Kamis, 02 April 2009

MK Perancangan Arsitektur & Perilaku 2009

Teman2 mahasiswa peserta MK Perancangan Arsitektur & Perilaku, S2 Arsitektur ITS, Alur Kritik & Perancangan, Semester 2, tahun 2009.

Untuk tugas apresiasi materi "Behavior Setting", anda ber 6 diminta untuk mengupas materi yg tertulis dlm points e- j dengan mereview points a-d sebagai dasar pemikirannya. Materi mencakup yg kita diskusikan Rabu 2 April 2009 kemarin. Points e - j dibagi 6 mahasiswa, sehingga tiap2 mahasiswaa hanya mengulas satu points saja. Pembagiannya sesuai urutan no absen, yaitu point e diulas p. Yusfan, demikian seterusnya. Jangan lupa utk menuliskan sumber bacaan yg dipakai utk mengulas. Sangat diperbolehkan utk mengambil materi dari luar kuliah atau dari kuliah semester lalu, bisa disertai studi kasus utk mempertegas bahasan. Tulisan ringkas, singkat namun padat (< 500 kata), berfungsi sbg komentar bagi tulisan saya ini. Saya tunggu tulisannya.

Sri Amiranti
Pengampu MK Perancangan Arsitektur & Perilaku

6 komentar:

  1. Pemilihan sebuah behavior setting sebagai ruang (dirancang maupun tidak) yang dikenali oleh penggunanya sebagai "sesuai" untuk suatu jenis aktivitas tertentu, selain ditentukan oleh kebutuhan (needs); motivasi; dan schemata dari sub-sistem perilaku calon pengguna, juga ditentukan oleh reward dan beaya untuk memasuki behavior setting tersebut. Pengguna cenderung yang paling utama dipikirkan pada saat menentukan sebuah behavior setting yang akan ditempatinya, yakni apa yang didapat (keuntungan atau kerugian) serta cost (biaya yang dibutuhkan) saat menempati dan melakukan suatu kegiatan tertentu didalam behavior setting tersebut. Setelah itu barulah diikuti oleh kesesuaian dengan kebutuhan; motivasi apa yang medorong untuk menempati behavior setting tersebut; dan schemata sub-sistem perilaku.

    Setelah pengguna memilih sebuah behavior setting yang sesuai dengan kebutuhan dari suatu aktivitas yang dilakukannya, munculah sebuah hubungan antara pengguna dengan behavior setting tersebut. Pengguna berharap mendapatkan keuntungan bila menempati suatu behavior setting yang sudah dipilih melalui beberapa pertimbangan. Begitu pula sebaliknya, behavior setting yang ada akan berubah keadaannya, tergantung pada perbuatan penggunanya. Dengan kata lain, keadaan tersebut dapat menyesuaikan dengan kebutuhan aktivitas pengguna. Hal tersebut dikarenakan suatu behavior setting tidak sepenuhnya dapat mengakomodasi semua kebutuhan penggunanya, jadi terkadang pengguna memodifikasi behavior setting tersebut agar mendekati / hampir sepenuhnya mendukung kebutuhan aktivitasnya. Maka dapat diartikan bahwa suatu setting fisik terdiri lebih dari satu behavior setting, guna terpenuhinya kebutuhan aktivitas pengguna sepenuhnya.

    Sumber bacaan :
    Lang, 1987. Creating Architecture Theory

    Oleh :
    Caesario Ari Budianto / 3208202003

    BalasHapus
  2. Behavioral Setting Review
    Y u s f a n*

    Tidak sedikit karya arsitektur yang lahir dari arsitek luput dari malfungsi, bahkan dari arsitek sekaliber Le Corbusier sekalipun (misalnya di Candigardh, India). Mengapa? Tidak adanya perhitungan mendalam terhadap perilaku yang akan diwadahi oleh sebuah bejana arsitektur menjadikan karya tersebut tidak tepat guna.

    Kesalahan-kesalahan dalam prediksi perilaku di dalam suatu lingkungan seringkali disebabkan ketidaktahuan arsitek akan adanya pola perilaku tertentu yang dimiliki oleh orang-orang yang akan mendiami dan menggunakan lingkungan binaan yang dirancangnya. Prediksi perilaku seringkali didasarkan pada sebuah fenomena kenyamanan ruang umumnya sehingga tidak jarang didapati desain yang seragam akibat predikasi perilaku yang digeneralisasi. Hal semacam ini tentu disayangkan, karena kesalahan-kesalahan semacam ini sebenarnya dapat dihindari dengan pemahaman yang lebih dalam mengenai perilaku manusia, baik perilaku yang tampak (overt) maupun yang tersembunyi (covert).

    Kajian perilaku dan implikasinya bermanfaat sangat besar sebagai dasar bagi arsitek dalam proses perancangannya agar karyanya tepat guna. Unit behavior setting diperkenalkan sebagai sebuah konsep dasar di dalam sebuah sistem koleksi data untuk menghasilkan informasi yang tepat dan sistematis terhadap lingkungan manusia. Behavior setting digambarkan sebagai sebuah lingkungan yang dikenali oleh para pelakunya sesuai bagi perilaku tertentu. Konsep behavior setting merupakan jembatan yang menghubungkan kesenjangan antara ilmu-ilmu arsitektur dengan ilmu-ilmu perilaku.

    Behavior settings adalah sistem sosial berskala kecil, dibatasi oleh tempat dan waktu, terkomposisi oleh manusia dan obyek-obyek fisik (Wicker, 1992 dalam Blanchard, 2004). Batasan waktu dan tempat sangat penting dalam mengidentifikasi kapan dan dimana sebuah behavior setting berada, namun manusia dan obyek adalah komponen primer. Manusia adalah bagian yang paling dapat ’ditundukkan’ dari behavior setting dan paling utama bagi keberadaannya (Barker, 1978 dalam Blanchard, 2004). Tanpa keberadaan manusia sebagai pengguna, behavior setting tidak akan terwujud. Meskipun demikian, hubungan antara manusia dan obyek fisik mewujudkan keberadaan behavior setting.

    Dalam behavior setting terdapat struktur internal yang berbeda antara satu sama lain oleh karena setiap pelakunya (orang/kelompok) memilki peran masing-masing dalam membentuk setting fisiknya (milieu). Pengalaman semua pihak dalam setting(milieu)nya hendaknya dapat meningkatkan program dari settingnya (Barker, 1978 dalam Blanchard, 2004). Namun, menurut Wicker (1987 dalam Blanchard, 2004), tidak semua partisipan dapat ditempatkan dalam tingkatan yang sama dalam kesempatan dan kewajiban terhadap settingnya. Beberapa berperan aktif dan terdapat pula yang pasif (Barker & Schoggen, 1978 dalam Blanchard, 2004). Oleh karena itu, dalam setiap setting tersebut, diperlukan pihak yang berperan sebagai pengendali aktivitas untuk mengontrol perilaku yang berlangsung dalam settingnya. Barker (1978) mengemukakan Performance zone sebagai batas setting antara yang aktif dan pasif. Performance zone merupakan area dimana pemegang kontrol atau pengendali (decision maker) menempatkan diri baik secara imajiner maupun kasat mata.

    Secara imajiner, performance zone sendiri dapat berupa peran yang disematkan terhadap pihak-pihak yang aktif dalam settingnya, misalnya peran direktur dalam sebuah perusahaan. Dengan demikian, secara kasat mata performance zone-pun tampil dalam mewadahi peran yang sedang dilakukan oleh pihak tersebut, misalnya dengan pembedaan desain ruang yang ditempati oleh direktur tersebut. Demikian pula sebaliknya, sehingga terdapat keterkaitan erat antara satu sama lain antara performance zone sebagai peran dan sebagai wadah secara fisik. Hal ini sekaligus membentuk teritori (Porteous, 1977) maupun ruang pesonal (Sommer, 1969 dan Hall, 1966) yang mempertegas keberadaan area peranan dalam milieunya.

    Behavior setting dapat merupakan bagian dari proses perancangan sekaligus pula dapat terbentuk melalui proses manusia beraktifitas. Sebagai bagian dari perancangan merupakan faktor penting bagi seorang dalam menyediakan sebuah space yang berfungsi untuk mewadahi aktifitas tertentu, misalnya sebuah taman bermain. Dalam beraktifitas manusia terkadang pula (secara sadar atau tidak) membentuk sebuah ruang yang mewadahi ritual keseharian mereka, misalnya di taman kota. Pada taman kota seringkali ditemui aktifitas bersantai, bersosialisasi, atau sekedar jalan-jalan/berolahraga. Hal ini berarti bahwa setting fisik yang sama mungkin saja menjadi bagian lebih dari satu behavior setting, bila pola perilaku tetap yang berbeda berlangsung di dalamnya pada waktu-waktu yang berbeda. Untuk menampung berbagai aktivitas dan perilaku yang beragam tersebut perlu adanya Behavior circuits (Perin, 1970) sekaligus membatasi luas setting secara visual agar terjadi kesan akrab di dalamnya. Peranan performance zone dalam behavior circuit dapat berupa manipulasi obyek, misalnya adanya zonifikasi pada sebuah kolam bermain anak sehingga memudahkan pengawasan oleh pengelola, diluar peranan langsung orangtua. Hal ini untuk menghindari tabrakan perilaku emosional dan aktifitas pergerakan antara masing-masing orangtua dalam melakukan pengawasan langsung terhadap anak-anaknya.


    Referensi
    Barker, Roger Garlock. 1968. Ecological Psychology: Concepts and Methods for Studying the Environment of Human Behavior. California: Stanford University Press. Diakses melalui google e-books pada 6 April 2009.
    Blanchard, Anita. 2004. Virtual Behavior Settting: An Application of Behavior Setting Theories to Virtual Communities. Journal of Computer-Mediated Communication. Diakses melalui http://jcmc.indiana.edu/vol9/issue2/blanchard.html pada 6 April 2009.
    Hall, Edward Twitchell. 1966. The Hidden Dimension. New York. Diakses melalui http://www.csiss.org/classics/content/13 pada 10 April 2009.
    Sommer, Robert. 1969. Personal Space: The Behavioral Basis of Design. New York. Diakses melalui http://www.jstor.org/pss/2785668 pada 10 April 2009.
    Bahan-bahan Mata Kuliah Perancangan Arsitektur dan Perilaku. 2009. ITS.

    * Praktisi Arsitektur sekaligus Mahasiswa Program Magister Bidang Keahlian Kritik dan Perancangan Arsitektur Jur. Arsitektur – FTSP ITS Surabaya

    BalasHapus
  3. BEHAVIOR SETTING Review (Josephine-3208 202 004)

    Behavior Setting merupakan suatu tempat pertemuan antara individu dan lingkungannya. Menurut Roger Barker dalam menelusuri pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya dan kemudian melahirkan konsep “behavior setting”, selain itu diperkuat pula dengan pendapat David Haviland (1967), bahwa konsep “behavior setting” disamakan dengan “activity-space”, hal itu dapat menggambarkan suatu unit hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur. Kombinasi antara suatu lingkungan / tempat (place) dengan aktivitas dari penghuninya, terdiri dari beberapa hal untuk diperhatikan : (Barker, 1968)
    1.Suatu aktivitas berulang, tetapi pola perilaku tetap
    2.Suatu lay-out lingkungan tertentu (setting sosial, fisik)
    3.Suatu hubungan harmonis antara perilaku dengan lingkungan (synomorphy)
    4.dilakukan pada periode waktu tertentu
    Dari penjelasan tersebut maka didapatkan kesimpulan bahwa behavior setting menunjuk kepada terjadinya kombinasi dari pola perilaku tetap, perilaku tertentu yang berlangsung di dalam suatu setting fisik tertentu pula. Terkadang perilaku dalam behavior setting merupakan learned response yang dikondisikan oleh lingkungan kontekstual dan dimodifikasi oleh pengalaman individu lingkungan perilaku (jenis lingkungan dari Craik, 1972)  (Point H).

    Learned Response ini berkaitan dengan budaya dan pola perilakunya yang hanya diperbolehkan dari suatu budaya, misalnya makan harus di meja makan dan kaki tidak boleh dinaikkan di kursi, seperti halnya di sejumlah budaya dimana ayah sebagai kepala keluarga selalu makan lebih dahulu dan baru seluruh anggota keluarga lain makan bersama-sama. Jika hal itu terjadi berulang-ulang maka dapat disebut sebagai pola perilaku, dan dapat tercermin dalam desain ruang makannya.
    Berhubungan dengan point H  dapat terlihat bahwa tidak hanya tingkat kompetensi fisik dan pola lingkungan saja tetapi budaya juga dapat memperlihatkan adanya perbedaan sistem aktivitas dalam menempati suatu behavior setting. Menurut Rapoport (1969), dalam mengidentifikasi 5 aspek budaya yang tercermin dalam desain sebuah rumah, yaitu cara menjalankan aktivitas dasar, struktur keluarga, peran gender, sikap terhadap privasi, dan proses sosial.

    Terkadang lingkungan dirancang hanya untuk tujuan estetika semata, pada umumnya tujuan perancangan suatu lingkungan adalah guna memenuhi aktivitas tertentu. Salah satu cara bagi para perancang lingkungan untuk memenuhi tuntutan aktivitas tersebut adalah dengan mengacu pada sistem aktivitas yang terdiri atas suatu sirkuit perilaku (Perin, 1970). Sirkuit perilaku atau rangkaian perilaku mempunyai tujuan tertentu dan dibedakan satu sama lain dengan aksi tertentu. Perin mengusulkan rangkaian perilaku ini sebagai suatu unit bagi analisis dan desain arsitektural. Sehingga, tidak jarang dalam satu ruangan dapat menampung beberapa aktivitas. Seperti yang dikatakan oleh Robert Venturi bahwa : “sebuah ruangan dapat mempunyai sejumlah fungsi pada saat yang sama atau pada waktu yang berbeda”. Penerapan konsep behavior setting, seperti pada sebuah taman kota atau plaza. Taman kota sebagai sebuah behavior setting tampak hidup karena desain sub-setting yang sesuai dengan predisposisi penggunanya (Terdapat tempat teduh, penerangan yang cukup, tempat duduk yang cukup nyaman, dan lokasinya memungkinkan orang melihat orang lain untuk menikmati dan menonton kejadian disekitar), dengan pengaturan tersebut maka taman kota tersebut dapat menarik orang untuk menikmatinya. Dibandingkan dengan taman kota sebagai behavior setting tanpa adanya affordance yang sesuai dengan predisposisi masyarakat penggunanya, maka tempat umum ini tidak akan dinikmati orang.

    Contoh tersebut dapat memperlihatkan bahwa analisis behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti pola perilaku yang pernah terjadi dan mengantisipasi yang akan datang berdasarkan persepsi akan kecenderungan orang berperilaku dalam cara-cara tertentu, untuk kemudian mengakomodasikan kekayaan perilaku tersebut ke dalam desain sebuah bangunan.

    Sumber Bacaan :
    Bell,A.Paul. 2001. Environmental Psychology.United State : Thomson Co.Hal.124.
    Laurens,Joyce.2005. Arsitektur dan perilaku Manusia. PT.Grasindo.Surabaya
    Lang,Jon. 1987. Creating Architectural Theory. New York : Van Nostrand Reinhold Co.Hal 115.

    * Mahasiswa Program Magister Bidang Keahlian Kritik dan Perancangan Arsitektur Jur.Arsitektur-FTSP ITS Surabaya

    BalasHapus
  4. BEHAVIOR SETTING
    Cilda TID *

    Seting perilaku pertama kali dikemukakan oleh Roger Barker (Roger Garlock Barker (1903, Macksburg, Iowa - 1990) adalah seorang ilmuwan sosial, seorang pendiri lingkungan psikologi) dan Herbert Wright pada tahun 1947, dengan istilah Behavioral Setting untuk mendefinisikan suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Behavioral Setting sebagai suatu konsep dari cabang ilmu psikologi yang dikenal dengan Ecologycal Psicology merupakan suatu bentuk ruang yang digunakan sesuai untuk aktivitas tertentu.
    Sebuah teori yang dapat membantu menjelaskan hubungan antara individu dan lingkungan terutama lingkungan sosialnya. Topik ini biasanya berada di bawah 'Psikologi lingkungan'. Namun, gagasan perilaku yang ditawarkan di sini adalah pengaturan yang lebih rinci. Terdapat kecenderungan di ilmu sosial tentang argumen kesadaran, identitas, perilaku, dan budaya di sekitar, baik yang ada di pikiran sebagai sebuah interaksi sosial. Behavior Setting merupakan hubungan antara pola perilaku dengan lingkungan (milieu).istilah milieu merujuk pada batas fisik dari sebuah setting. Setiap behavior setting berbeda dari setting lainnya menurut waktu dan ruang. Dimana perilaku yang terjadi di 'lingkungan', dan suasana yang terjadi di dalamnya "cocok" dengan 'perilaku'. Dalam bahasa teknis, yang "behavior-milieu interface" dinamakan synomorph.
    David Haviland (1967) dalam Laurens.Arsitektur dan Perilaku Manusia. memakai istilah ”ruang aktivitas” untuk mengganbarkan suatu unit hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur. Konsep ruang ativitas dan ruang perilaku ini dapat dikatakan sama. Behavior Setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannyaapabila bangunan dan lingkungan binaan sudah dipakai dan ternyata digunakan dengan cara yang tidak terantisipasi sebelumnya oleh perancang ataupun terdapat perubahan perilaku pengguna secara tiba-tiba dan tidak terduga ketika memasuku lingkungan tertentu, pengamatan behavior setting ini akan menjadi data masukan yang sangat berguna bagi arsitek ataupun perancang lingkungan. Baik untuk mendasain atau penataan ulang fasilitas yang bersangkutan.
    Terdapat kesamaan pengertian dari Behavior Setting (Laurens, 2004) dengan definisi diatas, Behavior Setting disini diartikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat dan kriteria sebagai berikut:
    a)Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku yang tetap. Dapat terdiri atas satu atau lebih pola perilaku ekstraindividual
    b)Berada pada tata lingkungan tertentu
    c)Membentuk suatu hubungan yang sama antara perilaku dan lingkungan (synomorphy)
    d)Dilakukan pada periode waktu tertentu
    Penjelasan pola perilaku diatas memiliki kesamaan dengan definisi dari Heimsath (1977) bahwa dalam suatu behavior setting berbagai peran berprilaku individu atau kelompok yang berdasarkan pada suatu pola tertentu dapat saling menjalin dan membentuk suatu unit aktivitas. Heimsath memberikan perilaku manusia didalam lingkungan merupakan proses interaksi antara manusia dan lingkungan yang melibatkan motivasi dan kebutuhan-kebutuhan individual maupun sosial.
    Melalui pengamatan behavior setting ini arsitek dapat mengenal sistem sosial, dalam arti melihat pola perilaku yang ditunjukkan oleh penghuni pada lingkungan tertentu. Hasil pengamatan ini dapat memperluas wawasan pengetahuan arsitek dan perencana lingkungan tentang manusia dari sudut tinjau yang berbeda.

    * Mahasiswa Program Magister Bidang Keahlian Kritik dan Perancangan Arsitektur FTSP ITS Surabaya 2009.
    NRP : 3208 202 002

    Referensi
    Materi Kuliah Perancangan Arsitektur dan Perilaku Ir. Sri Amiranti MS.
    Barker, R. G. (1968) Ecological Psychology: Concepts and methods for studying the environment of human behavior, Stanford University Press, Palo Alto, CA
    Laurens.M Joice (2004) Arsitektur dan Perilaku Manusia. Grasindo Surabaya.
    Heimsath, C. (1977). Behavioral architecture. Toward an accountable design process. London, McGraw-Hill.

    BalasHapus
  5. Behavior Setting

    Berbicara tentang Behavior Setting tidak lepas oleh pencetus konsep ini yaitu Roger Baker. Behavior Setting merupakan ruang-ruang (baik dirancang ataupun tidak) yang dikenali oleh penggunanya sebagai “sesuai” untuk suatu jenis aktivktas (Lang, 1987). Dari pengertian tersebut menggambarkan adanya hubungan yang erat antara lingkungan dengan penggunanya. Lingkungan dapat berupa setting fisik yang dibuat secara sengaja ataupun tidak untuk mewadahi aktifitas/perilaku pengguna. Ini menimbulkan hubungan timbal balik yaitu perubahan lingkungan fisik dan sosiokultural dapat membentuk perubahan pada perilaku pengguna atau perubahan perilaku pengguna akan mempengaruhi perubahan lingkungan bina(secara sengaja). Hubungan antara pola perilaku dan lingkungan bina menimbulkan hubungan yang harmonis (synomorphy). Pola perilaku manusia tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan dan motifasi setiap orang dengan latar budaya dan sosial yang berbeda-beda.

    Akan lebih mudah untuk mewadahi/memfasilitasi pola perilaku yang sama dalam suatu lingkungan bina/setting fisik karena adanya kesamaan kebutuhan dan motivasi. Tetapi dalam suatu behavior setting memungkinkan terjadi beberapa perilaku yang berbeda, maka setting fisik yang ada harus mampu mewadahi beberapa perilaku manusia. Perilaku-perilaku tersebut terhimpun dalam pola perilaku tetap yang dapat terjadi secara bersamaan. Perilaku tersebut dapat berupa (Lang, 1987): perilaku emosional nyata (overt emotional), perilaku pemecahan masalah (problem solving behavior), aktivitas pergerakan (grossmotor activity), interaksi antar personal, dan manipulasi objek-objek.

    Dapat dicontohkan pada suatu restoran puja sera yang menyediakan berbagai jenis makanan pada stan-stan tertentu. Pelanggan yang datang dapat langsung mencari makanan yang diinginkan dengan melakukan pergerakan / perilaku spasial untuk memilih makanan pada stan-stan. Biasanya dalam penataan layout suatu restotan puja sera memungkinkan seluruh stan dapat dilihat oleh pembeli, manipulasi objek/penataan layout stan mengelilingingi area makan pembelilah yang paling optimal. Terkadang pembeli tidak langsung mengelilingi keseluruhan stan yang ada tapi duduk pada area makan kemudian melihat kesekeliling stan untuk menentukan pilihan mkanan barulah perilaku spasial terjadi. Pedagang pemilik stan biasanya menyediakan setting fisik tertentu sebagai fasilitator antara pembeli dan pedagang sehingga tercipta interaksi dalam memesan dan menyakan harga makanan.

    Dari contoh tersebut dapat dibuktikan bahwa ada suatu rentetan perilaku dalam suatu setting fisik seperti yang dibahas oleh Lang, 1987 dalam sub pembahasan unit analisis dan perancangan lingkungan bahwa setting fisik lebih sebagai fasilitator dari pada sebagai determinan perilaku manusia pada rentang perilaku tertentu.

    *Materi Kuliah Perancangan Arsitektur dan Perilaku (Behavior Setting), Ir. Sri Amiranti MS.
    (Lang,Jon. 1987. Creating Architectural Theory. New York : Van Nostrand Reinhold)

    Dhiafah_3208 202 006

    BalasHapus
  6. BEHAVIOR SETTING REVIEW

    Kota yang awet merupakan kota yang terdiri dari banyak behavior setting dari pada kota dengan behavior setting tertentu saja.

    Suatu behavior setting memungkinkan manusia untuk mencapai “multiplicity of satisfactions” . Kepuasan akan berbeda tipenya bagi setiap orang. Behavior setting yang sama memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhan masing – masing orang (survival, afiliasi/penghargaan, aktualisasi diri, keindahan, pengembangan kognisi, dsb) pada tempat yang sama dan waktu yang sama atau tempat yang sama waktu yang berbeda.

    Sebagai contohnya tercermin pada behavior setting pada daerah Tunjungan, Surabaya. Behavior setting Tunjungan ini merupakan ruang – ruang ( baik rancang maupun tidak) yang di kenali oleh pengguna sebagai “ sesuai ” untuk suatu jenis aktivitas tertentu (Roger barker dkk 1968). “ Behavior setting ” ini serupa dengan konsep yang di kemukakan oleh David Haviland ( 1967), yaitu suatu unit diskret dari hubungan perilaku lingkungan untuk desain arsitektural. Konsep “ activity system “ dari Constance Perin (1970) yang menyatakan bahwa system aktivitas ini tersusun dari behavior circuits. Behavior circuit ini menjadi unit analisis dan sesain dalam arsitektur. Behavior setting dari masing – masing peran akan mendukung activity system.

    Dahulu daerah Tunjungan merupakan tempat bersantai sekaligus berbelanja, kemudian mulai didirikan bangunan-bangunan yang menyediakan fasilitas hiburan, pertokoan, serta penginapan. Yang terkenal, antara lain, Toko Nam, Toko Aurora, Toko Hellendoorn, Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit) dan pusat perbelanjaan Siola. Behavior setting daerah Tunjungan merupakan kombinasi stabil dari aktivitas dan tempat (place )-nya yang terdiri dari suatu aktivitas yang ber-ulang dengan pola perilaku tetap, pada layout lingkungan tertentu ( the milieu ), dalam hubungan harmonis antara perilaku masyrakat dan lingkungan di jalan Tunjungan( synomorphy), di periode tertentu. Hal ini berarti bahwa setting fisik yang sama memungkinkan menjadi bagian dari lebih satu behavior setting, ( bila pola perilaku tetap yang berbeda langsung di dalamnya pada waktu – waktu yang berbeda ).

    Seiring berjalannya waktu semakin banyak fasilitas – fasilitas ( behavior setting yang beragam, Tunjungan Plaza, Gramedia, JW Marriot, Empire,dll ), menjadikan daerah Tunjungan sebagai simbol dan landmark kota Surabaya, yang di abadikan pada syair lagu Mus Mulyadi “ Re kayo rek mlaku – mlaku nang Tunjungan”. Fasilitas - fasilitas yang berdiri di daerah Tunjungan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat. Tingkat kepuasan yang berbeda pada setiap masyarakat menyebabkan kemungkinan behavior setting tetap bertahan ( Hotel Majapahit, Tunjungan Plaza, dll) dan tidak dapat bertahan ( Nam, Aurora, Helledom dan Siola). Kecenderungan pola perilaku tetap bisa terdiri dari sejumlah perilaku berbeda secara simultan, perilaku emosional nyata (overt emotional behavior ), perilaku pemecah masalah ( problem solving behavior ), aktivitas pergerakan ( gross motor activity ), interaksi antar personal, manipulasi obyek – obyek. Konsep behavior setting menunjuk kepada terjadinya kombinasi dari berbagai perilaku tetap tertentu, yang berlangsung di dalam setting fisik tertentu.

    Behavior setting dapat diterjemahkan sebagai suatu wadah beraktivitas secara berulang untuk mencapai kepuasan masing – masing individu. Perbedaan tingkat kepuasan ( persepsi ) memungkinkan behavior setting berubah ( pada tempat yang sama dengan periode yang berbeda ).

    Sumber Bacaan :
    Bahan Mata Kuliah Perancangan Arsitektur dan Perilaku. 2009. ITS.
    Lang,Jon. 1987. Creating Architectural Theory
    www.google.com / Djawa Tempo Doeloe oleh Priyambodo Prayitno, 5 Maret 2009, 12.10

    Galuh Puspita Sari ( 3208.202.005 )

    BalasHapus