Selasa, 07 Juni 2011

Estetika dalan Arsitektur Perilaku

Estetika dalam Arsitektur Perilaku.
Dalam proses kreatif merancang arsitektur dengan pendekatan perilaku, seorang arsitek seyogyanya mempertimbangkan penggunaan estetika sensori dan estetika simbolik untuk melengkapi penggunaan estetika formalnya. Hal ini terkait dengan kedudukan pengguna karya arsitektur yang bukan saja bertindak sebagai observer dan kontemplator dari estetika arsitektur, tetapi juga berperan sebagai partisipan aktif dari karya arsitektur (Lang, 1987 & Muhamed, diunduh 2011). Dalam hal ini proses mengalami estetika arsitektur (oleh penggunanya) merupakan proses kritis yang patut dikaji oleh para arsitek. Herzberger (1977) menyodorkan studi makna arsitektur bukan hanya sebatas studi terhadap makna presentasional sebagai hasil persepsi ujud ikonik karya arsitektur semata, tetapi juga studi terhadap makna referensial dan makna responsif dari pengguna karya arsitektur. Sehingga hasil kajian pemaknaan arsitektur oleh (calon) pengguna yang diperoleh bukan hanya memori mengenai ujud ikonik arsitektur saja (perceiving and memorizing aesthetics), tetapi juga pengalaman estetika yang memberikan kenyamanan dan kepuasan sosio-kultural-psikologis (experiencing aesthetics).

Bagi mahasiswa S2 dan S3 Arsitektur ITS pengikut MK Arsitektur Perilaku 2 (Bidang Studi Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur) serta pengikut MK Arsitektur Perilaku (Bidang Studi Perancangan Arsitektur) diharap memberikan komentar terkait pernyataan di atas, dalam bentuk kajian teori dan contoh studi kasus. Komentar anda ditunggu sampai dengan tanggal 17 Juni 2011.

Sri Amiranti
Pengampu MK Arsitektur Perilaku 2 dan MK Arsitektur Perilaku
S2 Arsitektur FTSP-ITS

12 komentar:

  1. Teori Estetika berdasarkan ilmu perilaku (bag 3)
    Kajian pemaknaan arsitektur oleh pengguna tidak dapat dicapai hanya melalui peceiving and memorizing aesthetic saja, namun melalui pengalaman nyata dimana pengguna dapat hadir dan merasakan estetika yang dihadirkan pada bangunan. Hershberger mengkategorikan makna dalam arsitektur dalam 2 macam, yaitu representasional meaning dan referential meaning, yang secara hakiki
    dijabarkan sebagai berikut:

    1. Makna Representasional
    a. Makna presentasional: tidak berbentuk verbal, melainkan berupa ikon
    b. Makna referensional: penghayatan terhadap simbol bagi obyek atau peristiwa/kegiatan
    Penghayatan melalui bentuk, tekstur, warna, status, ukuran, dan atribut lain

    2. Makna Responsif
    a. Makna Afektif: perasaan dan emosi seseorang ketika melihat suatu bentuk bangunan.
    Respons ini didasari oleh pengalaman dan budaya pengguna
    b. Makna Evaluatif: penghayatan seseorang terhadap representasi dan emosi seketika berdasarkan kompetensinya
    c. Makna Preskriptif:penghayatan seseorang untuk melakukan sesuatu setelah menglihat dan mengevaluasinya
    Sistem Komunikasi melalui komponen bangunan
    (Laurens, 2004)

    Dalam hal ini kita coba melihat kasus bangunan masjid Ceng Ho yang ada di Surabaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Cheng_Ho_Surabaya). Sekilas bangunan tersebut mirip dengan bangunan klenteng, bahkan mulai dari eksterior hingga interior bangunan sangat khas dengan budaya Tionghua yang ingin ditonjolkan. Karya arsitektur semacam ini dapat mengundang pengalaman estetika pengguna, dimana estetika yang ada memberikan makna responsif afektif dimana perasaan dan emosi pengguna dilibatkan saat berada dalam bangunan. Latar belakang dan pengalaman budaya pengguna (sebagian besar pengguna masjid ini adalah masyarakat Tionghua) memberikan peran yang cukup besar dalam kegiatan ibadah di tempat ini. Perpaduan antar budayaTionghua, Jawa dan Islam yang dimasukkan dalam estetika masjid Ceng Ho memperkuat pengalaman estetika yang menunjang kenyamanan dan perasaan aman pengguna karena merasa berada dalam lingkungan yang masih dekat dengan budayanya.



    Sumber Pustaka:

    Hadinugroho, Dwi Lindarto. Jelajah Pengalaman Pada Desain Rumah Real Estat, Fakultas Teknik Progdi arsitektur Universitas Sumatera Utara, 2002

    Hersberger.Robert G : Predicting the Meaning of Architecture. In Designing for Human Behavior. Stroudsburg. DH and Ross.1974

    Hershberger, Robert G., 1999, Architectural Programming and Predesign Manager, Mc. Graw Hill Inc., New York.

    Laurens, Joyce Marcella, 2004, Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Jakarta.

    Lang, Jon : Creating Architectural Theory ; The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design. Van Nostrand reinhold. 1987

    Saptorini, Hasuti, Renata Heryawati Hess. Karakter Aktif dalam Perancangan Taman Petualangan Anak. Dimensi Teknik arsitektur Vol. 35, No. 1, Juli 2007: 59 - 72

    Weber. Ralf : On Aesthetics of Architecture. A Psychological Approach to the Structure and The Order of Perceived Architecture Space.Avebury.England.1995

    BalasHapus
  2. Grace Mulyono:

    Teori Estetika berdasarkan ilmu perilaku (bag 2)
    Menurut Lang seperti dikutip Mohhamed (2007), seorang arsitek perlu mempertimbangkan estetika sensori dan simbolik dalam melengkapi estetika formalnya. Estetika sensori disini yang dimaksud adalah estetika yang memperhatikan sebuah kondisi yang menyenangkan yanng tercipta dalam sebuah ruangan yang ditunjang dengan elemen ruang seperti warna, suara, tekstur dan elemen lain dari sebuah ruang. Sedang yang dimaksud estetika simbolis adalah estetika yang memperhatikan hubungan antar makna dalam sebuah ruang yang menciptakan kenyamanan pengguna di dalamnya.
    George Santayana pada tahun 1896 telah mengajukan klasifikasi teori tentang estetika dari perspektif persepsi perilaku yang dikenal dengan jalur estetika spekulatif empirikal dengan membagi wilayah bahasan menjadi estetika sensory, estetika formal dan estetika symbolic yang bahkan sampai saat ini masih sering menjadi rujukan yang cukup berarti. Santayana melalui pendekatan mekanistiknya menyatakan bahwa artefak merangsang manusia dengan sensasi dan imaji dari suatu sensasi tersebut atau yang berasosiasi dengan sensasi itu. Lingkungan yang indah dapat memberikan kesenangan pada orang yang melihatnya yang lalu menjadikan timbulnya nilai positif berupa sensory values (nilai sensory yang ditimbulkan oleh sensasi yang menyenangkan yang diperoleh melalui indra manusia). Nilai ini didapat dari sentuhan, bau, rasa, bunyi, penglihatan. Kesenangan sensori dapat menjadi elemen keindahan pada saat yang sama dengan dengan ide yang dihubungkan dengan elemen keindahan secara empirikal. Formal values ( yang muncul dari tatanan material berupa kesenangan yang diperoleh dari struktur/susunan atau pola suatu artefak atau suatu proses) adalah juga secara empirikal berkaitan dengan persepsi dalam sistem hubungan atau organisasi yang berada pada suatu pola tertentu. Disamping itu tak kalah pentingnya adalah expression / associational values dari imaji yang dipicu oleh akibat adanya sensory value (inilah yang nantinya mengarah kepada symbolic aestetic). Associational values ini oleh Santayana dinyatakan mempunyai tiga nilai ekspresif yaitu estetis, praktikal dan negatif (Hadinugroho,2002 ).

    Adapun secara arsitektural, makna diartikan secara hakiki oleh Laurens atas dasar teori Morris (1938), Gibson (1950), dan Hershberger (1974), sebagai penggunaan sebuah obyek atau suatu lingkungan sehubungan dengan kualitas emosional si pengamat (hal 94). Dalam arsitektur, makna diungkapkan melalui image, simbol, dan sign. Image merupakan imitasi atau reproduksi atau kesamaan dari sesuatu. Apabila reproduksi tersebut dikaitkan atau menggantikan sesuatu yang lain (misalnya asosiasi, konvensi, institusi,dll) maka makna tersebut termasuk kategori simbol. Simbol merupakan proses kognitif dimana obyek mendapatkan konotasi lain disamping aspek fungsinya. Sedangkan tanda diartikan sebagai bentuk yang secara konvensional disepakati, menggantikansesuatu dalam arti yang sesungguhnya (nyata) daripada arti yang abstrak (Saptorini, 2009).

    BalasHapus
  3. Teori Estetika berdasarkan ilmu Perilaku (bag 1)
    Dalam filsafat keindahan “pengalaman estetis” menurut pandangan fenomenologi merupakan pengalaman estetis tentang “thing”. Pengalaman estetika berdasarkan pengamatan indrawi disaat yang sama keseluruhan jiwa-raga manusia turut berpartisipasi menimbulkan perasaan terikat, terhanyut dan terpikat perasaannya menuju suatu kesenangan dan pengalaman estetis. Pendekatan teori obyektif berpendapat bahwa keindahan adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada benda sebagai suatu obyek. Ciri yang memberi keindahan itu adalah perimbangan antara unsur atau bagian pada benda tersebut dalam batasan tertentu mengenai bentuk yang juga harus terpenuhi secara unity.
    Disisi lain teori subyektif mengemukakan bahwa keindahan itu hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang sebagai observer atau pengamat benda obyek estetis tersebut. Jadi nuansa keindahan mencuat tergantung penyerapan atau persepsi pengamat yang kemudian menyatakan benda dimaksud mampu memancarkan kesenangan , indah atau kurang indah (Hadinugroho, 2002)
    Pendekatan psikobiologikal diilhami juga oleh psikologi Gestalt. Tingkat ketertarikan (arousal) individu berhubungan dengan persepsinya terhadap menarik tidaknya suatu lingkungan. Tingkat arousal ini tergantung pada susunan dari lingkungan dan tingkat kepribadian ( personality ) serta kebutuhan dari individu tersebut. Kesenangan dapat timbul ketika kondisi yang merugikan dihilangkan atau mencapai tingkat moderat sehingga ketertarikan dapat dicapai. Pengalaman estetis berkaitan dengan pancaran makna yang timbul dari hasil suatu design yang kemudian dipersepsi oleh pengamat atau pengguna. Amos
    Terdapat kenyataan bahwa reaksi terhadap lingkungan oleh perancang dan pengguna ( user ) bisa sangat berbeda.
    Selain dari berbagai pendekatan estetika tersebut diatas Ralf Weber mendekati pokok estetika melalui bentuk ( form ) dengan penggabungan pendekatan obyektif dan subyektif dengan dukungan teori estetika presentasional Imanuel Kant. Masalah bentuk indah dan menarik menurut Weber adalah masalah pokok arsitektur tetapi dikuatirkan bahwa arsitektur hanya merupakan ilmu “membungkus” belaka. Jika arsitek bisa menangkap pokok estetika dan menempatkannya dalam suatu bentukan, maka ini menjadi bagian yang penting karena bentuklah yang memperoleh perlakuan pencerapan melalui indrawi. Bentuk memicu persepsi dari pengamat yang kemudian melalui seperangkat kerangka makna bentuk tersebut ditentukan posisi dan nilai estetisnya dalam lingkungan. Bentuk selalu menyandang makna, namun makna sendiri tidak pernah intrinsik. Makna dikembangkan pengamat bersama dengan benda yang dimaknai berdasar pengalaman pengamat sebelumnya (asosiasional) . Fokusnya kemudian adalah proses persepsi, proses pengendapan bentuk lingkungan. Putusan estetisnya berupa moda kesadaran yang bertumpu pada faktor perseptual daripada sesuatu yang diluar indria (extrasensory).pengambilan keputusan dilakukan dengan perbandingan antara obyek yang dicerap, dipersepsi dengan konsep nilai yang dipunyai oleh pengamat. Weber juga merujuk pada sikap ‘organizational’ yang dikembangkan J.J.Gibson . Kognisi adalah proses pencantuman nilai kepada hasil persepsi. Melalui proses ini hasil persepsi menjadi citra yang bermakna (Hadinugroho, 2002))

    BalasHapus
  4. Kami, paulus hariadi hendak menanggapi artikel diatas……
    Kami mengkaitkan dengan teori ` The Building Tasks dari Christian Norberg Schulz. Christian Norberg Schulz,1997, menekankan bahwa persepsi dari bentuk mempunyai dasar budaya dan makna. Arsitektur adalah sebagai jawaban dari tujuan budaya. Tugas dari arsitek nantinya dimaksudkan sebagai tujuan dari pola kerjanya. Hal ini, bermula dari situasi arsitektur yang oleh banyak arsitek dianggap kacau dan membingungkan. Banyak klien mengeluh bahwa arsitek kurang memuaskan mereka terutama dalam hal estetika dan ekonomi.Untuk tujuan menyelesaikan permasalahan yang banyak timbul, dan dengan memperhatikan budaya masyarakatnya, Schulz mengetengahkan The Building Tasks, untuk memenuhi fungsi arsitektur yang banyak. Pada mulanya Schulz melihat fungsi sebagai practical purpose sebagaimana keadaan yang banyak terjadi saat itu. Namun pada akhirnya, Schulz membuat usulannya dengan memberi istilah task
    Fungsi yang dijalankan arsitektur
    1. Physical Control
    Fungsi ini dimaksudkan sebagai pengontrol untuk elemen-elemen alam dan lingkungan seperti climate; sound; smell; things (dust, smoke, insects, animal persons) dan radio activity. Untuk memenuhinya diperlukan hal-hal sebagai berikut:
    • mencari kemampuan material bangunan, seberapa ia mampu mengurangi panas, dingin, noise, humidity
    • bisa menambah alat mesin untuk menciptakan artificial climate
    • dengan mempelajari physical control as an `exchange of energies'.
    Disini diperlukan pengenalan terhadap konsep-konsep filter, connector, barrier dan switch. Physical control tidak hanya meliputi organisasi dalam bangunan saja, namun juga memperhatikan terang langit dan angin. Penanganan bangunan terhadap cuaca yang keras harus dilakukan semaksimal mungkin. Cuaca yang dimaksud di sini tentunya cuaca regional dari daerah dimana bangunan tersebut berada.
    2. Functional frame
    Fungsi ini menunjukkan adanya frame (bingkai) yang merupakan manifestasi dari ruang, topologi, dan karakter dinamis dari fungsi. Pada dasarnya merupakan kebutuhan ruang akibat suatu aktivitas tertentu. Fungsi ini tidak hanya membicarakan masalah ukuran atau ruang, namun juga menentukan bentuknya. Dengan demikian segala permasalahan yang ada, yang berhubungan dengan aktivitas dan lainnya harus ditampung dan diberi bingkai dengan baik sesuai dengan tuntutan ruangnya. Dengan demikian sangat dimungkinkan adanya ruang-ruang plastis dalam bingkai fungsi tersebut, sesuai dengan keadaan pemakainya yang bisa jadi berasal dari beberapa generasi yang berkumpul menjadi satu dalam satu wadah bingkai fungsi. Untuk membuat bingkai fungsi yang lebih baik dari sebuah fungsi bangunan adalah sangat bergantung pada beberapa perubahan yang terjadi didaerah dimana bangunan itu berada. Perubahan itu tentu soja berhubungan erat dengan faktor sosial dan budaya. Jadi, bingkai yang baik harus memperhatikan juga faktor sosial dan budaya setempat.
    3. Social Milieu
    Fungsi ini menunjukkan bahwa bangunan selalu mempunyai tujuan sosial yang mungkin merupakan ekspresi dari status pribadi, status kelompok atau group. Bangunan-bangunan kolektif mungkin merupakan representasi sistem sosial secara keseluruhan. Secara umum dikatakan bahwa aturan keikut sertaan manusia dalam interaksinya dengan bentuk adalah merupakan bagian dari building tasks. Bangunan dan kota mengajak manusia bersama-sama, dan 'millieu' sesuai untuk aktivitas pribadi yang dimunculkan. Sebuah lingkungan pergaulan merupakan karakteristik yang dimungkinkan untuk sebuah kehidupan sosial. Dan lingkungan pergaulan merupakan bagian dari keutuhan budaya.

    BalasHapus
  5. (lanjutan posting paulus hariadi)

    4. Cultural Symbolization
    Arsitektur adalah merupakan obyek budaya. Arsitektur yang melambangkan obyek budaya adalah sebuah bukti nyata dari sejarah arsitektur. Aspek ini menunjukkan bahwa fungsi cultural symbolization merupakan bagian terdepan dan penting dalam building tasks. 'The architectural totality' tidak akan dihasilkan bila tidak ada hubungan yang baik antara arsitektur dengan obyek budaya lainnya. Sebagai produk manusia yang menunjukkan karakter praktis, arsitektur mempunyai kemampuan khusus untuk menunjukkan bagaimana tata nilai, dan tradisi budaya menentukan kehidupan sehari-hari. Hanya melalui cultural symbolization arsitektur dapat menunjukkan bahwa kehidupan sehari-hari mempunyai makna, dan kemudian membentuk bagian budaya serta kesinambungan sejarah.
    5. The Building Tasks as a Whole
    Pada bagian depan, telah ditunjukkan bahwa kebanyakan tugas bangunan terdiri dari keempat dimensi yang telah dikemukakan. Physical control, berhubungan erat dengan bagian fungsi lainnya. Dan fungsi fungsi lainnya, keberadaannya ditentukan oleh kondisi sosial yang mendukung keberadaan objek budaya. Keempat dimensi fungsi tidak hanya membawa kita untuk menyumbang sejumlah fungsi, interaksi dan nilai-nilai yang meninggikan tugas bangunan, namun juga membuat komparasi dan klasifikasi dari kemungkinan tugas-tugas bangunan. Sejarah arsitektur menunjukkan kepada kita bahwa tugas-tugas bangunan selalu didasarkan pada dua kelas karakteristik: tugas-tugas dari sebagian besar karakter praktis, serta tugas-tugas sebagai obyek yang lebih tinggi memegang peranan yang menentukan.

    Hal-hal tersebut diatas dapat kami contohkan dalam suatu studi kasus dibawah ini :
    Bangunan Gramedia Expo, Surabaya.
    Sebagai suatu tempat pameran yang menyatu dengan toko buku, selain harus memenuhi fungsi bangunan Physical Control, si bangunan juga melakukan fungsi – fungsi lainnya sehubungan yang berkaitan dengan arsitektur perilaku. Dapat dilihat dari penambahan ruang terbuka pada bangian depan bangunan yang secara tidak langsung member kesan agar para pengguna jalan atau pedestrian dipersilahkan masuk kedalam kompleks bangunan tersebut. Si arsitek mengharap bahwa pengguna pedestrian singgah ke dalam kompleks sehingga dapat meningkatkan penjualan toko buku atau fungsi ruang pameran dengan meningkatnya konsumen yang masuk.
    Karena bentuknya yang aneh bangunan ini juga menjalankan fungsi social milieu, belum ada bangunan di sepanjang jalan Basuki Rahmat ini yang sangat menjadi pusat perhatian sampai saat ini. Dan berfungsi ganda dengan fungsi pertama dalam meningkatkan gengsi perusahaan sebagai toko buku dan penerbit yang terkemuka di Indonesia, karena secara tidak langsung pertama kali menggunakan strategi unik ini.
    Apakah bangunan ini berhasil sesuai dengan misi yang ditentukan oleh arsiteknya? Kita dapat melihat dari masyarakat sebagai pengguna bangunan tersebut, baik dari penghuni kota Surabaya pada umumnya atau sebagai pengguna pedestrian atau jalan Basuki Rahmat, dimana pada hari-hari malam minggu jalan Basuki Rahmat dipenuhi dengan pemuda-pemudi melakukan sosialisasi sepanjang jalan dan momen ini dipergunakan oleh bangunan Gramedia Expo ini sebagai bangunan unik yang dipakai oleh masyarakat disekitarnya untuk bersosialisasi dan sebagai strategi pemasaran baru untuk toko buku serta tempat pameran.

    BalasHapus
  6. Harida Samudro

    Pengertian antara pengalaman batin/pribadi untuk diri kita masing-masing, dan dunia luar memiliki pengaruh yang berbeda, baik fisik dan mental. Kehidupan perkotaan penuh stimulus terutama visual dan pendengaran (christopher day, 2002). Tempat yang indah mempunyai banyak macamnya yang dapat diartikan sebagai tempat yang tepat dan sehat, tempat tersebut memiliki integritas, rancangan yang holistik, dan seimbang. Suatu tempat menyimpan suatu memori yang membuat kita teringat akan tempat tersebut, baik itu warna, rasa, suara, dll. Dalam pencitraan estetika pada bangunan yang menggunakan unsur-unsur perilaku diperlukan adanya “spirit place” yang dibutuhkan antara lain seperti pengaturan komposisi fasad, penempatan bukaannya bagaimana, pintu, dan jalur keluar?, penggunaan tekstur pada bangunan baik warna, sekuen, bentuk?, issue ini merupakan salah satu contoh untuk mencapai kebutuhan estetika bangunan yang tepat dan cocok dimana berdasarkan dari sebuah lingkungan perilaku yang tercipta. Hal ini juga diperkuat yang kaitannya dengan pengaruh lingkungan hubungan antara manusia dan lingkungan menjadi yang utama, meskipun tidak secara eksklusif, objek spasial dan orang-orang terkait melalui berbagai tingkat perbedaan, ketika suatu lingkungan sedang dirancang, empat elemen harus menjadi satu bagian yaitu, ruang(space), makna(meaning), komunikasi(communication), dan waktu(time) (amos rapoport,1980). Ketika kita mencoba untuk memberikan sebuah estetika tertentu pada bangunan itu sudah masuk yang kaitannya dengan individu manusia dalam pencitraannya baik itu pengguna ataupun arsitek, kaitannya dengan pola individu Herzberger mengatakan terdapat dua makna arsitektural yaitu representasional meaning dan responsive meaning, bila kita sudah masuk dalam pemaknaan sebuah estetika maka terdapat pembahasan lebih lanjut mengenai arti presentational dan referential yang ada di representational meaning yaitu pengalaman langsung pada individu seseorang dalam mempersepsikan atau membuat estetika bangunan, hal ini menjadi tindakan berikutnya dalam memaknai estetika bangunan. Keberlanjutan ini terdapat tiga tahap yaitu ;1. affective meaning, merupakan respon berdasarkan pengalaman, 2. Evaluative meaning, memberikan standar tertentu dari sebuah pengalaman, 3. Prescriptive meaning, bersifat menentukan (determining). “Environmental Design” merupakan sebuah cara untuk memberikan hubungan secara komprehensif baik aktivitas, value, dan tujuan yang mengacu pada masing-masing individu atau grup untuk di organisir (amos rapoport,1980). Dalam mewujudkan desain secara holistik yang berkaitan dengan prilaku didalam arsitektur perlu untuk memperhatikan proses psikologis manusia terhadap lingkungan fisik seperti yang dijelaskan oleh (Holahan, 1982) berikut ini yang sangat berpengaruh pada manusia dengan lingkungannya: 1. Environmental Perception, yaitu proses memahami linkungan fisik melalui stimuli yang baru saja terjadi atau secara langsung, 2. Environmental Cognition, yaitu proses mengorganisasikan, mengkonstruksi dan memanggil kembali gambaran, ciri-ciri, atau kondisi lingkungan yang sudah ada yang terjadi beberapa saat yang lalu, 3. Environmental Attitudes, yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap sifat atau ciri pada kondisi lingkungan fisiknya. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam pencitraan sebuah estetika bangunan dalam arsitektur perilaku mempunyai banyak pendekatan yang seharusnya oleh arsitek atau perancang untuk diterapkan dalam usaha memberikan sebuah “spirit place” atau bangunan yang tepat dan sehat, baik dari segi teknis dan budaya, semuanya bersatu dalam satu rangkaian yang saling mengikat.

    BalasHapus
  7. Harida Samudro:

    Contoh Kasus:
    Graha Wonokoyo Surabaya
    Graha wonokoyo merupakan salah satu gedung perkantoran di Surabaya yang menerapkan bangunan yang berwawasan lingkungan, bentuk bangunan ini menerapkan pendekatan arsitektur kolonial karena konteks lokasinya berada dalam kawasan konservasi, bangunan ini terdiri dari tiga massa yaitu bagian depan merupakan bangunan dua lantai dengan gaya arsitektur kolonial sebagai wujud pendekatannya kemudian bagian tengah tiga lantai berperan sebagai transisi antara bentuk kolonial dengan bentuk modern dan bagian belakang dengan 11 lantai merupakan menara perkantoran yang membujur dari arah utara ke selatan. Detail yang terlihat pada fasad bangunan merupakan salah satu unsur arsitektur kolonial yang sangat mempengaruhi tampang bangunan ini. Dapat kita lihat bahwa bangunan ini sangat memperhatikan konteks lokalnya sebagai kawasan cagar budaya dimana unsur-unsur budaya tetap dipertahankan dan diterapkan pada bangunan yang menerapkan sistem high-technology ini. “spirit place” yang tercipta adalah bangunan ini memberikan suasana yang menyatu dengan lingkungan sekitar dengan tidak merusak langgam dan juga pendekatan secara komprehensif terkait dengan environmental psychology yang memperhatikan unsur budaya. Pencitraan bangunan yang terkait dengan perilaku dapat kita lihat bahwa si perancang melihat adanya sebuah potensi desain terbaru yang menggabungkan antara keindahan dan kesesuaian dengan lingkungannya, menurut saya misi arsitek untuk membawa rancangan bangunan yang mempertahankan unsur kelokalannya adalah tepat dalam arti memberikan bangunan tersebut memberikan referensi bahwa estetika yang digunakan tidak hanya secara presentational(sensori) namun secara referensial(simbolis) bangunan ini mewakili keadaan lingkungan sekitarnya.

    Sumber:
    1.Altman, Irwin; Rapoport, Amos; Wohlwill, Joachim F: Human Behavior and Environment, advances in theory and research, volume 4 Environment and Culture. 1980.
    2.Day, Christopher: Spirit Place. 2002.
    3.Holahan, Charles J: Environmental Psychology. 1982.
    4.Hersberger.Robert G: Predicting the Meaning of Architecture. In Designing for Human Behavior. Stroudsburg. DH and Ross.1974.
    5.“Indonesia Design” Working Places, vol.2, no. 10, 2005.

    BalasHapus
  8. Windha Sukmanindya,

    Berbicara mengenai arsitektur perilaku,sebelumnya perlu diketahui bahwa sebuah perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik (baik berupa interaksi manusia-manusia maupun manusia-lingkungannya). Disisi lain, akan menghasilkan sebuah bentukan fisik yang bisa dilihat dan dipegang. Maka dari itu, sebuah desain arsitektur dapat menjadi salah satu fasilitator terjadinya perilaku, namun juga bisa menjadi penghalang terjadinya perilaku (Laurens, 2004). Dari situ, kaitan perilaku dengan arsitektur adalah dimana dalam berarsitektur, perlu melakukan sebuah pemahaman khusus mengenai kebutuhan dasar manusia, karena pada dasarnya semua perilaku manusia itu bersumber pada pembawaan biologisnya (nature). Menurut Maslow (tanpa tahun), kemampuan lebih manusia adalah untuk belajar melalui motivasi dan kepribadiannya. Hirearki Maslow mengenai kebutuhan dasar manusia adalah:
    1. Selfactualizing
    2. Esteem
    3. Love and Belonging
    4. Safety-security
    5. Physiological needs
    Kemudian Brunswik (tanpa tahun) menambahkan bahwa apabila sebuah lingkungan dapat mempengaruhi manusia secara psikologis. Disini, sebuah nilai estetika dalam arsitektur perilaku menjadi faktor yang dapat mempengaruhi aspek psikologis manusia (sebagai usernya). Sebelum kita berlanjut pada estetika dalam arsitektur perilaku, kita terlebih dahulu memaknai,”apakah estetika itu?” . Estetika menurut Blaumgarten (1750) adalah untuk menunjukkan studi mengenai taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika itu sendiri berkait dengan pengidentifikasian dan pemahaman faktor yang memberikan kontribusi dan persepsi suatu obyek atau proses yang dianggap indah (beautiful)atau yang dapat memberikan eksperiensi yang bersifat menyenangkan (Hadinugroho, 2002, p.2). Secara etimologi kata tersebut berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan persepsi, yang mana Blaugarten lebih menekankan pada secara prinsip persepsi beauty pada sebuah hasil karya puisi, lukisan dan seni pahat. Tapi makna beauty telah meluas, dengan pengertian bahwa subyek estetika tidak terbatas pada tiga hal tersebut, namun juga pada bidang filsafat, arsitektur, seni peran , dsb.
    Persepsi mengenai estetika yaitu bagaimana ‘pengalaman estetis’ mengenai sesuatu dengan adanya sebuah pengamatan inderawi atau perceptual multimodal (Lang, 1984) dimana secara keseluruhan jiwa-raga kita ikut merasakan atau berpartisipasi yang dapat menimbulkan perasaaan ketertarikan. (Hadinugroho, 2002, p.2). Pada kenyataannya, faktor psikologis lebih ikut berperan dalam memaknai sebuah nilai estetika. Menurut Santyana (1896, dalam Hadinugroho, 2002 p.2) dan Lang (1987), dalam catatan kuliah Arsitektur Perilaku, bahwa klasifikasi teori estetika dari perspektif perilaku, terbagi menjadi tiga yaitu :
    a)Estetika Formal, yang terfokus pada objek, dalam kontribusinya terhadap respon estetis mengenai ukuran, bentuk, warna, ritme, sekuen visual, dsb.
    b)Estetika Sensori, yaitu nilai sensori ditimbulkan dari suatu sensasi yang menyenangkan yang diperoleh dari warna, suara, textur, bau, rasa, sentuhan, dsb. yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan yang diciptakan. Dengan kata lain bahwa memperhatikan aspek fisiologis yaitu memunculkan sebuah ‘rasa’.
    c)Estetika simbolik, memberikan kesenangan pada seseorang secara sosio-kultural.
    d)Estetika intelektual
    Jadi, pada dasarnya, dalam sebuah karya arsitektur, tidak hanya membawa bagaimana wujud fisiknya saja, tetapi juga dapat ‘mengajak’ penggunanya untk merasakan lebih ‘dalam’ lagi makna arsitektural melalui beberapa aspek estetika seperti yang telah disebutkan di atas.

    BalasHapus
  9. Windha Sukmanindya,

    “ Arsitektur adalah suatu ekspresi yang paling tinggi dari alam pikiran seseorang, semangatnya, kemanusiaannya, kesetiannya dan keyakinannya” (Gropius, Taut, A. Behne, 1970 dalam Rahman, 2003, p.1). Kunci keberhasilan sebuah karya arsitektur adalah bilamana seorang arsitek mampu mengikutsertakan aspek fisik dan kenyamanan biologis dalam karya yang dibuatnya, karena kedua hal tersebut menjadi penentu utama dalam penghadiran sebuah karya arsitektural. Seperti pada arsitektur Yunani klasik, yang mempunyai prinsip dengan istilah “figure & ground” yaitu menampilkan karya-karya arsitektur dan lingkungan alamnya secara menyatu. Jadi sebenarnya ilmu psikologi telah digunakan manusia dalam menciptakan sebuah karya arsitektur ataupun seni lainnya pada saat itu. Namun yang tejadi saat ini adalah , jika kita mengkritik arsitektur modern, faktor psikologis manusia (disini sebagai user/calon user bangunan) menjadi diabaikan dan para arsitek hanya memikirkan hal-hal yang bersifat fisik saja, aspek psikologis seperti rasa, batin, emosi, sentimen, tidak ikut dipertimbangkan (Prijotomo, 2008).

    Jika kita mengkaitkan dengan Lang (1987) bahwa “manusia (sebagai user) bukan hanya sebagai user) bukan hanya bertindak sebagai observer dan kontemplator dari sebuah estetika arsitektur, tetapi juga berperan sebagai partisipan aktif dari karya arsitektur”, disini bagaimana upaya sebuah karya arsitektural mampu me’manusia’kan manusia. Pengalaman mengenai sesuatu yang’baru’ tidak hanya diwujudkan pada ikonik arsitektural semata, namun bagaimana sebuah karya arsitektural dapat memberikan kepuasan batin (psikologis), sosio dan juga kultural.

    BalasHapus
  10. Windha,


    Case study yang diambil berkaitan dengan uraian di atas adalah :

    Notre Dame deHaut-Le Corbusier,
    Awal mula melihat gereja ini dari berbagai sumber (karena belum berkesempatan melihatnya secara langsung), antara persepsi saya dan orang lain mungkin berbeda-beda, ada yang mengatakan bahwa bentuk geometri yang dibuat adalah ibu yang memeluk anak, posisi tangan yang sedang berdoa, berbentuk kapal, tau bahkan “bentuk apa ini?”. Dan sebenarnya Corbusier tidak pernah mengatakan bentuk apa yang dia hadirkan. Dari sudut pandang sosial, Ronchamp ini memiliki nilai-nilai religius karena merupakan tempat untuk berziarah , dan sangat bersejarah karena di tempat inilah pasukan Perancis dapat mengusir pasukan Jerman. Nilai estetis bangunan ini tidak hanya menampilkan sebuah nilai formalnya saja, akan tetapi mengingat bangunan ini adalah merupakan tempat beribadah, maka Corbusier mencoba menampilkan suasana yang khitmat (khusyuk) kepada orang user ketika sedang beribadah dengan memanfatkan permainan cahaya yangg sangat menarik pada interior bangunan. Kemudian fasad dinding dengan material beton ekspos diinginkan untuk menimbulkan kesan suci. Lain halnya jika membicarakan mengenai tapak bangunan, Corbusier meletakkan bangunan tersebut pada kontur yang paling tinggi, agar tercipta suatu keadaan dimana ada yang melihat dan ada yang terlihat.

    Sumber :
    Amiranti, Sri : Catatan Kuliah Arsitektur Perilaku tahun 2011. S-2 ITS. 2011.
    Lang, Jon : Creating Architectural Theory ; the Role of The Behavioral Sciences in Environmental Design. Van Nostrand Reinhold. 1987.
    Hadinugroho, Dwi Lindarto, Ir. : Jelajah Pengalaman Estetika pada Design Rumah Real Estate. 2002.
    Gropius, Walter . Taut, Bruno. Behne Adolf : New Ideas on Architecture dalam Conrad, Ulrich : Program and Manifestos on 20th Century Architecture, Massachucetts, 1970.
    Monalisa, Sesilia, Horison dan Pembentukan Arsitektur : Menelaah Ide Le Corbusier Tentang “Conformity with the Horizon”. Jurnal Teori dan Desain Arsitektur Vol. 2 No.4. 2008.

    BalasHapus
  11. Yodyan Chandraditya
    3210.207.003

    Untuk tugas 3 ini saya menyertakan gambar dalam pembahasan studi kasusnya. Karena dikolom komentar ini tidak dapat menyertakan gambar maka tugas 3 saya tuliskan dalam blog berikut :

    http://ychandraditya.blogspot.com/

    Terimakasih Bu Ami.

    BalasHapus
  12. yodyan chandraditya : itu studi kasus'a cuma satu gan .... minta contoh2 studi kasus yang lain gan yang tentang arsitektur perilaku .... kirim ke email ane yah nih setiawan.hendro@ymail.com

    BalasHapus