Sabtu, 18 April 2009

Pentingnya materi pendekatan perilaku bagi S2 Arsitektur ITS


PENTINGNYA MATERI ARSITEKTUR & PERILAKU BAGI S2 ARSITEKTUR ITS.

1. Kurikulum Berbasis Kasus Nyata yg dicanangkan Jurusan Arsitektur ITS, memerlukan penyempurnaan materi kurikulum dlm kritik dan perancangan arsitektur , berupa substansi dan prosedur positif (dari ilmu-ilmu perilaku bagi studi kasus-kasus nyata) guna mendampingi substansi dan prosedur normatif yg telah ada sebelumnya (lihat skema Lang, 1987, di bawah ini).


2. Environment & Behavior Studies telah dicanangkan sebagai salah satu aspek/ unsur / bagian dari arsitektur oleh Jurusan Arsitektur FTSP-ITS untuk kurikulum 2009-2011. Hal ini sejajar dg tren pendekatan arsitektural berwawasan perilaku yg berkembang saat ini. Terbukti dg diberikannya MK ini di beberapa PT, serta munculnya kelompok2 studi Environment & Behavior yg berkembang pesat di berbagai belahan dunia. (Saya pernah mengikuti salah satu konperensinya di Sidney, Australia). Hal ini sudah didukung oleh Lang (dalam Rhinehart, 2004) yang menyatakan : "Architecture is a fine art, (but) it is also a technology and an applied social/ behavioral science in which architects make statements on the activity patterns, physiological needs and aesthetic preferences of people
3. Kemampuan Pendekatan Perilaku Untuk me- Rekonstruksi (melalui Kritik, Apresiasi, Membaca Gejala Arsitektur) Eksistensi dan Jati Diri suatu Arsitektur (misal : Arsitektur Nusantara). Hal ini karena pendekatan perilaku sangat mendasarkan dirinya pada human experience, yang menjadi andalan pendekatan fenomenologi (Phenomenological Psychology à empirical phenomenological research) dalam membaca/ menginterpretasi gejala / eksistensi suatu arsitektur (Seamon, 2000). Hal ini sejalan pula dengan pendapat Jorof & Morse, 1984 mengenai lingkup penelitian arsitektur sebagai berikut :

Tabel 2.2. Diciplines Usually Associated with Study of Input and Outcomes of Built Form.

Inputs/ Outcomes Diciplines

Environmental inputs
The natural environment Geography
Cultural forces Anthropology
Economic forces Economics
Political forces Political science
Pattern of social organization Sociology
Construction/ building process Economic, civil engineering

Architectural design Psychology, architecture

Environmental outcomes
Impact upon natural environment Geography, architecture
Cultural impact Anthropology
Economic impact Economic
Political impact Political science
Social impact Sociology
Impact upon users Psychology, architecture
____________________________________________________________________
Sumber : Joroff dan Morse, 1984.
4. Pendekatan Perilaku bisa berafiliasi dengan isme arsitektur mana saja. Hal ini dikarenakan bahwa perilaku bukan hanya yang terlihat nyata (overt = yg terkait dg cara beraktivitas/ spatial behavior dan perlakuan terhadap ruang dan bentuk arsitektur), tetapi juga mencakup perilaku yg tidak terlihat (covert = yg terkait dg ”schemata”, yg menyimpan sikap, pilihan, persepsi dan pemaknaan, cara memandang, filosofi sesorang dlm menyikapi ruang dan bentuk arsitektur, dsb) (Baum, dlm Elyacoubi dan Gibson, dlm Lang, serta kritik Lang tentang Arsitektur Modern). Hershberger sangat menyarankan para arsitek untuk ”belajar” membaca ”schemata” dari calon pengguna bangunannya.
5. Sesuai panduan dari IAI Pusat, materi pendekatan psikologis dalam perancangan arsitektur (yang notabene adalah pendekatan perilaku) termasuk materi yang diberikan dalam penataran Strata 3 IAI. Saya sudah 2 tahun berturut- turut diminta memberikan materi ybs, serta berdiskusi dengan peserta penataran. Syukurlah, sambutan cukup menggembirakan, mungkin karena materi sesuai dg tren yg berlaku di lapangan. Hal ini disebabkan karena pendekatan perilaku berpotensi menjelaskan motivasi seseorang untuk menerima atau menolak suatu karya arsitektur, melalui kaitannya dg ”behavioral subsystem” manusia (”culture, social role, personality, organismic, environmental experience”) (Parson, dalam Lang), yang mewarnai motivasi dan kebutuhannya dalam berperilaku.
6. MK berbasis perilaku dlm arsitektur (dengan pendekatan ilmu psikologi lingkungan arsitektur) sudah diajarkan di S2 Arsitektur ITS selama 8-10 tahun terakhir, termasuk di Alur Kritik dan Perancangan Arsitektur (diajarkan dlm 3 semester berturut-turut). Syukurlah sambutan mahasiswa sangat positif (terbukti banyaknya tesis yang berbasis pendekatan perilaku ini, karena memang berpotensi menjawab permasalahan penelitian dalam tesis mereka) , sehingga banyak mahasiswa yg menyarankan pemangku MK ini untuk menulis buku terkait materi ybs. Bahkan terdapat mahasiswa S2 Kritik & Perancangan Arsitektur lulusan Psikologi yg sekarang sedang saya bimbing tesisnya (karena masalah dan penyelesaiannya sangatlah ngArsitektur Perilaku sesuai kapasitas saya).
7. Lingkup materi arsitektur dan perilaku sangat menjanjikan untuk dikomunikasikan ke masyarakat ilmiah/ umum, baik untuk pengembangan ilmu arsitektur maupun untuk menjawab permasalahan di lapangan. Dalam 5 tahun terakhir ini saya sudah melakukan 5 (lima) penelitian kompetensi nasional DIKTI, Due-Like dan ITS, 8 (delapan) makalah seminar nasional maupun internasional di ITS & UK Petra Surabaya, UNDIP Semarang, UGM Yogyakarta, UK Trisakti Jakarta, UNPAR Bandung, 4 (empat) artikel Jurnal nasional dan lokal, yang menyuarakan materi arsitektur dan perilaku ini, serta memperoleh sambutan yang positif.
8.1. Terakhir, saya kutipkan sekelumit tulisan Thomas Fisher di Harvard Design Magazine, yg berjudul Rising Ambition, Expanding Terrain (On Practice, Architect Behave Badly, Ignoring Environmental Behavior Research?), sebagai berikut :
Since architecture centrally involves constructing environments for people, why has the architectural community largely ignored environmental psychology, the field that analyses how well we do in meeting people’s needs? Is it that we don’t want to know or, even more troubling, that we don’t care how we’re doing? Or have our various modern and postmodern ideologies gotten in the way, allowing us to convince ourselves that the enormous literature in environmental behavior has little relevance to either the discipline or practice of architecture? And is it time, as architecture has become much less ideological and much more tolerant of difference, to look again at what environmental psychology has to offer us?
Bagi teman-teman mahasiswa S2 Arsitektur ITS yg sedang mengikuti MK Perancangan Arsitektur & Perilaku, diharap memberikan komentarnya terhadap tulisan saya ini (yg sekaligus berfungsi sebagai kuliah/ diskusi kita untuk jadwal kuliah Rabu 22-4-2009) langsung di sini.

8 komentar:

  1. Pentingkah arsitektur disandingkan dengan perilaku-lingkungan?
    Yusfan*

    Brent C. Brolin dalam bukunya The Failure of Modern Architecture mengemukakan bahwa salah satu kesalahan terbesar sehingga langgam modern mengalami keruntuhan yakni tidak adanya harmonisasi dan asimilasi antara desain dengan konteksnya.

    Modern architecture intentionally defies its older neighbors rather than standing beside them in peace. It tries to shock rather than symphatize. (Brolin, 1976:8)

    Telah banyak contoh karya arsitektur yang gagal dalam menampung aspirasi dan apresiasi penggunanya. Brolin (1976:88-103) menceritakan secara detail mengapa karya sang maestro Le Corbu dapat tidak tepat guna di Chandigarh. Jika kita mencari melalui google lalu mengetik failure architecture pada kata kunci, maka akan muncul beberapa kilasan mengenai tragedi Pruitt Igoe. Tidak ada yang salah dengan karya-karya tersebut. Sang arsitek-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas hasil penciptaannya.

    Untuk meminimalisir terjadinya malpraktek tersebut, hendaknya perancang/arsitek mengerti terlebih dahulu konteks lingkungan yang akan ia rancang. Dan untuk mengerti/Tahu dengan ‘Benar’, pengetahuan tersebut terakomodasi dalam bidang psikologi lingkungan (Environmental Psychology/EP). Gifford (1987 dalam Gunther, 2009) mendefinisikan EP sebagai studi mengenai transaksi antara individu (manusia) dengan setting fisiknya. Senada dengan Gifford, Stokols dan Altman (1987 dalam Gunther, 2009) mendefinisikan EP sebagai studi mengenai perilaku manusia dan kesejahteraannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosio-fisikalnya. Dalam perkembangannya, EP didefinisikan Moser (2006 dalam Gunther, 2009) sebagai hubungan resiprokal/timbal-balik antara individu (baik itu kelompok maupun komunitas) dengan lingkungan sosial dan fisiknya, termediasi melalui sajian sosial, yang belakangan dipahami sebagai pengalaman dan perilaku bersama. Akhir-akhir ini banyak penelitian mengenai EP yang diorientasikan pada perspektif ekologikal (Winkela et al, 2009), sama pula halnya yang terjadi di arsitektur yang bertujuan dasar untuk mencari cara untuk mengharmonisasikan kehidupan manusia dengan alam (lihat gambar 1).

    (see image @ yusfanars.blogspot.com)

    Gambar 1. Hubungan antara Perilaku dan Lingkungan melalui variabel setting.
    (Sumber: Gunther, 2009)

    Brolin (1968) menganjurkan agar sebelum merancang sebuah kawasan, perancang hendaknya memperhatikan implikasi sosial dari lingkungan fisik eksisting. Meskipun mudah, namun tidak sedikit arsitek yang melewatkan aspek ini sehingga masalah yang timbul belakangan menjadi tanggung jawab pengguna. Secara profesional, sang arsitek mustinya yang paling bertanggung jawab dan hal tersebut dapat dihindari dengan melalukan observasi awal terhadap dampak sosial dan lingkungan serta indikator konflik. Observasi tersebut dapat dilakukan dengan; 1. melihat perilaku dan 2. melihat lingkungannya (Brolin, 1968). Dari sini dapat dilihat keterkaitan ilmu perancangan dengan ilmu perilaku yang saling bersinergi.

    Dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat perkembangan signifikan dari keilmuan EP (lihat tabel 1). Keterkaitannya dengan bidang arsitektural sangat jelas terlihat dimana peranan studi psikologi lingkungan mencakup pemahaman mendalam yang harus dilakukan perancang dalam merancang rancangannya. Tidak hanya saat tahap perencanaan, namun melingkupi proses, hasil bahkan hingga tahap penggunaan hasil rancangan tersebut.

    Tabel 1. Perkembangan studi mengenai lingkungan-perilaku

    (see image @ yusfanars.blogspot.com)

    (Sumber: Giuliani dan Scopelliti, 2009)

    Dalam bidang keilmuan EP, terdapat sinergi antara disiplin ilmu yang di dalamnya terdapat keterkaitan antara satu sama lain (lihat gambar 2). Oscar Niemeyer mengatakan bahwa tugas terberat dari arsitektur adalah membuat kebaikan. Arsitektur pun dalam tujuannya membawa ’kebaikan’ harusnya mengakui bahwa tanpa lingkungan, ia tak bisa berdiri sendiri. Untuk itu hendaknya merangkul semua disiplin untuk bersinergi sehingga sesuai dengan tuntutan dasar fungsi dari arsitektur itu sendiri yakni sebagai wadah berkegiatan manusia dapat tercapai secara tepat guna. Bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan Kurt Lewin, yang seharusnya dilakukan saat ini yakni:
    ‘nothing would be so practical as a good integration of different theories’.
    Sebab yang terpenting adalah bukan masalah teori mana yang akan kita pakai dalam menghadapi masalah lingkungan, namun yang lebih penting adalah pilihan anda untuk segera bertindak (Winter dan Koger, 2004 dalam Gunther, 2009), bertindak untuk segera menangani permasalahan dekadensi nilai dalam arsitektur itu sendiri.

    (see image @ yusfanars.blogspot.com)

    Gambar 2. Hubungan multi-lateral dari berbagai bidang disiplin ilmu yang berbeda pada Environment-Behavior Studies dalam mempelajari hubungan antara lingkungan dan perilaku.
    (Sumber: Gunther, 2009)


    Referensi

    Brolin, Brent C. and John Zeisel. 1968. Mass Housing: Social Research and Design. Architectural Forum, July/August 1968 diakses melalui situs resmi Brent C. Brolin pada 23 Maret 2009.


    Brolin, Brent C. 1976. The Failure of Modern Architecture. NY: VNR.

    Giuliani, Maria V. and Massimiliano Scopelliti. 2009. Empirical research in environmental psychology: Past, present, and future. Copyright © 2009 Elsevier diakses 20 April 2009.

    Günther, Hartmut. 2009. The Environmental Psychology of Research. Journal of Environmental Psychology diakses 20 April 2009.

    Winkela, Gary and Susan Saegerta and Gary W. Evansb. 2009. An ecological perspective on theory, methods, and analysis in environmental psychology: Advances and challenges. Copyright © 2009 Elsevier diakses 20 April 2009.

    *praktisi arsitektur dan mahasiswa S2 arsitektur ITS alur kritik&perancangan
    komentar ini lebih jelas di yusfanars.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Anda luar biasa. Saya sudah membaca blog anda. Tks

    BalasHapus
  3. Josephine - mahasiswa S2 arsitektur ITS alur kritik&perancangan
    saya juga ingin mencoba membahas pentingnya perilaku-lingkungan dikaitkan dengan Arsitektur.

    Kajian Perilaku dalam Arsitektur

    Sejak jaman Vitruvius, tujuan Arsitektur dinyatakan dalam pengertian Utilitas, Venustas, dan Firmitas. Seperti, yang kita kenal bahwa Arsitektur merupakan disiplin yang sintesis dan senantiasa mencakup ketiga hal diatas dalam setiap rancangannya. Tetapi semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang kompleks maka perilaku manusia (human behavior), semakin diperhitungkan dalam proses perancangan (biasa disebut dengan kajian lingkungan perilaku dalam arsitektur).
    Perhatian utama tentang Human Behavior adalah pada hubungan antar manusia terhadap lingkungan fisik yang dibuat oleh manusia sendiri. pernyataan itu disimpulkan melalui pendapat yang diungkapkan oleh Holahan (1982), yaitu karakteristik pendekatan psikologi lingkungan terhadap perilaku dan setting fisik yang berpengaruh terhadap rancangan ruang arsitektural (seperti skema 1.1).

    Environment Adaptive <--- Behavioral
    Conditions ----> Psychological-->Consequences
    Proses
    Skema 1.1. Diagram pendekatan psikologi lingkungan (Holahan : 1982)

    Selain itu kajian perilaku juga sangat penting dalam penciptaan sebuah arsitektur, karena jika sebuah karya arsitektur dapat memfasilitasi perilaku / aktivitas yang disesuaikan dengan motivasi dan needs dari penggunanya maka dapat menghasilkan sebuah kenyamanan dan kepuasan bagi penggunannya (User). Hal itu dapat dijelaskan lebih rinci dari skema yang diungkapkan oleh Gibson (1966), sebagai berikut :

    (Gambar tidak dapat muncul)

    Skema 1.2. Proses Fundamental Perilaku Manusia (Lang, 1987)
    Jika kita memakai skema 1.2. diatas yang penting adalah pada schemata yang mengacu pada motivasi dan “need” pengguna. Sehingga “emotional response” menjadi terputus. Menurut Piaget jika kita perhatikan, bahwa skemata merupakan struktur kognitif yang ada di dalam pikiran manusia. Fungsi dari skemata itu sendiri adalah untuk mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi inilah yang nantinya akan menghasilkan pengetahuan. Kedua proses tersebut sangat penting perannya dalam memaknai sesuatu, karena asimilasi merupakan proses kognitif yang membantu seseorang untuk mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep,dll) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Sedangkan akomodasi merupakan proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut. Struktur mengacu pada sifat-sifat penataan (skemata) yang menjelaskan terjadinya tingkah laku tertentu pada seseorang.
    Dari 2 teori tersebut, cukup mewakili untuk menjelaskan pentingnya kajian perilaku dalam dunia arsitektur, karena hal itu langsung berpengaruh terhadap penggunanya. Jika motivasi / needs dari pengguna tidak dihiraukan dan pola perilaku pengguna tidak dipedulikan maka, banyak arsitektur atau banyak ruang-ruang yang tidak terpakai dan akan ditinggalkan.

    Daftar Pustaka :
    Gibson, J.J. (1986). “An Ecological Approach to Visual Perception“. Hillsdale, N.J : Lawrence Erlbaum.
    Lang, T. John 1987. “Creating Architectural. Theory : The Role of the Behavioral Science in Environmenral Design”. Van Nostrand Reinhold. New York.

    BalasHapus
  4. PENDEKATAN PERILAKU DALAM PERANCANGAN ARSITEKTUR

    Praktik maupun pembelajaran mengenai perilaku dalam perancangan arsitektur merupakan hal yang penting. Dengan kata lain, arsitek merupakan perancang yang ”melayani” konsumennya, bagaimana bisa seorang arsitek ”melayani” bila tidak mengerti mengenai apa yang dibutuhkan oleh konsumennya. Scott (1974) mengatakan ”arsitektur hendaknya mempunyai tujuan yang humanis”. Lalu, Norberg Schulz (1986) menyampaikan pula bahwa tugas para perancang adalah menyediakan suatu pegangan eksistensial bagi penggunanya agar dapat mewujudkan cita-cita dan mimpinya. Dari situ kita dapat menangkap pengertian mengenai betapa pentingnya studi perilaku menjalani perannya.
    Latar belakang dari studi mengenai perilaku ini kembali kepada bidang psikologi, tetapi bukan merupakan bagian inti dari pendalaman psikologi tersebut. Secara historis merupakan bagian dari program sosial untuk kesejahteraan masyarakat dan fokus studi ini adalah hubungan saling menunjang antara manusia sebagai individu ataupun kelompok dengan lingkungan fisiknya, yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan melalui kebijakan perencanaan dan perancangan (Moore, 1976).
    Kata ”perilaku” sendiri menunjukkan manusia dalam action-nya, yang berkaitan dengan semua akivitas yang dilakukan manusia secara fisik. Dalam hal ini berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Jadi, hasil desain maupun rancang arsitektur depat menjadi salah satu fasilitator terjadinya perilaku, namun dapat pula menjadi penghalang terjadinya perilaku. Studi perilaku-lingkungan menaruh perhatian pada proses transformasi lingkungan subjektif yang berada didalam pikiran seseorang (Laurens, 2005). Lingkungan subjektif ini merupakan salah satu hal penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Lingkungan subjektif tersebut tidak tumbuh dan berkembang sepenuhnya hanya dalam benak seseorang, tetapi berkaitan dengan dunia di luar pikirannya. Akan tetapi, sebenarnya yang dapat ditransformasikan adalah lingkungan objektif yang sekaligus berkaitan erat dengan kondisi diluar pikiran seseorang.
    Selain digunakan sebagai ”alat bantu” dalam proses perancangan arsitektur, studi perilaku (behavioral science) juga digunakan dalam proses peng-evaluasi-an suatu objek arsitektur, yang populer disebut dengan post-occupancy evaluation (POE) atau evaluasi purnahuni (dalam bahasa ”ibu” ^^v). Pengamatan behavior setting merupakan salah satu bentuk dari evaluasi purnahuni. Evaluasi purnahuni ini tidak dilakukan secara terpisah dari proses desain dan pembuatan asumsi mengenai penggunaan bangunan, tetapi juga menjadi bagian dari proses desain (Laurens, 2005). Evaluasi ini lebih sebagai pengujian ke-efektivitas-an sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia (Zimring dan Reizenstein, 1981), termasuk didalamnya beik pengujian efektivitas bangunannya sendiri maupun efektivitas programnya terhadap kebutuhan penggunanya.
    Terakhir, berhubung saya sedang mendalami mengenai POE itu sendiri (dalam thesis saya), saya menyampaikan sekali lagi mengenai betapa pentingnya studi ini ”dilancarkan” dalam proses mendesain dan merancang, guna menghasilkan suatu wujud arsitekur yang ”tepat guna”. Begitu pula dalam mengevaluasi sebuah objek arsitektur, pemahaman studi perilaku yang baik dapat melahirkan hasil evaluasi yang ”tepat sasaran”, dapat berguna sebagai dasar bagi perbaikan kualitas maupun perancangan bangunan atau lingkungan binaan yang serupa.

    ”Embako (empat bahan pokok) Bacaan :

    Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Grasindo. Jakarta.
    Lang, Jon T. 1987. Creating Architecture Theory : The Role of The Behavioral Sciences In Environmental Design. Wiley & Sons Inc. New York.
    McAndrew, Francis T. 1992. Environmental Psychology. Brooks/Cole Pub Co.
    Snyder, James C. dan Catanese, Anthony J. 1991. Pengantar Arsitektur. Erlangga. Jakarta.

    Oleh:
    Caesario Ari Budianto / 3208202003
    Kritik dan Perancangan Arsitektur-ITS

    BalasHapus
  5. PENTINGNYA MATERI PENDEKATAN PERILAKU BAGI S2 ARSITEKTUR ITS

    Materi pendekatan perilaku sebenarnya tidak hanya penting untuk S2 Arsitektur saja tetapi mempunyai cakupan luas hampir seluruh bidang keilmuan. Karena semuanya bertujuan mengembangkan pemahaman mengenai relasi manusia dengan lingkungannya. Seperti halnya Kurt Lewin (1890 – 1947) tokoh pertama yang memberikan pertimbangan terhadap lingkungan fisik pada perilaku manusia. Ia membuat rumusan bahwa tingkah laku (B = Behavior) merupakan fungsi dari keadaan pribadi seseorang (P = Person) dan lingkungan tempat orang itu berada (E = Environment) atau B = f (P,E). Kemudian terus terjadi perkembangan – perkembangan pendekatan perilaku selanjutnya. Dari pendekatan perilaku didapat panduan untuk meningkatkan kualitas desain.

    Pada kemajuan arsitektur rancangan tidak berperan sebagai pemenuh gaya hidup tetapi sebagai perwujudan prinsip – prinsip desain. Hal tersebut menyebabkan karya arsitektur tidak dapat dinikmati oleh pengguna.Selayaknya seorang perancang memikirkan juga motivasi atau “need” yang mendukung suatu terciptanya setting fisik yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pengguna(Gibson,1979). Sehingga pengguna tidak dipaksa untuk beradaptasi ( walaupun hal itu dapat dilakukan ) tetapi mereka masuk dalam setting fisik yang benar-benar berdasarkan “need” mereka. Maka pada akhirnya setting itu akan berproses bersamaan dengan komponen-komponennya secara harmonis. Didalam Roger Barker dan Herbert Wright memakai istilah behavior setting untuk menjelaskan kombinasi perilaku dan milieu tertentu. Ada hubungan timbal balik antara individu dan sistem perilaku, karena manusia adalah bagian dari behavior seting yang memberi kontribusi pada behavior setting (Grasindo,2002).

    Pendekatan perilaku khususnya dalam bidang arsitektur tidak lagi dipandang penting atau tidaknya, karena pendekatan perilaku merupakan bagian di dalam arsitektur. Arsitektur lebih sebagai tempat manusia hidup bukan suatu hasil karya seni.

    Galuh Puspita Sari (3208.202.005)

    Sumber:
    Materi kuliah perancangan arsitektur dan perilaku, semester 1 dan 2

    BalasHapus
  6. Pentingnya Perilaku-lingkungan dalam dunia Arsitektur

    Perilaku dalam disiplin arsitektur memiliki tempatnya tersendiri tapi tidak dapat lepas karena merupakan salah satu komponen pembentuknya. Perilaku itu dapat dilihat dan diamati (overt, yaitu perilaku spasial dan bentuk terhadap arsitektur) dan juga tidak terlihat (covert, yaitu cara pandang seseorang terhadap pemaknaan yang ada pada arsitektur) yang terjadi karena pemaknaan sendiri oleh penggunanya. Rancangan yang dibuat oleh arsitek semata-mata hanya ide dan imajinasi merupakan affordances yang dapat dirubah maknanya oleh penggunanya, maka disinilah salah satu peran studi perilaku bermanfaat. Arsitek tidak hanya mementingkan ego merancang tapi juga harus sesuai dengan apa yang diinginkan dan persepsi penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Gibson, 1979 bahwa:
    o Milik atau manfaat atau ciri fisik dari lingkungan dapat digunakan oleh penggunan dengan cara tertentu.
    o Properti fisik dari konfigurasi suatu objek atau setting yang memungkinkan untuk digunakan bagi berbagai aktifitas dan perilaku nyata serta memberikan kesempatan terhadap apresiasi meaning dan estetik.
    o Pola lingkungan binaan yang berbeda memberikan affordances yang berbeda pula, begitu pula dengan perilaku dan pengalaman setetik yang berbeda.
    Perlunya perancangan arsitektur yang berdasarkan pada perilaku dapat sebagai pengontrol terhadap keberhasilan makna awal suatu rancangan. Arsitek diwajibkan tahu siapa, latar belakang, kebutuhan dan keinginan pengguna untuk keberhasilan affordancesnya.

    Pengetahuan perilaku tidak hanya diperlukan bagi perancangan arsitektur saja tapi juga dapat diterapkan pada bidang lain, misalnya interior (sesuai dengan bidang S1). Interior berada pada rana yang jelas-jelas adanya hubungan antara fisik dengan pengguna yang mana fisik berperan untuk membentuk suasana bahkan perilaku dan sirkulasi. Terjadi fenomena fisiologis dan psikologis yang dirasa pengguna saat memasuki lingkungan dalam (interior). Fenomena tersebut tidak semerta-merta ada tapi melalui proses dan pemikiran perancang dalam memahami perilaku pengguna. Dalam architecture determinism bahwa lingkungan / bentuk binaan (terdiri dari elemen-elemen alami dan buatan) akan mempengaruhi manusia (Lang, 1987).

    Hubungan suatu perancanagan baik arsitektur maupun interior tidak terlepas dari pengguna karena perancangan dibentuk oleh persepsi pengguna. Pentingnya mempelajari persepsi dan perilaku dalam suatu behavior setting ini memudahkan arsitek maupun desainer dalam merancang dan menentukan keberhasilan suatu rancangan.

    Lang, Jon T. 1987. Creating Architecture Theory : The Role of The Behavioral Sciences In Environmental Design. Wiley & Sons Inc. New York.
    MK Perancangan Perilaku dan Arsitektur

    Dhiafah_3208202006
    mahasiswa Kritik dan Perancangan Arsitektur, ITS

    BalasHapus
  7. Cilda TID (3208 202 002)
    Mahasiswa Pascasarjana Kritik Arsitektur 08
    ITS Surabaya.

    Pendapat saya secara pribadi terhadap sebuah pendekatan arsitektural berwawasan perilaku merupakan sebuah sudut pandang baru, sebuah ilmu yang baru saya kenal, dimana hal ini sedikit sekali saya dapatkan pada perkulihan strata 1 Desain Produk Industri. Mata kuliah ini (Pengantar & Perancangan Arsitektur Perilaku) memberi sebuah tuntunan dan perspektif baru dalam proses pembuatan karya baik pada bidang Desain ataupun Arsitektur. Telah membuka mata bahwa dalam sebuah berkembang ilmu pengetahuan yang kompleks memberi kecenderungan pada manusia dan perilakunya (human behaviour) harus semakin diperhitungkan dan ditinjau ulang dalam proses perancangan built environment yang sering disebut sebagai pengkajian lingkungan perilaku baik dalam arsitektur ataupun desain interior.

    Dengan mencakup berbagai hal yang berawal dari pemahaman tentang Psikologi Lingkungan dalam perkembangan, pencarian dan pencapaiannya. Dapat dijadikan sebagai acuan pembahasan secara keseluruhan dalam sebuah lingkungan. Hal ini secara langsung berkaitan dengan sebuah hubungan dan pengaruhnya terhadap perilaku dalam konteks setting fisik arsitektural. Seperti yang telah dijelaskan pada artikel ini, keterkaitan antara perilaku dan arsitektur merupakan sebuah proses ilmiah yang secara empiris telah dibuktikan berdasarkan teori fundamentalnya.

    Pada dunia desain, seperangkat komponen pembentuk kesatuan fisik interior dapat diperoleh dari kegiatan pengguna beserta interaksi sosial yang menyertai didalamnya. Resultante ini akan menjadi stimulan bagi perilaku pengguna. Sebagai rangsang atau stimulan, menurut Nimpoeno (1983) suasana ruang yang terbentuk akan mempengaruhi persepsi, kognisi dan proses motivasi yang menyatu dalam sistem kepribadian individu, kemudian membentuk respons terhadap suasana ruang tersebut yang diwujudkan oleh perilaku atau kegiatan. Terdapat keterkaitan antara intelegensi, emosi dan kebutuhan dengan proses interaksi psikologis antara manusia dengan ruang lingkungannya.

    Interaksi psikologis ini merupakan proses sekuensial atau berurutan dari proses stimulasi manusia merasakan ruang dengan proses persepsi, proses kognisi, motivasi, dan kemudian menghasilkan output berupa respons dari kepribadian. Respons keluar berupa tindakan, dan respons ke dalam berupa image terhadap ruang sebagai sumber stimulan. Proses sekuensial ini menunjukkan kualitas yang dibatasi oleh kondisi lingkungan. Mengacu pada relasi psikologis manusia dengan ruang dari Krasner & Ullmann (1977), terdapat variabel variabel yang berpengaruh secara psikologis antara lain privacy, ruang seputar badan, kontak mata, ketertutupan ruang, penataan perabotan, kepadatan pemakaian ruang, dan lingkungan perilaku. Bagaimanapun juga seorang desainer atau arsitek selayaknya memperhatikan keberadaan variabel tersebut dalam proses perancangannya. Jika dilihat pada kasus arsitektur dan interior semua variabel tersebut di atas memberikan dukungan terhadap proses terjadinya interaksi antara pengguna dan ruang yang ditempatinya. Secara spasial sebuah ruang mampu memberikan dimensi ruang yang maksimal, dan dapat dicapai melalui tatanan arsitekturalnya.

    Etimologi Psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno (psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental (Ensiklopedia 2009). Sebuah ilmu psikologi dari sudut pandang frontal tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Menurut pendekatan perilaku, tingkah laku pada dasarnya adalah respon atas stimulus yang datang. Secara sederhana dapat digambarkan dengan suatu kaitan Stimulus – Respon.

    Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis. Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, filsafat, psikologi dan sebagainya. Mengutip Vitruvius, "Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni". Ia pun menambahkan bahwa seorang arsitek harus fasih di dalam bidang musik, astronomi, dsb. Filsafat adalah salah satu yang utama di dalam pendekatan arsitektur. Rasionalisme, empirisisme,fenomenologi strukturalisme, post-strukturalisme, dan dekonstruktivisme adalah beberapa arahan dari filsafat yang mempengaruhi arsitektur.

    Bagaimanapun juga bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya / politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri. Selalu akan ada dialog antara ”pengguna” dengan ”arsitek”. Dan hasilnya adalah sebuah dialog yang dapat dijuluki sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dari berbagai bidang multi-dispilin ilmu (termasuk juga PSIKOLOGI tentunya).

    PUSTAKA
    Nimpoeno, John S. 1983. Ruang Sebagai Penunjang Kegiatan. Jakarta: Universitas Indonesia.
    Krasner L & Ullmann P. 1973. Behavior Influence and Personality. New York : Holt Rinehart & Winston Inc.
    Ensiklopedia 2009 Psikologi www.wikipedia.com Minggu 3 Mei 2009 12.22 WIB
    Ensiklopedia 2009 Arsitektur www.wikipedia.com Minggu 3 Mei 2009 12.22 WIB

    BalasHapus
  8. Maksud manusia membuat lingkungan binaan adalah untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian memenuhi keinginannya sebagai penanda.

    http://www.imagebam.com/image/bd683460761873

    Faktor yang mempengaruhi maksud-maksud manusia dalam membangun (Michael Wigginton, dalam Ben Farmer).

    Spiritual yang dimaksud adalah “jiwa” dari penguna
    Kita dapat mengatakan bahwa kondisi lingkungan sekitar mempengaruhi wujud arsitektur. Pada penerapannya sebagai lingkungan binaan, arsitektur dipengaruhi manusia yang membangunnya, dan dipengaruhi oleh tempat keberadaanya. Arsitektur secara langsung maupun tidak langsung adalah cerminan kondisi sosial, sejarah, karakter, dan sifat keindahan (behavioral subsystem) dari manusia dan tempat dimana bangunan tersebut berada.
    Philip Johnson, pemenang Pritzker Prize yang pertama berpendapat bahwa arsitektur merupakan sesuatu yang anda bangun dan susun, kemudian orang masuk kedalam, dan mereka menyukainya (Johnson, Seven Crutches of Modern Architecture, 1954).Menyukai disini tentunya selalau terkait dengan pemahaman arsiteknya mengenai pengetahuan mengenai perilaku.
    Lebih jauh, Johnson (What Makes Me Tick, 1975) menyatakan lebih lanjut, ’menyukai’ dapat diperinci sebagai ‘menyukai’ ruang (space) yang dapat mewadahi, (contains), mengasihi (cuddle), memuliakan (exalt), dan merangsang (stimulate) orang-orang yang ada disitu. Arsitektur adalah seni sosial (social art). Arsitek yang baik merespon kebutuhan dan aspirasi sosial pengguna.
    Hal ini sejalan dengan pendapat Lang (dalam Rhinehart, 2004), seperti yang telah dijelaskan Ibu Ami diatas: “Architecture is a fine art, (but) it is also a technology and an applied social/ behavioral science in which architects make statements on te activity patterns, phsycological needs and aesthetic preferences of people”.
    Jadi jelas keterkaitannya bahwa arsitektur berpendekatan perilaku sangat diperlukan, karena lingkungan binaan tanpa keberadaan “orang yang menyukai” (yang dalam hal ini tidak termasuk anggapan sang arsitek) tidak dapat disebut sebagai suatu karya arsitektur. Pernyataan-pernyataan diatas juga menunjukkan bahwa arsitektur bukanlah sebuah karya seni, namun merupakan sebuah bangunan yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan manusia. Perilaku pengguna ini didapatkan lewat pengetahuan akan psikologi-perilaku.
    Pengetahuan pendekatan arsitektur dan perilaku ini dapat dipergunakan sebagai tolok ukur, tujuan, pengetahuan, dan harapan dalam merancang. Tentunya pendekatan ini tidak dapat memberikan bentuk secara terpisah dari proses kreatif merancang lainnya, namun dapat dipergunakan sebagai batasan ideal untuk pedoman penyelesaian dari kerumitan dan kemungkinan perilaku pengguna yang tidak terbatas (walaupun dapat diteliti melalui model dan kecenderungan suatu kelompok pengguna) pada permasalahan desain arsitektural.
    Dari sisi pengguna, kita mengetahui bahwa pengguna dipengaruhi oleh behavior subsystem mereka. Pendekatan arsitektur-perilaku dapat menjelaskan mengapa pengguna menerima atau menolak hasil rancangan. Jika pengguna bermotivasi untuk meninggalkan bangunan tersebut, atau merasa tidak nyaman, bahkan setelah diubah, maka bangunan tersebut akan dijauhi.

    BalasHapus