengan goals individu dengan setting fisiknya, pilihan untuk tetap tinggal atau pergi, mobilitas rendah, jaringan sosial & setting fisik yang ada, jangka waktu bertempat tinggal di suatu tempat. Faktor lainnya menurut Manor & Mesch dalam Amiranti (2002) adalah faktor Facilitate the development of place yang diantaranya adalah ekonomis dan social invesment.

    BalasHapus
  3. Katerina
    Untuk contoh studi kasus saya mencoba mengambil tempat yang tidak jauh dari pemukiman ITS dan yang pernah saya jumpai, berada di kawasan pertigaan antara jl. gebang putih dengan jl.kertajaya indah timur dimana pada hari sabtu malam di sepanjang jalan kawasan itu disulap menjadi pasar malam atau mungkin bisa disebut juga pasar tumpah. Disana muncul tenda-tenda kecil serta tempat lesehan untuk berjualan, dimana barang-barang yang dijual seperti barang elektronik, pakaian untuk pria dan wanita, aksesoris, peralatan rumah tangga, dan sejenisnya. Tidak hanya itu saja, tetapi di pasar malam itu juga terdapat mesin bermain untuk anak-anak kemudian juga banyak pedagang makanan ikut meramaikan suasana pasar malam tersebut. Selain di kawasan Gebang, fenomena pasar malam itu juga dapat ditemui di daerah perbatasan Keputih dan Pakuwon city Laguna Indah. Memang kebanyakan pengunjungnya adalah masyarakat menengah ke bawah. Fenomena pasar malam bisa dikatakan muncul karena keinginan masyarakat yang rindu dengan suasana kehidupan pasar di jaman mereka dahulu sebab keberadaan pasar yang sekarang ini sudah sangat berbeda dengan yang dahulu. Fasilitas hiburan bagi rakyat yang makin langka serta harga barang yang semakin tinggi membuat masyarakat menengah ke bawah ini mulai merasa jenuh dan menginginkan kembali masa dimana mereka pernah mempunyai pengalaman yang tidak sama dengan situasi jaman sekarang. Untuk itu mereka mulai menghadirkan kenangan itu salah satunya dengan membuat pasar malam sehingga kebudayaan masyarakat Indonesia yang suka berkumpul dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dapat terasa kembali baik bagi mereka pribadi maupun anak cucu mereka. Meskipun tempat yang dijadikan pasar malam itu menggunakan jalan umum, merekapun juga sepertinya tidak peduli akan hal itu. Mereka hanya bertujuan ingin menghadirkan dan membawa suasana kebersamaan kembali diantara masyarakat sekitar.

    DAFTAR PUSTAKA

    Altman, I. and Low, S.M. (Eds). (1992). Place Attachment. Human Behavior and Environment . Volume 12. New York. Plenum Press. 01-12.
    Butudoka, Zubair. 2005. Majalah ilmiah mektek “PLACE ATTACHMENT” PEMUKIM PASCARELOKASI DI KOTA PALU
    Kusuma, H.E (2005). Working Base and Place Attachment
    en.wikipedia.org/wiki/Attachment_theory
    uspace.shef.ac.uk/docs/DOC-51936

    BalasHapus
  4. Saya M.Abram, dan saya memilih Place Attachment sebagai topik.

    PLACE ATTACHMENT
    Sebelum kita menginjak tentang place attachment, maka kita perlu melihat apa definis dari place itu sendiri “Space has been seen in distinction to place as a ‘realm without meaning’, but when people invest meaning in a portion of space and then become attached to it in some way it becomes a ‘place’. Hence, place is not just a thing in the world but a way of understanding the world (Cresswell, 2004)” jadi place memiliki kesamaan dengan space, yang mana keduanya tidak berarti apap-apa sampa seseorang memberikan suatu makna pada space, yang setelah diberi makna maka akan menjadi suatu place. Sehingga dalam suatu “place” memiliki makna yang telah dibentuk oleh orang-orang penghuninya, dan setelah memiliki suatu makna maka akan tercipta suatu aktivitas didalamnya yang akan memperdalam makna dari suatu place tersebut.
    Place attachment atau attachment to place “ asosiasi afektif positif antara individu dengan lingkungan kediamannya (shumaker & Tylor : 1982)” selain itu terdapat beberapa definisi lain yakni, asosiasi yang menciptakan rasa nyaman dan aman (rivlin:1982). Place attachment adalah suatu kondsisi keterikatan antara manusia dengan lingkungan tempat tinggalnya, hubungan yang terbentuk antara manusia dengan kondisi lingkungan sekitarnya, yang membuat mereka betah dan sangat menyenangi suatu kondisi lingkungan, kondisi ini banyak sekali dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti ekonomi, sosial, dimana kedua faktor tersebut sedikit banyak mempengaruhi keputusan sesorang untuk tetap memilih tinggal disuatu tempat tertentu dan begitu juga untuk memutuskan pindah dari suatu tempat menuju tempat tertentu seperti hasil penelitian berikut “58% of movers claimed that economic reasonsal one accounted fortheir decisions. Others have analyzed the observed patterns of geographic mobility” (Lansing & Mueller : 1967).selain itu faktor sosial yakni lingkungan dan manusia human resources atau natural resources yang sudah benar-benar melekat satu sama lain, akan membuat rasa keterikatan antara manusia dengan suatu tempat menjadi lebih kuat, serta setiap manusia ataupun sekelompok manusia memiliki suatu preferensi atau kecenderungan untuk tinggal terhadap suatu kondisi tertentu, “ One commonly cited reason for why we do not see greater geographic mobility is that people have strong preferences for staying near to family and friends” .(Dahl & Sorenson :2009). Selain itu place attachment memiliki suatu fungsi positif yakni, memperkuat “membership” dalam organisasi sosial, dan mempertahankan kebanggaan dan semangat komunitas.

    BalasHapus
  5. M.Abram
    STUDI KASUS


    Untuk studi kasus saya mengambil kasus relokasi korban lumpur yang menilak direlokasi ditempat relokasi yang dipilhakan, namun lebih memilih relokasi ditempat yang mereka pilih sendiri dengan alasan tertentu,(untuk gambar akan ditampilkan di hard copy)

    Terdapat beberapa kasus mengenai bagaimana place attachment telah terbentuk dalam suatu komunitas, yakni seperti pada kasus korban relokasi lumpur lapindo yang ada diSidoarjo. Yakni warga renokenongo yang menolak ditempatkan disuatu tempat relokasi baru di perumahan KNV (kahuripan Nirvana) yang lebih bagus dan modern dari lingkungan dan rumah mereka yang telah terrendam lumpur dan terletak dipusat kota. Namun mereka lebih memilih untuk melakukan relokasi mandiri namun tetap dengan orang-orang yang sama. mereka ingin dikumpulkan dalam satu lokasi relokasi didesa, mereka memilih dusun kedung kampil desa kedung solo,Krembung Sidoarjo, daripada tinggal dengan lingkungan baru yang semuanya baru, termasuk warganya, meskipun lokasinya ditengah kota dan lebih modern. Meskipun rumah diarea relokasi mandiri mereka memiliki ukuran yang lebih kecil, dan terpencil dipelosok desa, namun mereka merasa lebih nyaman dan bahgia hidup dengan cara “desa” dan tidak terbiasa dengan kehidupan perkotaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa place attachment yang sudah terbentuk cukup kuat yang akan mempengaruhi preferensi mereka dalam berhuni dan bersosialisasi, namun sebagian dari mereka menolaknya, padahal jika dibandingkan dengan lokasi dan desain serta estetika dari rumah KNV dengan rumah relokasi mandiri mereka sangat jauh berbeda, hal tersebut yang disebut dengan place attachment yang sudah terbentuk dan membentuk suatu pola aktivitas. Selain memiliki kelebihan seperti yang telah dijelaskan diatas, place attachment juga memiliki kekurangan, berdasarkan pemikiran berikut ini “...This means that some young people either do not seek, or choose to ignore, some opportunities that are open to them. Hence, strictly in terms of access to education, training and employment opportunities, attachment to place can be a source of weakness...” (Anne E Green and Richard J White : 2007),Jadi keterikatan sesorang atau sekelompok masyarakat bisa mengakibatkan keterikatan mereka akan suatu tempat, dan menolak akan adanya kesempatan ditempat lain yang berakibat susahnya masyarakat tersebut untuk berkembang.

    REFRENSI:
    - White J Richard and E. Anne, (2007), Attachment to Place Social networks, mobility and Prospects of young people, Joseph Rowntree Foundation, York.
    -Dahl S.Michael & Sorenson Olav, (2009), The
    Social Attachmnet to Place, Canada.
    -Cresswell, T. (2004) Place: A Short
    Introduction. Oxford: Blackwell
    -Lansing,JohnBandEvaMueller.1967.
    TheGeographicMobilityofLabor .AnnArbor,MI:
    InstituteforSocialResearch.
    - http://foto.detik.com
    - http://rumahdijual.com
    - http://matanews.com

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tugas 2 Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
      Nama: Yusuf Ariyanto
      NRP: 3211207901
      Topik bahasan: Behavior Setting
      Arsitektur merupakan sebuah seni yang menyangkut berbagai aspek, kombinasi dari ekspresi, teknologi dan perasaan/respon dari manusia terhadap kebutuhannya. Tujuan arsitektur tersebut adalah untuk menciptakan tempat dimana mnusia dapat dimanusiakan (berperasaan sebagai manusia), lebih hidup dan lebih bermakna. Gary T. Moore (1979). Demikianlah behavior setting dalam arsitektur dimaknai sebagai tempat (wadah secara fisik) yang berperan mempengaruhi perilaku dari manusia sebagai titik tolak utama dan menjadi nilai tambah dalam sebuah karya arsitektur jikalau behavior (pelaku) dipertimbangkan dalam desain arsitekturnya. Sama halnya dengan konsep behavior setting yang diungkapkan oleh Roger Baker, (1968, dalam Lang, 1987) bahwa behavior setting merupakan ruang-ruang (baik dirancang/tidak) yang dikenali oleh penggunanya yang sesuai dengan suatu jenis aktifitas tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa behavior setting ini adalah sebuah proses yang dialami oleh seorang/sekelompok orang dan responnya terhadap arsitektur yang timbul dari sebuah kebiasaan yang menjelaskan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya (Behavior Sub-system). Lebih dalam lagi konsep behavior setting ini yang diungkapkan oleh Craik, (1972) bahwa behavior setting tidak hanya berhenti pada hubungan manusia dengan lingkungannya namun memiliki pengaruh yang lebih terhadap kebiasaan tetap dari sekelompok manusia yang berperilaku didalamnya (sistem perilaku/program perilaku), waktu, dan setting fisiknya. Tentunya behavior setting ini dapat dievaluasi setelah terciptanya kenyamanan secara fisik /teori normatif terpenuhi dan dapat diprediksi melalui analisa pasca huni obyek rancang atau dengan menganalisa obyek rancang serupa yang dikombinasikan dengan evaluasi terhadap perilaku manusia yang ada ditempat dimana obyek arsitektur tersebut akan berdiri. Selain itu definisi lain yang disebutkan oleh Gary T. Moore (1979) Environment-behavior, It is a view of design and of the environment which places and values, needs and preferences of users at the forefront of design process. It is a philosophy of design which has as its goal the satisfaction of human needs and the elimination of environtmentally induced stress. And it is founded on the belief that good design and great buildings are always ultimately judged by how conducive they are to a human existence which is alive, more human, more capable and free.

      Hapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Studi Kasus Topik: Stasiun Semut Surabaya
      Pada tahun 2002 stasiun semut tersebut mengalami suatu perevitalisasian dan hingga sampai sekarang perevitalisasian tersebut tidak kunjung ada bentuknya. Perombakan maupun pemindahan tersebut terjadi bukan tidak terdapat masalah, justru terdapat permasalahan yang mengiringinya terutama dari segi perilaku masyarakat sekitar yang mempengaruhinya.
      Kita dapat menganalisa dengan seksama bahwa dengan pemindahan pun tidak menyelesaikan permasalahan, justru terlihat semakin tidak jelas saja identitas stasiun tersebut baik dari segi pencapaian, fungsi dan keberadaan stasiun semut itu sendiri, bahkan diperparah dengan tidak terawatnya gedung lama atau dapat dikatakan gedung mangkrak. Sementara ini terlihat stasiun tersebut tidak menjadi bagian dari sebuah public space, yang seharusnya sebuah stasiun itu merupakan bangunan yang menampung banyak aktifitas (jumlah orang) untuk akan menuju suatu tempat dengan kereta, namun terlihat kondisi gedung yang tidak jelas pintu masuknya, fisik gedungnya dan fungsinya karena ternyata hanya terlihat gedung Indo-Plaza dengan sisi-sisinya adalah ruko dan rukan. Disini ternyata perilaku manusia mempengaruhi keberadaan suatu tempat/arsitektur . Seperti yang diungkapkan Roger Baker, (1968, dalam Lang, 1987) bahwa behavior setting merupakan ruang-ruang (baik dirancang/tidak) yang dikenali oleh penggunanya yang sesuai dengan suatu jenis aktifitas tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa behavior setting ini adalah sebuah proses yang dialami oleh seorang/sekelompok orang dan responnya terhadap arsitektur yang timbul dari sebuah kebiasaan yang menjelaskan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya (Behavior Sub-system). Dapat dianalisa melalui perkembangan zaman dan dipengaruhi oleh jenis aktifitas yang ada di tempat tersebut dapat merubah arsitektur, indikator perbedaan warna tersebut menunjukkan bahwa ketidakcocokan terhadap behavior setting sehingga terjadi permasalahan-permasalahan yang menyebabkan perubahan fungsi, esensi maupun hal lain dalam segi arsitekturnya. Lalu bagaimanakah untuk selanjutnya? Maka sebagai seorang arsitek harus mampu memprediksi behavior setting, setting fisik yang berkaitan dengan waktu dan jenis aktifitas disuatu tempat

      Daftar pustaka

      Andriyanto, D.,2009, Cagar Budaya Stasiun Semut, Perpus UNAIR, Laporan Skripsi.
      http://www.centroone.com/news
      http://sydney.edu.au/architecture/documents/staff/garymoore/28.pdf
      http://sydney.edu.au/architecture/documents/staff/garymoore/29.PDF
      Materi Kuliah Arsitektur Perilaku oleh: Ir. Sri Amiranti, MT. Tahun 2012
      Survei Lapangan (Stasiun Semut Surabaya, JL. Stasiun Kota)

      Hapus
  8. Tugas 2 Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Satya Wahyuputra Santosa
    NRP: 3211207008
    Topik bahasan: Territoriality

    Teori Territoriality oleh Porteous 1977

    Dalam sebuah karya arsitektural, sudah pasti kita akan menemui berbagai macam jenis gaya, estetika, fungsi dan bentuk.
    Sebuah desain arsitektur sebuah kontrol khusus dapat diberikan pada perilaku manusia,seperti halnya kontrol khusus terhadap ruang oleh individu atau kelompok – kelompok manusia yang bersifat interspesifik, melibatkan agreasi dan memberikan hak – hak pada individu atau kelompok tersebut terhadap ruang yang bersangkutan.
    Territoriality ini sendiri memiliki beberapa fungsi yaitu :
    - Mekanisme untuk mengatur keberlangsungan sebuah grup
    - Memberikan keamanan, stimulasi dan identitas yang dimana adalah dasar untuk sebuah aktualisasi diri, integritas individu dan keberlangsungan hidup
    - Memberikan sebuah gambaran pada lingkungan sekitarnya

    Beberapa Teori tentang Territoriality oleh Rajiv C. Shah, Jay P. Kesan

    Territoriality menentukan bagaimana orang mengontrol sebuah ruang tertentu. Hal ini dapat terjadi melalui beberapa cara (simbol), seperti kalender pinup di ruang kerja pria, penggunaan barrier formal seperti pintu pagar, dan pagar. Salah satu contoh penggunaan Territoriality yang digunakan sejak lama untuk mengurangi kriminalitas.
    Oscar Newman, berargumen bahwa salah satu alasan mengapa ada kriminalitas di permukiman adalah karena penghuninya tidak dapat mengekspresikan area Territoriality-nya dan mempertahankannya. Newman berargumen bahwa bangunan seharusnya didesain menggunakan “defensible space” untuk mengurangi gangguan luar dan meningkatkan pengawasan serta mengurangi rute untuk melarikan diri.(1972)

    Teori Territoriality berhubungan dengan kedisiplinan oleh Rajiv C. Shah, Jay P. Kesan

    Desain bangunan juga dapat membuat interaksi sosial dengan secara efektif mendominasi dan mengendalikan orang. Sebagai contoh adalah penjara, penjara dibangun dengan tujuan untuk menggunakan berbagai teknik pengawasan, pemisahan, dan klasifikasi. Teknik – teknik ini memungkinkan untuk memberikan pengaruh mengontrol pada narapidana sehingga mereka terawasi dan mengurungkan niat buruk mereka, sehingga dapat mendisiplinkan mereka. Penggunaan bangunan untuk membuat perilaku disiplin digunakan dalam berbagai banguna, tidak hanya penjara, namun seperti rumah sakit, sekolah, pusat perbelanjaan, dan taman hiburan pun memiliki paksaan untuk membuat pengguna bangunan bersikap disiplin.

    BalasHapus
  9. Tugas 2 Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Satya Wahyuputra Santosa
    NRP: 3211207008
    Studi Kasus

    Bandara Udara Juanda

    Bandara udara Juanda adalah salah satu contoh dimana Territoriality sangat mempengaruhi pengguna bangunan, terutama dalam pengaruh kedisiplinan pengguna bangunan. Seperti yang kita ketahui saat ini, Bandara adalah fasilitas umum yang sangat dijaga dan memiliki sistem keamanan yang tinggi, setiap gerak – gerik manusia terekam begitu juga dengan barang bawaan mereka.
    Disini jelas sekali dapat dilihat bahwa kedisiplinan yang diberikan oleh bangunan Bandara ini memberikan dampak bagi penggunanya, mulai dari area antrean memasuki Bandara, area screening baggage dan penjagaan ketat oleh aparat keamanan.
    Bandara Juanda ini memiliki area yang luas, dimana di setiap area memiliki kamera pengawas, selain itu untuk keamanan terdapat banyak petugas keamanan yang berjaga – jaga dan berpatroli setiap saat.
    Faktor – faktor ini yang memberikan dampak pada pengguna bangunan untuk tidak melakukan tindakan kriminal ataupun tindakan bebas seperti di rumah para pengguna bangunan.
    Dari sini tercipta suatu perilaku yang menaati peraturan penerbangan maupun peraturan standar untuk bepergian dengan pesawat terbang.
    Karena jika seseorang yang akan terbang dengan pesawat tidak dapat/gagal/tidak mampu berperilaku disiplin seperti apa yang telah didesain untuk sebuah bandara maka seseorang tersebut tidak dapat bepergian.
    Oleh sebab itu Bandara Udara Juanda dinilai mampu dalam mengubah pola pikir dan perilaku pengguna bangunan.

    Daftar Pustaka :

    Porteous, Douglas J, 1977, Environment & Behavior, Planning and Everyday Urban
    Life, Addison- Wesley Publishing Co, California.
    Shah, R. C., & Kesan, J. P. (2007) How Architecture Regulates. Journal of Architectural and Planning Research, University of Illinois-Chicago
    Materi Kuliah Arsitektur Perilaku oleh: Ir. Sri Amiranti, MT. Tahun 2012

    BalasHapus
  10. Tugas 2 Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Mefita
    NRP: 3211207902
    Topik bahasan: Behavior Setting

    Bidang arsitektur merupakan bidang yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan klien atau pengguna terutama dalam segi perilaku. Suatu bangunan dalam bidang arsitektur dirancang sedemikian rupa sehingga memperhatikan dampak perilaku (behavior) yang akan didapat oleh pengguna. Dampak perilaku tersebut dapat berupa perilaku yang nampak secara langsung (overt) maupun secara tidak langsung (covert). Manusia sebagai pengguna arsitektur memiliki kecenderungan membentuk suatu pola dalam berperilaku tetap yang berlangsung di dalam suatu setting fisik tertentu. Hal ini disebut dengan behavioural setting. Menurut Roger Baker (1968) behavior setting dapat timbul jika terdapat ruang-ruang (baik dirancang atau tidak) yang dikenali oleh pengguna sebagai “sesuai” untuk jenis aktivitas tertentu. Menurut Amirati (2004, adaptasi dari Barker), suatu behavior setting merupakan kombinasi stabil dari aktivitas dan tempat (place) yang terdiri dari:
    1.Suatu aktivitas berulang (pola perilaku tetap)
    2.Suatu lay-out lingkungann tertentu (the milieu)
    3.Suatu hubungan harmonis antara perilaku dengan lingkungan (synomorphy)
    4.Suatu periode waktu tertentu.

    Dari adanya unsur-unsur behavioural setting tersebut berarti dapat diindikasikan bahwa setting fisik yang sama mungkin menjadi bagian dari lebih dari satu behavior setting bila pola perilaku tetap yang berbeda berlangsung di dalamnya pada waktu-waktu berbeda. Pemilihan behavior setting tertentu selain ditentukan oleh adanya kebutuhan (need yang timbul dari adanya motivasi atau memori yang sering dikenal dengan schemata dari subsistem perilaku) juga ditentukan oleh adanya penghargaan dan biaya untuk memasuki behavior setting tersebut.

    BalasHapus
  11. Tugas 2 Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Mefita
    NRP: 3211207902
    Topik bahasan: Behavior Setting

    Pasar Wonokromo

    Studi kasus yang mencerminkan behavior setting adalah pasar Wonokromo. Pasar Wonokromo merupakan salah satu revitalisasi pasar di Surabaya. Awalnya Pasar Wonokromo hanya merupakan pasar tradisional saja tetapi saat ini terdapat penggabungan antara pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional yang didesain dengan konsep modern.
    Keberadaan pasar sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat akan membentuk suatu pola perilaku yang dilakukan setiap hari untuk datang berbelanja di pasar dan pasar menjadi suatu lay-out lingkungan (the milieu). Pasar merupakan suatu lingkung bina yang tercipta dalam masyarakat yang pada akhirnya membentuk setting fisik. Masyarakat akan membentuk suatu hubungan yang harmonis antara perilaku dengan lingkungannya (synomorphy). Hal ini tercermin dari adanya interaksi yang melibatkan tiap individu pengguna pasar untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya agar kebutuhan (need) pengguna pasar dapat tercapai.
    Pada pasar tradisional, aspek pemenuhan kebutuhan (need) dapat dicapai oleh pengguna pasar tetapi di sisi lain sering timbul permasalahan kebersihan. Salah satunya adalah Pasar Wonokromo. Pasar tradisional sering tidak dianggap dapat memenuhi aspek pelayanan yang baik sehingga kurang memberikan penghargaan (reward) bagi pengunjung. Sedangkan di dalam suatu behavior setting sangat ditentukan oleh adanya reward atau suatu biaya untuk memasuki suatu behavior setting pada pasar sekarang ini. Seiring perkembangan jaman yang mementingkan kebersihan, pasar di-setting agar sesuai dengan standart kenyamanan masyarakat modern. Masyarakat modern lebih memilih berbelanja di pasar-pasar modern dengan berbagai pertimbangan, seperti kenyamanan, kebersihan, kualitas barang, sampai alasan demi gengsi. Akan tetapi, keberadaan pasar tradisional tidak mungkin ditiadakan karena sebagian besar masyarakat masih berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, sehingga tidak memiliki daya beli yang cukup besar untuk terus-menerus berbelanja di pasar-pasar modern. Oleh karena itu pasar Wonokromo sebagai pasar tradisional mengalami revitalisasi untuk mencapai standart kebersihan tersebut dengan mengubah pasar tradisional dengan konsep modern.

    Daftar Pustaka
    Legowo, Martinus. 2007. Jurnal ilmiah “Pedagang dan Revitalisasi Pasar di Surabaya”. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Surabaya
    Materi Kuliah Arsitektur Perilaku oleh: Ir. Sri Amiranti, MT. Tahun 2012

    BalasHapus
  12. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Safina Sofia
    NRP: 3211207004
    Topik bahasan: Territoriality

    Beberapa hal yang dapat berkontribusi dalam memberikan kenyamanan bagi pengguna bangunan, diantaranya adalah privasi, territorial, dan ruang personal (personal space). Desainer atau arsitek terkadang tidak peka dengan adanya perilaku dari klien sehingga faktor-faktor tersebut terlewatkan dan tidak muncul pada sebuah hasil desain. Disini ilmu yang mempelajari mengenai perilaku bertujuan untuk menginformasikan bahwa dalam suatu lingkungan suatu perilaku penting untuk digunakan sebagai pertimbangan.

    Territorial behavior is a self-other boundary regulation mechanism that involves personalization of on marking place or object and communication that it is owned by person or group (Altman 1975 dalam Lang 1987). Perilaku teritorial adalah mekanisme peraturan batas-diri lain yang melibatkan personalisasi di tempat penandaan atau objek dan komunikasi yang dimiliki oleh orang atau kelompok.
    Pengertian tersebut memberikan kesimpulan dari karakteristik sebuah teritori diantaranya adalah :
    1.Adanya kepemilikan atau hak dari suatu tempat
    2.Menandai wilayah dari seseorang
    3.Hak untul menolak intrusi
    4.Memenuhi beberapa fungsi seperti kebutuhan dasar dari psikologikal, kepuasan kognitif, dan kebutuhan estetika

    Merancang tata ruang lingkungan dengan mempertimbangkan control dari teritori sangatlah penting karena memenuhi kebutuhan dari manusia (human needs) yaitu kebutuhan dalam identitas (Identity) yang berarti sebuah kebutuhan untuk mengetahui siapa dan apa perannya dalam kehidupan sosial, kebutuhan dalam dorongan (stimulation) yang berarti mempertimbangkan kebutuhan diri dan aktualisasi diri, dan kebutuhan akan keamanan, dimana dapat diartikan dalam berbagai definisi seperti menghindari serangan dari luar, tebebas dari kecaman, dan mempengaruhi kepercayaan diri. El-Sharkawy (1979) menambahkan satu poin lagi yaitu A frame reference, yang dalam hal ini berarti mengatur hubungan lingkungan satu dengan lainnya.

    Teritori menjadi pertimbangan penting dalam mendesain karena dalam wilayah tesebut manusia menunjukkan keinginannya untuk mengatur kebutuhan dan perilakunya dalam sebuah ruang personal. Ada 4 tipe teritori menurut El Sharkawy 1979:
    1.Attached : adalah space bubble dari tiap personal
    2.Central: adalah sedikit lebih besar dari attached akan tetapi masuk dalam wilayah area privat seperti contohnya satu rumah, sebuah meja kerja, atau ruang murid
    3.Supporting : atau disebut juga area semi privat maupun semupublik dimana merupakan area seperti asrama, kolam renang pada sebuah hunian runah tinggal.
    4.Peripheral atau area publik merupakan area yang dapat digunakan baik itu untuk individu maupun kelompok akan tetapi tidak dapat diklaim sebagai wilayah mereka.

    Penataan lingkungan berdsarkan tipe-tipe teritori tersebut secara langsung dapat dirasakan oleh perseorangan dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut. Akan tetapi dampak dari teritori itu sendiri bergantung kepada budaya lokal. Dalam rumah tinggal, seseorang akan menandai batas wilayah menggunakan hal-hak yang bersifat fisik, seperti tanaman atau pagar. Menurut Oscar Newman (1972), adanya hirarki atau gradiasi teritori dalam sebuah rumah tinggal dapat memabantu dalam memberikan kesejahteraan dan rasa aman. Akan tetapi pada tipe bangunan seperti aapartemen atau asrama mahasiswa memiliki tingkat teritori yang berbeda dibandingkan dengan hunian rumah tinggal. Bercampurnya area semi publik dan privat mengaburkan batasan-batasan teritori tersebut.

    BalasHapus
  13. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Safina Sofia
    NRP: 3211207004
    Studi Kasus : Rumah tradisional Tanean Lanjang di Madura

    Seiring dengan perkembangan jaman, perbedaan pemaknaan ruang bagi masyrakat mengalami perubahan. Rumah tradisional seperti Tanean lanjang pada masyarakat Madura, dimana penciptaan ruang sangat dipengaruhi oleh pola berpikir masyarakat lokal, dan pembagian ruangnya memiliki makna yang lebih dalam dibandingkan dengan hanya memenuhi secara fungsional.

    Susunan rumah didasarkan pada hirarki dalam keluarga, “Barat-timur adalah arah yang menunjukkan urutan tua-muda”, “ Di ujung barat terletak langgar. Pada dasarnya rumah yang berjajar dari barat-timur muncul karena keharusan seorang keluarga untuk mendirikan rumah bagi anak perempuan mereka, dari penataan tersebut kemudian muncul teritori yang terbagi menjadi beberapa tipe, attached dimana muncul sebagai “bubble space” dari tiap-tiap orang, sedangkan tipe central berupa area rumah yang ditata berdasarkan hirarki keluarga, rumah orang tua, rumah anak-anak, dll. Ruang utama pada tatanan rumah tanean lanjang tidak memiliki cahaya, dari bagian depan dan belakang tertutup sehingga mengakibatkan area rumah menjadi gelap. Mereka menggunakan batasan-batasan fisik tersebut untuk menandai teritori mereka, dimana rumah yang dimanfaatkan sebagai wadah untuk aktifitas tidur bagi anak perempuan dan anak-anak sangat privasi sehingga dibuat gelap tanpa ada cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Batas-batas fisik tersebut juga memenuhi identity needs, dimana perempuan disana sangat dilindungi dalam sosial masyarakat Madura.

    Supporting teritorial dalam skala rumah tanean lanjeng terdapat pada area langgar yang berada di ujung barat. Disini diatur juga ruang yang digunakan untuk tamu yang datang dibedakan berdasarkan gender. Ruang bagi tamu wanita terdapat di teras rumah tinggal, sedangkan tamu laki-laki terdapat di langgar. “Denah ruang memperlihatkan perbedaan berdasar konsep dualism, ruang laki-laki adalah kebalikan dari ruang perempuan, laki-laki yang serba terbuka, terang dan bebas” (Tulystiantoro 2005).Ruang utama yang terdapat ditengah-tengah pemukiman disebut sebagai Tanean, ruang tersebut merupakan tempat sosialisasi antar anggota keluarga, dan melakukan kegitan sehari-hari. Tanean merupakan sarana untuk menyatukan keluarga. “Untuk memasuki tanean harus melalui pintu yang tersedia. Apabila memasuki tanean tanpa melewati pintu maka akan dianggap tidak sopan. Orang luar, khususnya laki-laki, akan berada di luar tanean apabila tanean tersebut tidak ada laki-laki” (Tulystiantoro 2005)

    Dalam skala tiap-tiap keluarga pada pemukiman satu desa, batas-batas rumahnya tampak dalam sumbu imajiner barat-timur yang memisahakan antara kelompok rumah dan ruang luar, yang kemudian diakhiri dengan Langgar sebagai akhiran. Budaya yang memperngauhi teritori dalam hiraki ruang mengelompokan masyarakat Madura sebagai masyarakat primordial lading. “Ciri-ciri yang mendasari adalah masalah pembagian ruang, kedudukan perempuan, kekerabatan, sistem kemasyarakatan, serta posisi perkampungan terhadap lahan garapan.” (Tulystiantoro 2005)

    Daftar Pustaka :

    Lang, John.1987, Creating Architectural Theory, The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design
    Tulistyantoro, Lintu (2005)Makna Ruang Pada Tanean Lanjang di Madura Dimensi Interior, Vol.3, No.2
    Materi Kuliah Arsitektur Perilaku oleh: Ir. Sri Amiranti, MT. Tahun 2012

    BalasHapus
  14. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Dyah Kusuma wardhani
    NRP: 3211207003
    Topik bahasan: Territoriality

    1.1 Territoriality
    Landasan dari pembahasan teritorial ini adalah seperti yang dinyatakan oleh David Stea (1965) sebagai berikut :
    Teritory behavior is the desire both to possess and occupy portions of space.
    And when necessary to defend them against intrusion by other.
    Suatu perilaku teritori adalah keinginan baik untuk memiliki maupun untuk menempati suatu porsi ruang, dan apabila diperlukan akan mempertahankan terhadap penyusupan dari pihak lainnya. Space atau ruangan pada pernyataan di atas menunjuk pada ruangan dalam konteks perilaku ingkungan binaan yang dinyatakan dengan adanya batas fisik yang dibangun melingkupi suatu ruang ( terkadang dengan tujuan untuk membatasi gerak, pandangan atau suara ). Ruangan juga ditandai (sebagai batasan) oleh perilaku organisme yang diwadahinya.
    Karakter spatial behavior ruangan bisa sangat beragam namun ada satu kesamaan mendasar yang disebut ‘teritoriality’ (ke-teritorial-an).
    Teritory sebagai suatu konsep meliputi kajian hewan dan manusia. Konsep ini bermula dari pengamatan atas tingkah laku dunia binatang.
    The best way to learn the territory of invisible boundaries is to keep walking
    until somebody complain. Personal space refers to an area with invisible boundaries
    surrounding a person’s body into which intruders may not venture.
    Namun tentu saja terdapat perbedaan yang mendasar antara teritory binatang dan teritory manusia. Binatang memelihara teritorynya untuk kegiatan alamiah yaitu penanda wilayah buruannya, wilayah untuk membesarkan anaknya, dan mengontrol kemungkinan serangan dari binatang pemangsa lainnya. Dan itu jauh berbeda dengan manusia berakal yang mendudukkan teritory sebagai wilayah kekuasaan dan pemilikan, teritory merupakan organisasi informasi yang berkaitan dengan identitas kelompok.( sebagai contoh adalah pernyataan ‘apa yang kita punya’ dan ‘apa yang mereka punya’). Dalam terminologi perilaku maka hal diatas adalah apa yang disebut sebagai privacy manusia.
    Seperti yang dinyatakan oleh Edney (1976).Type dan derajat privacy tergantung pola perilaku dalam konteks budaya, dalam kepribadiannya serta aspirasi individu tersebut. Penggunaan dinding, screen, pembatas simbolik dan pembatas teritory nyata, juga jarak merupakan mekanisme untuk menunjukkan privacy dimana perancang lingkungan dapat mengontrol berbagai perubahan
    Konsep privacy, personal space dan teritorial memang terkait erat. Definisi privacy ditekankan pada adalah pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengkontrol daya visual, auditory, dan olfactory dalam berinteraksi dengan sesamanya.
    Amos Rapoport (1977) lebih jauh menyatakan sebagai kemampuan mengontrol interaksi dengan berbagai pilihan dan untuk mencapai kepuasan interaksi tersebut. Westin (1970) mngidentifikasikan privacy menjadi empat type yaitu :
    1. solitude, the state of being free from the observation of others
    suatu kondisi yang bebas dari pengamatan orang lain
    2. intimacy, the state of being with another person but free from the outside world.
    suatu keadaan bersama orang lain tetapi bebas dari dunia luar
    3. Anonymity,the state of being unknown even in crowd
    Suatu keadaan tidak dikenali bahkan dalam keramaian
    4. Reverse, the state in which a person employs psychological barriers to control
    unwanted intrusion.
    Suatu kondisi dimana seseorang menggunakan penghalang psikologikal untuk mengendalikan gangguan yang tidak diinginkan.
    Westin juga menyatakan empat kegunaan privacy yaitu :
    1. menampilkan personal otonomy
    2. mengandung the release of emotions
    3. menolong adanya self-evaluation
    4. membatasi serta memproteksi communications

    BalasHapus
  15. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  16. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Dyah Kusuma wardhani
    NRP: 3211207003
    Topik bahasan: Territoriality

    1.2. Ruang, Privacy, dan Teritori
    Kaitan privacy dengan teritorial adalah bahwa perlakuan untuk memperoleh privacy yang diterangkan diatas ( membuat dinding, screen dsb) secara tidak langsung membentuk adanya penandaan teritory. Kembali pada persoalan binatang dan manusia lebih jauh malah dinyatakan bahwa faktor budaya memainkan peranan penting dalam penandaan teritory
    manusia yang membedakan dengan teritory pada dunia binatang.(David Stea,1965).
    Hal yang membedakan teritory binatang dan manusia adalah bahwa manusia masih bisa untuk melayani pendatang di wilayah teritorynya dengan beberapa pengecualian (karena adanya norma budaya yang mengatur), namun binatang sama sekali akan mengusir siapapun yang melanggar wilayah teritorynya.
    Teritory memiliki lima ciri sebagai penegas kehadirannya yaitu :
    1. Teritory memuat daerah ruang sebagai yang ditempati
    Antara lain dikemukakan oleh :
    • (Pastalan, 1970), A territory is a delimited space that a person or group uses and defends as an exclusive preserve.
    • (Robert Sommer, 1969), Territory is visible, stationary, tends to be home centered, regulating who will interact.
    2. Teritory dimiliki, dikuasai, atau dikendalikan oleh satu individu atau sekelompok manusia. Teritory memuaskan beberapa kebutuhan atau dorongan seperti status dsb.
    Teori ini antara lain dikemukakan oleh :
    • (Robert Sommer, 1966), A Territory is an area controlled by person, familiy or other face-to-face collectivity. Control is reflected in actual or potential possession rather than evidence of physical combat or agression – at least at the human level.
    Robert Sommer menekankan pengertian possession/ kepemilikan ( sama seperti teori David Stea) terhadap pengertian territori – Kepemilikan lebih dipentingkan dibanding keinginan untuk mempertahankan wilayah terhadap serangan (meskipun ini juga tidak secara langsung menjadi ciri territory)
    • (Goffman,1963), Territories are areas controlled on the basis of ownership and exclusiveness of use – i.e.’This is Mine’ or ‘You keep off’
    Goffman memandang dari sudut kegunaan konsep territori dalam aktualisasi diri dan simbol status (exclusiveness) disamping juga menegaskan kepemilikan (ownership)
    • (Altman and Haytorn,1967), Territoriality involves in mutually exclusive use of areas and object by person or group.
    Altman dan Haytorn menunjukkan bahwa dalam territori terjadi hubungan yang mutual antara dalam penggunaan area/tempat dan benda sekitarnya oleh person ataupun kelompok. Exclusive use secara tersirat merupakan penegasan terhadap pemenuhan kebutuhan penunjukan status.
    3. Teritory ditandai secara nyata atau secara simbolik
    • ( Pastalan, 1970 ), Territory involves psychological identification with a place,
    symbolized by attitudes of possessivenes and arrangements of objects in the area.
    • ( Robert Sommer,1969),Territorial are geographical areas that are personalized
    or marked in some way
    4. Teritory punya unsur kepemilikan yang cenderung harus dipertahankan atau setidaknya lantas timbul perasaan tidak nyaman bila teritorynya terlanggar oleh orang lain.
    • ( Sommer and Becker,1969), …Territorial are defended from encroachment.
    • (Lyman and Scott,1967), Territorialy involves the attempt to control
    space.Encroachment can take the form of violation, invasion, or contamination
    and defensive reaction can involve turf defense, insulation or linguistic collution.
    Lyman dan Scott bahkan lebih jauh menerangkan kemungkinan jenis pelanggaran terhadap teritorial (yang menimbulkan rasa terganggu) juga diungkapkan reaksi yang mungkin timbul atas adanya gangguan tersebut. Dengan demikian territori mempunyai unsur ‘kehendak untuk mempertahankan kepemilikan’

    BalasHapus
  17. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Dyah Kusuma wardhani
    NRP: 3211207003
    Topik bahasan: Territoriality

    Hubungan personalisasi teritory dan kehendak untuk mempertahankan
    teritory secara ringkas disampaikan oleh I. Altman,1975 sebagai berikut :
    1. Teritori primer
    Adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapatkan izin khusus. Teritori ini dimiliki oleh individu ataupun kelompok orang yang juga mengendalikan penggunaan teritori tersebut secara relatif tetap, berkenaan dengan kehidupan sehari-hari ketika terlibatan psikologis di dalamnya cukup tinggi. Misalnya ruang tidur atau ruang kantor. Meskipun ukuran dan jumlah penghuninhya tidak sama, kepentingan psikologis dari teritori primer bagi penghuninya selalu tinggi.

    2. Teritori sekunder
    Tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah sepenting teritori primer dan kadang bergangti pemakai, atau berbagi penggunaan dengan orang asing. Misalnya, ruang kelas, kantin, kampus, dan ruang latihan olahraga.
    3. Teritori publik
    Adalah tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Misalnya pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, lobby, ruang sidang, pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum.
    Dua aspek situasi, yaitu tatanan fisik dan sosial budaya dianggap mempunyai peran dalam menentukan sikap teritorialitas seseorang. Oscar Newman dalam teorinya (1980) mengenai defensible space mengemukakan bahwa kriminalitas di perumahan dan ketakutan akan kriminalitas merupakan dua gejala yang berkaitan dengan invansi teritori.
    Bentuk desain tertentu sebagai penghalang yang nyata ataupun barrier simbolis dapat digunakan untuk memisahkan teritori publik dan pribadi. Dengan adanya peluang bagi pemilik teritori untuk melakukan pengamatan daerahnya akan meningkatkan rasa aman dan mengurangi kriminalitas dalam teritori tersebut.
    Desain tata letak bangunan atau desain jalan dapat mempengaruhi perilaku penghuni sedemikian rupa. Mereka akan saling bertemu atau justru saling menghindar. Penghuni yang kerap bertmeu ketika berada di halaman ketika di luar rumah atau berjalan membuat hubungan sosial mereka meningkat sehingga tanpa sengaja menunjukkan peluang saling mengawasi rumahnya atau rumah tetangganya, yang kemudian bisa berarti mampu mengurangi kriminalitas karena para penghuni lebih mempertahankan sikap teritorialnya.
    Pada rancangan dimana penguna ruang sama sekali tidak mempunyai kontribusi dalam penataannya, atau sama sekali tidak mempunyai peluang untuk ikut membentuk lingkungannya karena sepenuhnya bergantung pada struktur organisasi pengelola atau kemauan arsitek, sukar untuk menstimulasi pengguna agar menjadi penghuni agar ia bisa merasa nyaman. Ini terjadi karean i atidak merasa terlibat dalam tanggung jawab lingkungan. Akibatnya seluruh area dianggapnya teritori publik.
    Apabila teori primer individual tidak dimungkinkan dalam desain, arsitek bisa merancang adanya teritori primer atau sekunder bagi sekelompok orang. Merancang adanya peluang mengatur diri bagi pengguna, seperti membuat “sarang’ bagi seseorang atau sekelompok pengguna, memberi kenyamanan agar ia tahu mereka bisa merasa nyaman, tidak terganggu dan mempunyai lingkungan sesuai dengan selera dan kebutuhannya.

    BalasHapus
  18. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Dyah Kusuma wardhani
    NRP: 3211207003
    Topik bahasan: Territoriality

    1.3. Studi Kasus
    Studi kasus yang sesuai dengan kajian terpilih untuk territotiality ini adalah redevelopment dari rusun Urip Sumoharjo. Rusunawa Urip Sumoharjo secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Surabaya Pusat. Awalnya, rusun ini dibangun untuk merelokasi korban kebakaran pada 25 Agustus 1982 yang menghabiskan 83 unit rumah (saat itu dihuni oleh 120 KK). Pihak-pihak yang terlibat dalam Pembangunan Rusunawa Urip Sumoharjo adalah Pemerintah Kota Surabaya (perencana, pengelola dan penyandang dana pembangunan) dan kontraktor swasta (pelaksana pembangunannya). Rusun terdiri dari 3 twin blok bangunan dengan 120 unit hunian. Rusun yang secara struktur hanya diestimasikan selama 20 tahun, dalam waktu singkat mengalami penurunan kualitas sehingga sangat kumuh, tidak layak huni dan membahayakan penghuninya.
    Karena kondisi rusun yang sudah tidak layak huni tersebut, Pemerintah Kota Surabaya bekerjasama dengan pihak akademisi (ITS Surabaya) berinisiatif nenperbaikinya dengan konsep redevelopment. Secara umum konsep redevelopment adalah:
    1. hunian rusun diperuntukkan bagi seluruh penghuni rusun lama,
    2. memperbaiki kondisi fisik bangunan rusun secara tota
    3. meningkatkan fasilitas umum dan ruang bersama di dalam rusun,
    4. mempertahankan struktur sosial yang telah ada, dan
    5. melibatkan partisipasi penghuni dalam proses perencanaannya.
    Konsep redevelopment tersebut selanjutnya dirinci lagi dalam berbagai aspek perencanaan yang meliputi: perencanaan ruang, perencanaan utilitas dan penataan lingkungannya, perencanaan bentuk bangunan (arsitektural), perencanaan struktur dan bahan bangunan, perencanaan sosial ekonomi, dan perencanaan pengelolaan.
    Rusun lama penataan tapaknya menggunakan sistem twin block/berjajar, tanpa ruang terbuka, sementara rusun baru yang diredevelopment penataan tapaknya menggunakan bentuk setengah melingkar (letter U), dengan ruang tengah sebagai ruang bersama. Keberadaan ruang tengah sebagai ruang bersama ini digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas bersama atau bisa juga disebut sebagai teritori publik dalam rusun Urip Sumoharjo sehingga interaksi sosial penghuni dapat terakomodasi.
    Kelayakan privasi, yang diperoleh dengan penataan teras pada redevelopment rusun dari unit hunian yang tidak saling berhadapan dengan unit lainnya. Terasan ini dibuat selebar 2 m dibuat berhadapan di depan unit sehingga orientasi unit ke luar gedung (jalan raya). Dengan penataan seperti ini teras unit hunian menjadi teritori sekunder dari penghuni unit hunian dan dapat meminimalisasi intrevensi dari penghuni lain. Sehingga unit- nit hunian dapat sepenuhnya menjadi teritori primer dari penghuni rusun karena privasi yang terjaga. Sehingga masing-masing unit hunian ini dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan fisik bagi keluarga, wadah bagi kegiatan-kegiatan keluarga, dan perlindungan psikologis terhadap tekanan-tekanan dari dunia luar.

    BalasHapus
  19. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Dyah Kusuma wardhani
    NRP: 3211207003
    Topik bahasan: Territoriality

    1.4. Kesimpulan
    Struktur lingkungan binaan menunjukkan kegiatan dan menyediakan lahan bagi personal space dan pembentukan kebutuhan teritorial. Cara dimana bangunan dan ruang didalamnya tercipta menimbulkan persepsi masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka mengatur teritorialnya. Setiap tingkatan dalam hirarki teritory berbeda dalam
    personifikasi, pemilikan dan kontrolnya terhdap teritory tersebut. Kualitas lingkungan binaan sebagian tergantung dari kemampuan kita untuk mencapai tingkatan privacy yang diinginkan.
    Arsitek, urban designer, sebaiknya menelusuri kebutuhan privacy dalam kaitan penggunaannya untuk menentukan batas nyata atau simbolik yang dibutuhkan sebagai pembatas teritorial dalam desain bangunan dan desain open space.
    Beberapa budaya sebagai latar belakang menampilkan kebutuhan privacy yang lebih kompleks dan berjenjang dibanding lainnya.(Amos Rapoport 1969,1977)
    Territory itu nyata, tetap, stationary dan terpusat pada ruangan. Teritory pada siapa yang berinteraksi didalamnya.Fungsi teritorial berbeda antara binatang dan manusia. Pada manusia teritorial lebih berfungsi sebagai fungsi organisasional. Kelompok manusia dan individu menunjukkan perilaku teritorial dan menerapkan berbagai strategi emepertahankan teritorial dengan demikian efektifnya. Serangan terhadap teritorial akan menimbulkan respons agresif. Teritori yang ditandai dengan serius oleh pemiliknya akan mengurangi vandalism terhadap teritorial tersebut.
    Fungsi teritorial merujuk pada kebutuhan dasar manusia yaitu :
    1. The need for identity
    2. The need for stimulation
    3. The need for security
    4. The need for a frame of references (tambahan dari Hussein el Sharkawy-1979)
    Hussein el Sharkawy (1979) menunjukkan empat type teritorial yang berguna dalam perancangan lingkungan yaitu :
    1. Attached territory adalah personal space yang dimiliki oleh seseorang.
    2. Central territories adalah rumah, gedung dengan kepemilikannya.
    3. Supporting territories adalah zona semi-private dan semi-public seperti koridor,
    kolam renang, taman depan, taman belakang dll.
    4. Peripheral territories adalah public space seperti lapangan olahraga bersama, taman kota dll.
    Penjenisan ini menunjukkan persepsi masyarakat terhadap eksistensi ruang dan guna ruang tersebut. Persepsi ini tentunya sangat spesifik sesuai budaya setempat. Sebagai penutup perlu kiranya disampaikan pernyataan J. Douglas Porteous (1977) yang menunjukkan kaitan erat pemahaman teritorial terhadap proses perancangan lingkungan binaan, yaitu :
    Recent efforts to identify types of human territories are of interest to environmental designers because they deal with people’s desire to control and personalized space and behaviour.
    Usaha terbaru untuk mengidentifikasai jenis dari teritori manusia merupakan hal yang menarik bagi desainer lingkungan karena berhubungan dengan keinginan manusia untuk mengendalikan dan mepersonalkan ruang dan dan perilaku.

    Daftar Pustaka
    Altman.I.;The Environment and Social Behaviour, The MIT Press. England. 1975
    Amiranti, Ir.Sri. MS ; Catatan Kuliah Arsitektur dan Perilaku Pascasarjana ITS 2000.
    Surabaya.2000.
    Hadinugroho, Dwi Lindarto; Ruang dan perilaku : Suatu Kajian Arsitektural. Universitas Sumatera Utara.2002
    Lang , Jon ; Creating Architectural Theory . Van Nostrand Reinhold Company.New
    York. 1987.
    Setijanti, Purwanita (et al) ; Peningkatan Kualitas Hidup Penghuni di rusunawa Urip Sumoharjo pasca-Redevelopment. Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota. 2010

    BalasHapus
  20. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Reza Fernando
    NRP: 3211207009
    Topik bahasan: Post Occupancy Evaluation (POE)

    Post Occupancy Evaluation (POE) atau Evaluasi Purna Huni bermula di Amerika Serikat dan telah digunakan sejak 1960-an. Preiser mendefinisikan POE sebagai "suatu proses evaluasi bangunan dalam cara yang sistematis dan ketat setelah bangunan tersebut telah dibangun dan ditempati selama beberapa waktu tertentu." (Preiser, Rabinowitz, dan White, 1988).

    Evaluasi Purna Huni (POE) penting untuk dilakukan karena adanya kecenderungan anggapan bahwa proses kerja rancang bangun telah selesai apabila dokumen perancangan telah terwujud menjadi wadah fisik. Selain itu keluhan-keluhan yang terjadi di dalam proses adaptasi penghuni terhadap hasil rancang bangun tidak pernah atau jarang sekali dikaji, khususnya sebagai bahan masukan bagi proses perancangan selanjutnya. Dalam proses evaluasi ini, karena proses penggunaan dan penghunian suatu bangunan akan berkaitan dengan aspek perilaku dan psikologi penggunanya, maka pemahaman akan perilaku manusia dan lingkungan sangat dibutuhkan dalam kajian ini.

    POE selalu memperhitungkan pemilik, operator, dan kebutuhan penghuni, persepsi, dan ekspektasinya. Dari perspektif ini, kinerja sebuah bangunan mengindikasikan seberapa baik kerjanya untuk memenuhi tujuan organisasi klien, serta kebutuhan dari setiap individu dalam organisasi tersebut. POE dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah fasilitas yang sudah ada mendukung atau menghambat kemampuan lembaga (penghuni) untuk melaksanakan misinya? 2. Apakah material yang dipilih aman (setidaknya dari perspektif jangka pendek) dan sesuai untuk penggunaan gedung? 3. Dalam hal fasilitas baru, apakah bangunan mencapai tujuan dari program desainnya?

    The British Council for Offices (BCO) menunjukkan bahwa POE dapat digunakan untuk menilai apakah persyaratan proyek telah dipenuhi (Oseland, 2007). Sebuah POE biasanya meliputi campuran dari teknik kuantitatif dan kualitatif. Secara umum POE akan mencari umpan balik dari para penghuni tempat yang sedang dievaluasi, hal ini dapat dicapai melalui berbagai metodologi survei termasuk kuesioner, wawancara atau fokus kelompok. Umpan balik penghuni dapat dilengkapi dengan pemantauan lingkungan, seperti suhu, tingkat kebisingan, tingkat pencahayaan, dan kualitas udara dalam ruangan. Baru-baru ini, POE cenderung mencakup hal-hal sustainable seperti konsumsi energi, tingkat limbah, dan penggunaan air. Ukuran kuantitatif lainnya yang umum digunakan termasuk metrik ruang, misalnya rasio kepadatan kerja, pemanfaatan ruang dan efisiensi penyewa. Biaya, baik dinyatakan sebagai biaya proyek per meter persegi atau total biaya hunian, dianggap sebagai kunci metrik dalam membangun evaluasi dan dapat dibandingkan dengan umpan balik penghuni untuk memberikan pemahaman yang lebih baik dari nilai yang ingin dicapai.

    BalasHapus
  21. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Reza Fernando
    NRP: 3211207009
    Topik bahasan: Post Occupancy Evaluation (POE)
    Studi Kasus: Studi Kasus Pada Rumah Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area, Kota Medan

    Berdasarakan hasil penelitian Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan) 2008, salah satu permasalahan yang muncul di perkotaan, dalam hal ini Kota Medan, adalah masalah rumah dan pemukiman serta keterbatasan luas tanah. Rumah susun menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah perumahan bagi masyarakat kota. Perubahan pola pemukiman yang tadinya horizontal menjadi vertikal memberikan konsekuensi-konsekuensi tertentu pula bagi penghuninya. Salah satunya adalah perubahan persepsi dalam memandang rumah susun sebagai tempat melangsungkan kehidupan. Persepsi tersebut kemudian berdampak pada pola perilaku penghuninya baik terhadap lingkungan sosial maupun lingkungan fisik.

    Sebagai langkah awal untuk mendapatkan hasil Evaluasi Purna Huni (POE) dari kawasan rumah susun ini, maka ditentukanlah beberapa variabel yang mempengaruhi pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial di rumah susun berdasarkan variabel aktivitas kerukunan bersama, toleransi, penyelesaian masalah, menguasai pihak lain, dan upaya mendapatkan kedudukan sosial di lingkungan rumah susun. Hasil dari pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial tersebut cenderung mengarah ke perilaku assosiatif dengan ciri aktivitas toleransi relatif sering dilakukan, aktivitas kerukunan bersama jarang sedangkan aktivitas penyelesaian masalah, perselisihan, menguasai pihak lain dan upaya mendapatkan kedudukan sosial di rumah susun relatif tidak pernah dilakukan. Pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik menunjukkan aktivitas yang relatif tinggi diukur dengan variabel keaktifan, kenyamanan dan kemudahan menggunakan dan memelihara fasilitas-fasilitas fisik yang ada di rumah susun.

    Kemudian untuk makin memperkuat hasil akhir dari POE, dilakukanlah pengelompokkan secara lebih khusus antara lain perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial berdasarkan perbedaan status suami istri, berdasarkan tingkat pendidikan keluarga, berdasarkan perbedaan lokasi rumah susun, berdasarkan perbedaan tipe rumah susun, dan lain sebagainya.

    Berikut kesimpulan yang didapatkan sebagai hasil POE dari penelitian tersebut, antara lain: 1. Pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial mengarah pada proses sosial assosiatif, jika diukur dari aktivitas toleransi yang sering dilakukan keluarga, aktivitas penyelesaian, perselisihan, menguasai pihak lain, dan upaya mendapatkan kedudukan sosial yang tidak pernah didapatkan keluarga, serta aktivitas kerukunan bersama yang jarang dilakukan oleh keluarga yang tinggal dirumah susun. Perilaku keluarga di rumah susun lebih berorientasi pada bentuk akomodasi (penyesuaian diri) dan asimilasi (pembauran) dalam menerima perbedaan. 2. Uji beda pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial berdasarkan perbedaan status keluarga, tingkat pendidikan keluarga, lokasi rumah susun dan tipe rumah susun menunjukan hasil sebagai berikut: a. Perbedaan status keluarga menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial untuk variabel aktivitas kerukunan bersama dan upaya mendapatkan kedudukan sosial, dimana suami relatif lebih sering melakukan aktivitas kerukunan bersama dan upaya mendapatkan kedudukan sosial dibandingkan dengan istri. b. Perbedaan tingkat pendidikan keluarga menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial untuk variabel aktivitas kerukunan bersama, toleransi, penyelesaian masalah, perselisihan, dan upaya mendapatkan kedudukan sosial. Semakin tinggi tingkat pendidikan keluarga maka semakin sering responden melakukan aktivitas kerukunan bersama, toleransi, penyelesaian masalah, perselisihan, dan upaya untuk mendapatkan kedudukan sosial di rumah susun.

    BalasHapus
  22. Tugas Mata Kuliah Arsitektur Perilaku
    Nama: Reza Fernando
    NRP: 3211207009
    Topik bahasan: Post Occupancy Evaluation (POE)
    Studi Kasus: Studi Kasus Pada Rumah Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area, Kota Medan

    Lanjutan kesimpulan: c. Perbedaan pengelola (lokasi rumah susun) menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap aktivitas toleransi, dimana rumah susun yang dikelola oleh pihak swasta aktivitas toleransi antar keluarga lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikelola pemerintah. d. Perbedaan tipe rumah susun menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap aktivitas kerukunan bersama, toleransi, dan kerukunan bersama. Keluarga yang tinggal di tipe 21 lebih sering melakukan ketiga aktivitas tersebut dibandingkan keluarga yang tinggal di rumah susun tipe 36 dan tipe 54.
    3. Pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik lebih mengarah pada perilaku yang positif bila diukur dengan variabel keaktifan, kenyamanan, dan kemudahan menggunakan dan memelihara fasilitas-fasilitas fisik yang ada di rumah susun. Keluarga yang tinggal di rumah susun menunjukan keaktifan memelihara lingkungan fisik tinggi serta mersakan kenyamanan dan kemudahan yang relatif tinggi akan fasilitas-fasilitas fifik yang ada di rumah susun. 4. Uji beda pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik berdasarkan perbedaan status keluarga, lokasi rumah susun, tipe rumah susun, blok rumah susun, dan lantai rumah susun menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Perbedaan status keluarga menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik khususnya untuk variabel keaktifan. Istri lebih tinggi tingkat keaktifannya menggunakan dan memelihara fasilitas-fasilitas fisik di rumah susun dibandingkan suami. b. Perbedaan pengelola (lokasi) rumah susun menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik terutama untuk variabel kemudahan. Keluarga yang tinggal di rumah susun yang dikelola pihak swaste lebih mudah dalam menggunakan fasilitas bersama yang ada di rumah susun dibandingkan dengan keluarga yang tinggal di rumah susun yang dikelola pemerintah. c. Perbedaan tipe rumah susun menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap variabel keaktifan, kenyamanan, kemudahan. Keluarga yang tinggal di rumah susun tipe 54 memiliki tingkat keaktifan, kenyamanan, dan kemudahan yang lebih tinggi dalam memelihara dan menggunakan fasilitas-fasilitas fisik di rumah susun dibandingkan dengan keluarga yang tinggal di tipe 21 dan tipe 36. d. Perbedaan blok rumah susun menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik khususnya untuk variabel kenyamanan. Keluarga yang tinggal di blok yang keseluruhannya termasuk ke dalam tipe 36 merasakan kenyamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga di blok lain. e. Perbedaan lantai rumah susun menimbulkan perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan lingkungan fisik khususnya untuk variabel keaktifan. Keluarga yang tinggal di lantai dasar memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam memelihara dan menggunakan fasilitas fisik yang ada di rumah susun dibandingkan dengan keluarga yang tinggal di lantai atas.

    DAFTAR PUSTAKA

    Preiser W F E, Rabinowitz H Z and White E T (1988) Post Occupancy Evaluation. New York: Van Nostrand Reinhold
    Oseland N A (2007) British Council for Offices Guide to Post-Occupancy Evaluation. London: BCO
    www.postoccupancyevaluation.com
    en.wikipedia.org/wiki/Post-occupancy_evaluation
    Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan) 2008

    BalasHapus